Membongkar 'Tikus-tikus Besar' Skandal Korupsi e-KTP

Suasana sidang kasus korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sumber :
  • VIVA/Edwien Firdaus

VIVA.co.id – Mega skandal penggarongan uang negara kembali dibongkar Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK menemukan dugaan kerugian negara mencapai Rp2,3 triliun dari proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik alias e-KTP, yang bernilai total Rp5,9 triliun.

Baru dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan mereka segera diadili. Namun Ketua KPK, Agus Rahardjo, menyebut ada nama-nama besar yang terindikasi menerima aliran dana haram itu. Agus bahkan menyatakan bahwa siapa saja yang terlibat bakal dibeber dalam pembacaan dakwaan di sidang perdana, yang jadwalnya digelar hari ini, Kamis 9 Maret 2017.

Dua terdakwa yang segera disidangkan di Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta itu adalah mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan bekas Direktur Pengelolaan Informasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Sugiharto.

Sayangnya, sidang tersebut tak boleh disiarkan langsung oleh media televisi. kata Kepala Humas Pengadilan Tipikor Jakarta, Yohanes Priana, saat dikonfirmasi, Rabu 8 Maret 2017, mengatakan itu tertuang dalam SK Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kelas 1A Khusus Nomor W 10 u1/kp 01.1.1750sXI201601 tentang larangan peliputan atau penyiaran persidangan secara langsung oleh media.

"Mengingat yang terdahulu, pengadilan mengambil sikap bahwa persidangan sekarang sudah tidak boleh live lagi," kata Yohanes.

Namun demikian, pengadilan tidak melarang masyarakat untuk datang ke Pengadilan Tipikor dan melihat secara langsung jalannya proses persidangan. "Siapa pun juga boleh datang untuk melihat. Tapi tentu dengan mengingat kapasitas pengadilan. Kalau live artinya persidangan dihadirkan kepada masyarakat umum," ujarnya.

Bancakan Proyek

Duit korupsi yang diduga terjadi pada tahun anggaran 2011-2012 itu diduga mengalir ke sejumlah nama besar atau elite partai politik. Jumlahnya miliaran fantastis. Tidak Cuma birokrat dan politisi, uang yang lebih besar lagi diduga mengalir ke partainya.

Dikonfirmasi aliran-aliran uang itu, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, belum mau mengungkap. Dia hanya memberikan penegasan bahwa kasus itu diduga merugikan uang negara hampir Rp2,3 triliun karena ada indikasi suap untuk memuluskan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp5,9 triliun tersebut.  Nilai kerugian negara itu diperoleh KPK berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Selain suap pra pengesahan anggaran, KPK juga menemukan indikasi aliran dana ke sejumlah pihak setelah anggaran e-KTP cair. Beberapa di antaranya diduga mengalir ke sejumlah pejabat swasta, pejabat di Kementerian Dalam Negeri dan sejumlah anggota DPR RI.

"Kami terus akan mendalami dan membandingkan uang negara Rp2,3 triliun itu sebelumnya mengalir kepada siapa saja. Konstruksi umum dari hasil penyidikan yang dilakukan akan dilihat pada proses pembacaan dakwaan,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah.

"Jadi kami menemukan juga indikasi yang disebut dengan praktik ijon (pelicin untuk memuluskan anggaran proyek e-KTP)," ujar Febri di kantornya, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

KPK menemukan indikasi pertemuan-pertemuan informal sebelum rapat pembahasan anggaran dilakukan. Setelah itu, dilakukan pembahasan anggaran yang melibatkan anggota Komisi II DPR, Badan Anggaran DPR dan unsur pemerintah, yakni Kementerian Dalam Negeri.

Informasi yang santer beredar saat ini, skandal suap kasus e-KTP ini dimotori beberapa oknum kala itu, yakni pengusaha Andi Narogong, mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, mantan ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto dan mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraini. Mereka pernah diperiksa penyidik KPK dalam penyidikan kasus tersangka Sugiharto dan Irman. Namun, semuanya membantah terlibat.

Nyanyian Lawas Nazaruddin

Terungkapnya skandal pada pengadaan e-KTP ini tak bisa dilepaskan dari peran Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Terpidana korupsi Wisma Atlet SEA Games itu sudah beberapa kali 'bernyanyi' soal konspirasi korupsi di balik e-KTP, ini jauh-jauh hari.

Dalam catatan VIVAnews, Nazaruddin melalui pengacaranya,  Elza Syarief, menyerahkan berkas dugaan penggelembungan pada proyek e-KTP yang anggarannya bersumber pada APBN 2011-2012 ke KPK pada 24 September 2013 silam.

Konstruksi kasus versi Nazaruddin yang diungkap ketika itu sebagai berikut. Pemenang proyek pengadaan e-KTP tahun 2011 adalah konsorsium yang terdiri dari lima perusahaan BUMN dan swasta. Perusahaan tersebut adalah Perum Percetakan Negara RI, PT Sucofindo (Persero), PT LEN Industri (Persero), PT Quadra Solu­tion dan PT Sandipala Arthaputra. Lead konsorsiumnya PT PNRI.

Tapi pada praktiknya, 60 persen pekerjaan percetakan e-KTP diserahkan PT Sandipala Arthapura. Sementara PT PNRI sebagai ketua konsorsium yang seharusnya mengendalikan seluruh pekerjaan secara nasional, hanya mendapat pekerjaan 40 persen. Proses kartu e-KTP sepenuhnya oleh PT Sandipala, termasuk masalah chip.

Dari perjanjian kerja proyek tersebut ternyata PT Sandipala diduga melanggar kesepakatan dengan mengganti kualitas chip e-KTP yang semula spesifikasinya chip STmikroST23YR12 size 12 kilobyte chipstore RSA dan diganti dengan NXP P3 size 8 kilobyte chip3des yang harganya lebih murah. Dan, tentu mutunya pun berbanding lurus dengan harganya. Tapi justru menggunakan harga yang lebih mahal. Ini yang jadi masalah.

Nazar kemudian menunjuk hidung sejumlah nama yang diduga terlibat kasus korupsi itu. Nazaruddin yang merupakan wistleblower atau saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kasus e-KTP, menyebut sejumlah nama yang terlibat kasus korupsi itu.

Mereka antara lain, mantan Mendagri Gamawan Fauzi, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua DPR Setya Novanto dan mantan anggota Komisi II DPR yang kini menjadi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Semua yang disebut Nazar sudah membantah tudingan itu.

Nazar juga Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo dan mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR M Jafar Hafsah.

Mulanya, kata Nazaruddin, anggaran proyek e-KTP memakai skema tahun jamak atau multiyears tahun 2011-2013. Namun ditolak Menteri Keuangan yang ketika itu dijabat oleh Sri Mulyani. Begitu Menkeu dijabat Agus Martowardojo, terjadi pertemuan sejumlah pihak yang kemudian membuahkan hasil pengesahan anggarannya.

"Waktu itu ada pertemuan-pertemuan yang dibuat, lalu Agus Marto mengeluarkan surat (persetujuan anggaran) itu atas persetujuan pertemuan-pertemuan itu. Ada (dana) yang mengalir ke sana (Agus)," kata Nazaruddin di kantor KPK, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan pada 18 Oktober 2016.

Ramai-ramai Bantah

Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi membantah ikut menikmati hasil korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Kabar bahwa Gamawan menerima uang suap dilontarkan oleh mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang kini jadi pesakitan atas kasus korupsi.

Nazaruddin menyebut bahwa Gamawan menerima sekitar Rp32,3 miliar melalui adiknya, Azmin Aulia. Klaim itu dibantah Gamawan.

"Ah, mana ada saya terima. Saya tidak pernah terima apa-apa dari siapa pun," kata Gamawan usai menjalani pemeriksaan di kantor KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 19 Januari 2017.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyebut tudingan mantan anggota DPR Muhammad Nazaruddin adalah fitnah. Itu ditegaskan Agus lantaran Nazaruddin mengatakan adanya aliran dana proyek pengadaan e-KTP ke Agus.

"Saya menyampaikan itu fitnah dan bohong besar," kata Agus usai diperiksa sebagai saksi di KPK, Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 1 November 2016.

Mantan Menteri Keuangan tersebut mengaku bersyukur diperiksa penyidik KPK terkait kasus ini. Karena, selain bisa menjelaskan anggaran e-KTP kepada penyidik, ia juga bisa mengklarifikasi tudingan Nazaruddin.

"Jadi kalau saudara Nazaruddin mengatakan saya terima fee itu adalah suatu fitnah, kebohongan besar dan kalau mengatakan seperti itu saya ingin dia cepat sadar karena dia terpidana dan di dalam penjara, dia tidak kredibel dan jangan meneruskan ucapan-ucapan fitnahnya," kata Agus.

Terkait namanya yang disebut terlibat korupsi proyek e-KTP, Novanto bersumpah tidak terlibat. Tudingan itu awalnya disampaikan mantan Bendahara Umum Partai Demokrtat M Nazaruddin. Ketika kasus terjadi, Novanto masih menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar.

"Saya bersumpah tidak pernah bersama-sama membicarakan masalah e-KTP. Silakan tanya ke Nazaruddin lagi. Saya juga enggak ngerti, kok saya dikait-kaitkan dan disebut-sebut Nazaruddin," ujar Novanto pada 7 Maret 2017.

Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jafar Hafsah, tidak membantah ataupun mengiyakan tudingan Nazaruddin, yang menyebutnya turut menerima aliran uang korupsi proyek e-KTP. Menurut dia, semua telah ia jelaskan kepada penyidik KPK yang memeriksanya pada 5 Desember 2016.

Jafar berdalih ketika proyek e-KTP senilai Rp5,8 Triliun bergulir, dia hanya menjabat Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR. Karena itu, ia mengklaim tidak tahu apa-apa mengenai perjalanan pembahasan dan persetujuan anggaran di Komisi II DPR terhadap proyek yang berujung korupsi Rp2,3 triliun itu.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, membantah dirinya menerima aliran uang korupsi e-KTP. Mantan anggota DPR RI Komisi II tersebut mengaku siap dikonfrontasi lagi sebagai saksi dalam kasus tersebut.

"Saat diperiksa di KPK, saya dikonfrontir dengan Bu Yani dengan disaksikan dua penyidik. Waktu itu, Bu Yani ditanya apakan kasih uang ke Pak Ganjar, jawabannya mengejutkan, tidak Pak, saya takut. Jadi? sangat mengejutkan dengan dakwaan yang beredar itu. Saya siap dikonfrontir," kata Ganjar di Balaikota Solo pada 7 Maret 2017.

Pejabat populer terseret

Selain nama-nama di atas, KPK telah memeriksa sejumlah pihak baik dari kalangan birokrat maupun politikus. Bahkan, nama Ketua KPK Agus Rahardjo terseret setelah disebut mantan Mendagri Gamawan Fauzi perlu diperika.

Pada 25 Oktober 2016, Gamawan menyebut sejumlah pejabat negara yang dinilainya turut 'merestui' proyek pengadaan e-KTP. Salah satunya adalah mantan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Agus Rahardjo, yang kini menjabat Ketua KPK.

Menurut Gamawan, proyek e-KTP pelaksanaan perintah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 yang mengamatkan selambat-lambatnya lima tahun setelah diterbitkan, pemerintah harus menyediakan nomor induk kependudukan untuk masyarakat. "Mulai dari situlah, Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) dan menteri-menteri lain, lalu diangkat dengan Keputusan Presiden," kata Gamawan.

Dalam Keputusan Presiden itu, jelas disebut siapa para pejabat yang terlibat. Soalnya proyek itu memakai anggaran besar dengan skema tahun jamak atau multiyears. Namun dia tak menyebut nomor dan tahun Keppresnya. Setidaknya ada 15 kementerian yang turut mendampingi proyek e-KTP, termasuk KPK. Atas rekomendasi KPK, agar proyek e-KTP didampingi oleh LKPP, di mana Agus Rahardjo pada waktu itu adalah pimpinannya.

Dikonfirmasi pernyataan Gamawan, Agus menyatakan siap memberikan keterangan dan kronologinya seperti apa. Agus membantah tudingan Gamawan yang menyebut LKPP 'merestui' pelaksanaan proyek e-KTP. Sebaliknya, LKPP kata Agus, justru mundur sebagai pendamping proyek e-KTP, karena banyak saran yang diabaikan Kemendagri dan para pemenang tender proyek tersebut. "Kita satu satunya lembaga tidak mau (e-KTP) diteruskan," ujarnya pada 25 Oktober 2016.
 
Nama beken yang juga disebut-sebut adalah Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama. Ditanya ihwal itu, mantan anggota Komisi II DPR tersebut menegaskan bahwa dia tak menerima aliran uang suap dalam kasus pengadaan e-KTP di Kemendagri .

Calon petahana Gubernur pada Pilkada 2017 itu menegaskan namanya tidak ada dalam dakwaan seperti yang telah tersebar, meski jalannya persidangan kasus tersebut baru perdana dilaksanakan Kamis, 9 Maret 2017.

Ahok menyebut tudingan terhadapnya tak memiliki dasar. "Mana ada? Sembarangan!" kata Ahok saat ditemui di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 8 Maret 2017.

Meski demikian, ia mengaku turut membahas proyek e-KTP saat menjadi anggota dewan komisi pemerintahan periode 2009-2014 itu. Setelah proyek berjalan dan diketahui adanya temuan kerugian negara, ia mengklaim sampai saat ini belum bernasib sama dengan koleganya di DPR, yang telah dipanggil penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terkait bagi-bagi uang yang juga melibatkan pejabat tinggi negara.

"Gue ikut bahas, tapi mana mungkin gue ikut-ikutan (terima duit)," ujarnya. (ren)