Riuh Suara Sertifikasi Ulama
- VIVA.co.id/Dwi Royantp
VIVA.co.id – Wacana sertifikasi ulama terus bergulir akhir-akhir ini. Menyusul kabar itu, beragam sikap dari berbagai kalangan pun bermunculan. Ada yang merespons positif, ada juga sebaliknya.
Adalah Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mengungkapkan soal sertifikasi tersebut, akhir Januari 2017. Hal itu disebut muncul berdasarkan gagasan organisasi masyarakat Islam dan sejumlah tokoh. "Pemerintah melalui Kemenag (Kementerian Agama) hanya memfasilitasi saja aspirasi yang berkembang,” ujar Lukman.
Mereka ingin agar pemerintah ikut hadir menjamin kualitas mutu dari khotbah Jumat lantaran dirasa ada yang melenceng dari syarat dan rukunnya. Padahal, khotbah Jumat adalah sesuatu yang tak terpisahkan dan menjadi kewajiban. Untuk itu perlu dibuat batas minimal kompetensi yang dimiliki seorang khotib.
Namun hal tersebut bukan berarti Kementerian Agama melarang seseorang melakukan khotbah. Pelarangan itu disebut bukan domain dari pemerintah, melainkan masyarakat dan takmir-takmir masjid.
Sebab, esensi khotbah merupakan tausiyah dan nasihat. Ulama dinilai sebagai pihak yang paling mengerti substansi khotbah. Lantaran itu, kompetensi kewenangan seseorang memenuhi standar atau tidak merupakan kompetensi ulama.
"Pemerintah tidak mengatakan, yang tidak bersertifikat atau berstandarisasi kemudian tidak boleh khotbah. Pemerintah tidak punya domain melarang-larang itu,” ujar Lukman.
Respons positif muncul dari Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Zainut Tauhid Sa'adi. Rencana sertifikasi bisa dimaklumi sepanjang memenuhi persyaratan. Di antaranya, sertifikasi harus untuk meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi dai, dari aspek materi maupun metodologi.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, seorang dai mesti meningkatkan kapasitas, kapabilitas dan kompetensinya. Hal itu agar benar-benar dapat menyampaikan pesan agama secara baik sehingga sesuai dengan kaidah.
Namun, program sertifikasi dai tersebut harus bersifat voluntary (sukarela), bukan mandatory (keharusan) yang memiliki konsekuensi hukum. Sebab melaksanakan tugas dakwah itu, hakekatnya menjadi hak dan kewajiban setiap orang yang memang menjadi perintah agama.
"Jadi kalau sertifikasi itu bersifat wajib (mandatory) akan sangat sulit dilaksanakan, juga dikhawatirkan terkesan ada intervensi atau pembatasan oleh pemerintah. Hal ini justru akan menjadi kontraproduktif bagi program tersebut," ujar Zainut.
Nantinya, program sertifikasi dai harus dilaksanakan oleh masyarakat atau ormas Islam. Pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator. Hal itu akan mendorong partisipasi masyarakat ikut bertanggung jawab dalam menyiapkan kader-kader dakwah yang mumpuni.
Sementara materi dan metodologi pendidikan dan latihan (diklat) bisa dirumuskan masing-masing ormas. Bisa juga Kementerian Agama menunjuk lembaga yang memiliki kompetensi tersebut. “Sehingga ada standarisasi materi, metodologi dan sesuai dengan kebutuhan programnya,” ujarnya.
Setelah mengikuti diklat, seorang dai akan diberikan sertifikat sesuai dengan jenjang diklatnya oleh ormas penyelenggara.
Lampu hijau juga datang dari Ketua Umum DPP Ikatan Masjid Musala Indonesia Muthahidah (IMMIM) Prof Ahmad M Sewang. Dia bakal mendukung wacana itu jika memang karena niat baik, bukan karena politik. Sertifikasi tersebut dinilai penting karena masyarakat banyak mengeluhkan adanya ulama dan mubalig yang membawakan materi ceramah yang tidak relevan. Bahkan, dengan adanya sertifikasi ulama, dapat mencegah penyebaran paham-paham yang bermuatan provokatif.
Ulama dan mubalig dinilai harus memiliki standarisasi. Namun, kualifikasinya mesti bisa dipertanggungjawabkan secara akademisi. Jika akan dilakukan sertifikasi, Ahmad menyarankan harus dilihat dari tingkat pendidikan ulama dan mubalig tersebut.
"Pertama kita lihat tingkat kesarjanaan seseorang, semakin tinggi semakin banyak nilainya. Kedua, jam terbang dari seorang ulama dan mubalig. Semakin lama semakin banyak nilainya. Kemudian posisinya di masyarakat bagaimana," katanya.
Setelah itu, nilai dari ulama dan mubalig akan ditetapkan predikat sertifikasinya. Predikat tersebut akan disesuaikan di mana ulama dan mubalig bisa menyampaikan ceramah.
Hal senada disampaikan anggota Komisi VIII DPR yang membidangi sosial dan keagamaan, Samsu Niang. Sertifikasi dinilai perlu untuk mendata ulama, serta mengetahui kapabilitas dan integritasnya. Sebab, saat ini tak semua ulama punya kapabilitas dan dasar keilmuan yang ideal saat berkhotbah. "Sekarang banyak ulama yang karbitan, banyak kiai karbitan. Belum tahu ayat sudah bisa naik. Inilah barangkali yang perlu disertifikasi," kata Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu.
Suara berbeda datang dari Ketua Dewan Syuro Front Pembela Islam Sulawesi Selatan, Abu Thoriq. Dengan adanya sertifikasi ulama sama saja dengan tidak mempercayai ulama. "Bahasanya ini saja dengan pernyataan tidak percaya dengan ulama. Kan ulama kalau membawakan dakwah Jumat berdasarkan ayat-ayat suci Alquran," kata Thoriq, Jumat, 3 Februari 2017.
Bukan hanya itu alasannya. Dia juga mempertanyakan kelayakan lembaga, instansi ataupun ormas yang dapat memberikan sertifikasi terhadap ulama.
Penolakan wacana itu pun mencuat dari pengurus Pusat Persatuan Islam menyatakan. Wakil Ketua Umum PP Persis Jeje Jaenudin mengemukakan, kualitas dan integritas seorang ulama terbentuk tidak sepenuhnya melalui aspek formal. Sebab, dai di Indonesia lahir dan diproduk dari lingkungan religius itu sendiri.
Kualitas ulama atau dai terbentuk dari dua hal, yaitu terpadunya kualitas aplikasi pemahaman agama dan tumbuhnya kepercayaan masyarakat karena keteladanannya.
"Dengan keahlian yang dimilikinya, kemampuan, kepercayaan umat, itu perpaduan integritas pribadi. Jadilah seorang figur dai, figur ulama. Maka tidak mudah (mensertifikasi)," ujar Jeje.
Isu Lawas
Isu sertifikasi ulama sebenarnya bukan baru muncul saat ini. Pada 2012, isu ini sempat ramai dibicarakan publik.
Soal sertifikasi ulama menarik perhatian ketika seorang pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjawab pertanyaan tentang perbandingan Indonesia dengan negara lain dalam menanggulangi terorisme.
Saat itu, dalam sebuah diskusi, pejabat tersebut menjelaskan di negara lain melakukan sertifikasi ustaz sebagai upaya deradikalisasi. Usai itu, muncul sejumlah berita BNPT mengusulkan program sertifikasi ulama dan pesantren.
Selanjutnya, berbagai pendapat soal tersebut mencuat. Ketika itu, anggota DPR Mahfudz Siddiq, misalnya, menolak mentah-mentah wacana itu. Menurutnya, ide sertifikasi pesantren justru akan menyulut sentimen negatif dari berbagai pondok pesantren terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Isu itu lantas dibantah Ansyaad Mbai selaku kepala BNPT saat itu. Dia menampik lembaganya mengusulkan program sertifikasi ulama dan pesantren. “Itu keliru ditafsirkan,” kata Ansyaad di Kantor Wapres RI, Jakarta, Senin, 10 September 2012.