Selamat Datang Donald Trump, Era Baru Amerika
- REUTERS/Brendan McDermid
VIVA.co.id – Januari 2017, setelah delapan tahun berada di garda terdepan Amerika Serikat, akhirnya selesai juga masa kepemimpinan Barack Obama. Mulai Jumat malam, 20 Januari 2017 waktu setempat, usai dilantik dan diambil sumpah, Donald Trump resmi menggantikan posisi Obama menjadi orang nomor satu AS.
Trump berhasil memenangkan electoral college, saat pemilu AS pada 8 November 2016 lalu. Ia melampaui Hillary Clinton, dengan perolehan suara 304 electoral votest. Sementara itu, Hillary yang menjadi kompetitornya hanya meraih 227 electoral votes.
Kemenangan Trump menjadi sesuatu yang mengejutkan. Sebab, sejak kampanye, bahkan hingga satu minggu menjelang pemilu, sejumlah lembaga polling menyatakan Hillary akan memenangkan pemilihan. Apalagi, sejak masa kampanye, Trump kerap melontarkan kalimat yang melecehkan dan merendahkan, seperti yang ia lontarkan pada kelompok Muslim dan warga Meksiko.
Tak hanya masa kampanye, sejak menjadi Presiden AS terpilih, sikap Trump juga sudah membuat banyak negara emosi. Misalnya, saat Trump jelas-jelas menunjukkan hubungannya dengan Taiwan. Selama puluhan tahun, AS sudah mengakui kebijakan Satu China sebagai dasar hubungannya dengan China.
Dengan pengakuan Satu China, maka AS tak bisa berhubungan langsung dengan Taiwan, karena China menganggap Taiwan adalah provinsi yang membangkang, namun masih menjadi bagian dari China. Itu sebabnya, pembicaraan langsung antara Presiden Taiwan dengan Trump membuat China naik pitam.
Pekan lalu, Trump juga membuat merah telinga petinggi Uni Eropa, dengan mengatakan NATO sudah usang, namun ia masih membutuhkannya. Trump mengatakan, tak semua anggota NATO membayar secara adil untuk keamanan AS.
"Banyak negara anggota NATO, tak membayar yang seharusnya mereka bayar. Dan, menurut saya ini sangat tak adil bagi Amerika," ujarnya.
NATO dibentuk pada akhir masa Perang Dingin dengan Amerika sebagai penggeraknya. NATO didirikan untuk menjadi pelindung Eropa dari Rusia. Dengan kesepakatan, "satu serangan pada negara anggotanya, itu berarti serangan untuk seluruh anggota NATO."
Trump juga sempat menyerang Kanselir Jerman, Angela Merkel, dengan mengatakan keputusan Merkel menerima pengungsi adalah keputusan yang salah dan menimbulkan bencana. Trump mengaitkan keluarnya Inggris dari Eropa, sebagai akibat dari keputusan Jerman menerima pengungsi besar-besaran di Eropa.
Namun Trump memuji Rusia. Sejak masa kampanye hingga terpilih, ia konsisten memuji Rusia. Trump mengaku memiliki tujuan, agar Rusia bersedia mengurangi penggunaan senjata nuklir. Meski diberitakan melakukan kerja sama dengan Rusia, agar memenangkan pilpres AS, namun Trump bergeming.
Ia acuhkan laporan intelijen setebal 35 halaman yang menuduhnya ada main dengan Rusia, dan balik menuduh, media yang memberitakan kabar tersebut sebagai penyebar berita palsu.
Selanjutnya, pandangan pengamat>>>
***
Pengamat internasional dari Universitas Indonesia Suzie Sudarman mengatakan Trump adalah ekstraordinari presiden. Ia adalah seorang presiden yang tak bisa diperintah, atau diberi nasihat.
"Trump itu seperti pemain sulap - bermain di tataran publiknya yang rasis istimewa pada saat defisit. Lalu, bermimpi tentang nuklir, karena perang konvensional tidak efektif. Namun, dia tidak ingat teknologi nuklir kalau jatuh ke tangan musuh konvensional sangat berbahaya," ujar Suzi kepada VIVA.co.id yang menghubunginya melalui pesan singkat.
Meski Trump terus mengomentari dan melakukan manuver yang seolah menyerang negara lain, Suzi menilai, justru saat mengendalikan AS nanti Trump akan lebih banyak fokus ke dalam negeri. "Dia akan membuat jalannya sendiri, karena ia extraordinary president. AS telah lama kaya dan terbuai dengan cara liberal yang santun, tetapi intervensionist. Dia mau memperkuat AS, dengan jalan memperkaya negeri. Padahal, masalah AS adalah struktural. Bagaimana menyusun kembali sumber-sumber employment, setelah 50 ribu pabrik AS tutup sejak 1993," ujar Suzi.
Menurutnya, Trump cenderung berilusi. Dan, sebagian masyarakat AS mempercayai ilusi Trump.
Kecurigaan bahwa Trump juga akan lebih fokus pada problem dalam negeri juga disampaikan oleh Zhang Baohui, seorang pakar masalah keamanan dari Universitas Lingnan di Hong Kong. Zhang, menganalisa kontak Trump dengan Presiden Taiwan.
Ia mengatakan, Trump tak sungguh-sungguh ingin meningkatkan konflik dengan Beijing, namun China tak memberikan banyak pengaruh pada Presiden AS mendatang tersebut.
"Trump sangat cerdas. Ia menggunakan isu Taiwan sebagai kunci untuk tawar menawar dengan China. Agenda Trump sangat sederhana. Ia hanya peduli pada ekonomi domestik. Isunya adalah menciptakan pekerjaan. Ia yakin, memilah isu perdagangan dengan China, akan membantunya menciptakan pekerjaan di dalam negerinya," ujar Zhang seperti dikutip dari Independent, Kamis 19 Januari 2017.
Problemnya, latar belakang Trump adalah pebisnis. Kekhawatiran bahwa Trump akan mencampuradukkan antara bisnis dengan posisinya sebagai Presiden AS sempat meruak. Namun, Trump berusaha menepis kekhawatiran itu dengan berjanji, ia akan melepas seluruh bisnisnya selama menjalani tugas sebagai eksekutif.
Sikap yang sama disampaikan oleh Ivanka Trump, anak perempuan Trump yang selama ini juga terlibat penuh dalam bisnis Trump. Seperti ayahnya, Ivanka mengatakan, ia dan Jared Kushner, suaminya, akan total melepaskan bisnis.
Tapi niat Trump dan Ivanka diragukan. Peneliti senior Hoover Institution dari Stanford University, Niall Ferguson mengatakan, sebagai seorang oligarkis, Trump sudah menunjukkan tanda-tanda bakal mencampuradukkan kepentingan bisnis dengan posisinya sebagai pejabat negara.
"Sekali pun Trump menyatakan prioritas pertamanya adalah menjadi Presiden Amerika Serikat, dan dia berjanji tidak akan mengurusi kelompok bisnisnya. Tetapi, saya melihat Trump orang yang sangat bernafsu membangun dinasti," ujarnya.
Ferguson, bahkan meramalkan, jika Trump tak menepati ucapannya untuk menjaga jarak dengan bisnis, ia berpotensi dilengserkan.
Trump, kini resmi menjadi orang pertama di sebuah negara adi daya. Ia punya mimpi besar untuk menyulap dunia, dan segudang pekerjaan rumah menantinya. Bagaimana pun, kebijakan Amerika untuk dalam maupun luar negeri akan membawa pengaruh besar di seluruh dunia.
Segala ucapan Trump yang pernah disampaikan pada masa kampanye kini ditunggu. Warga dunia, dari Asia hingga Afrika, berdebar menunggu warna Amerika ditangan miliuner properti itu.
Seperti disampaikan Suzie Sudarman, negara kaya acap lupa bahwa tidak bisa menyulap dunia. “Keadilan harus cepat diwujudkan. Baik yang konservatif maupun yang liberal, sama tidak mampunya mengalihkan ke arah ini. Perlu pembaharuan dari liberalisme AS, tetapi bukan dengan ilusi kharismatis seorang neofacist,” ujarnya.
“Liberalisme AS cenderung percaya, kekayaannya bisa pulih dan terus melanjutkan sikapnya yang internasionalis. Padahal, program mereka terjegal pemerintahan konservatif beberapa kali,” dia menambahkan.
Selamat datang Donald Trump, selamat bertugas. Dunia menunggumu. (asp)