Jelang Akhir Cerita Kartel Honda-Yamaha
- Blogotive.com
VIVA.co.id – Kasus dugaan kartel atau penetapan harga untuk membatasi kompetisi skuter matik (skutik) 110-125cc yang membelit dua raksasa otomotif sepeda motor, Honda-Yamaha di Indonesia, kini masuk babak akhir. Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akhirnya membacakan kesimpulan berdasarkan fakta persidangan yang sudah digelar sejak beberapa bulan lalu.
Dalam sidang terakhir yang digelar Senin, 9 Januari 2017, di markas KPPU, Jakarta Pusat, disimpulkan bila PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) dan PT Astra Honda Motor (AHM) terbukti telah melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud KPPU yakni, kedua agen tunggal pemegang merek (ATPM) di Indonesia itu telah melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dengan mengatur harga skutik 110-125cc-nya menjadi mahal dari harga sewajarnya.
Anggota Tim Investigator KPPU, Helmi Nurjamil, mengatakan, berdasarkan fakta persidangan, mantan Presiden Direktur PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing (YIMM) Yoichiro Kojima, mengakui pernah berikirim surat elektronik kepada bawahannya untuk mengkaji ulang harga motor skutik Yamaha.
"KPPU menemukan bukti e-mail, di mana dalam e-mail tersebut berbunyi 'We need send message to Honda that Yamaha follow up price'. Kami sudah klarifikasi Mr. Kojima, dia mengaku pernah mengirimkan e-mail itu," kata Helmi saat pembacaan kesimpulan di Kantor KPPU, Jakarta Pusat.
Dalam kesempatan itu, Tim Investigator menyimpulkan jika pihak terlapor yakni Yamaha dan Honda terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun bunyi Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 5/1999 adalah pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Tim Investigator kemudian merekomendasikan kepada Majelis Komisi untuk memberikan hukuman pada Yamaha dan Honda berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 5/1999, dengan memberikan sanksi kepada mereka. Rencananya, putusan sidang yang digelar KPPU akan dilakukan selambat-lambatnya 20 Februari 2017 mendatang.
Tak boleh tetapkan harga
Dalam rekomendasi yang diberikan Tim Investigator kepada Majelis Komisi, disebutkan jika Yamaha dan Honda dilarang untuk menetapkan harga on the road. Mereka diperkenankan hanya bisa menetapkan harga off the road. "Sementara biaya BBN (Bea Balik Nama) atau biaya tambahan lainnya yang dipungut negara dibayarkan atas dasar pilihan konsumen, tidak dipaksakan apakah akan dibayarkan sendiri atau melalui diler," ujar Helmi.
Tim Investigator KPPU juga merekomendasikan Majelis Komisi memberikan saran kepada pemerintah atau instansi terkait untuk melarang pelaku otomotif memberikan harga referensi kepada diler, dengan memasukkan komponen harga seperti Bea Balik Nama. Di mana harga tersebut bukan bagian dari struktur harga pabrikan.
"Pada Yamaha tahun 2012, ditemukan kenaikan dua kali dengan total Rp200 ribu, 2013 kenaikan maksimal tiga kali dengan total Rp300 ribu. Yang menarik di 2014, total kenaikannya sebanyak empat kali, total yang paling besar Rp620 ribu," katanya.
Sementara itu, Executive Vice President YIMM, Dyonisius Beti, menilai tudingan kerjasama YIMM dengan AHM dalam menetapkan harga jual sepeda motor skutik di Indonesia tak berdasar. Sebab, Tim Investigator KPPU tidak memiliki bukti yang kuat. Hal itu disampaikan sebagai bagian dari kesimpulan persidangan. "Yamaha Indonesia sama sekali tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang. Kami taat kepada undang-undang persaingan usaha yang sehat," kata Dyon, di Kantor KPPU.
Proses investigasi yang dilakukan Tim Investigator KPPU juga dinilai tak sesuai dengan prosedur yang berlaku. Di mana saat melakukan penggeledahan kantor Yamaha di Pulogadung, Jakarta Timur, tim dari KPPU tak membawa surat pemberitahuan resmi dari pengadilan ataupun pemberitahuan kepada Yamaha sebelumnya. Apalagi, kata Dyon, dokumen yang diambil dari markas Yamaha kemudian diubah dan dimanipulasi oleh KPPU untuk kemudian dijadikan bukti. Sehingga, tudingan yang dialamatkan kepada YIMM dan Honda terlalu sumir dan dipaksakan.
"Kami harap keputusan nanti akan memberikan iklim investasi yang sehat dan baik untuk Indonesia. Kami percaya bahwa majelis akan bertindak seadil-adilnya untuk perkara ini," ujarnya.
Di kesempatan sama, General Manager of Corporate Secretary and Legal AHM, Andi Hartanto mengharapkan, Majelis Komisi bisa memutus perkara secara adil. "Menurut saya, proses persidangan tidak bisa membuktikan adanya tuduhan kartel," ungkapnya.
AHM, kata dia, tak melakukan kerjasama dengan YIMM dalam menetapkan harga jual sepeda motor skutik 110-125cc di Indonesia. Dirinya berharap KPPU bisa memberikan keputusan yang adil dan bijaksana. "Sehingga, kondusif bagi situasi perekonomian. Perusahaan yang sudah memiliki reputasi yang lama, tentu tidak akan bermain-main dengan kartel.
Terkait rekomendasi dari Tim Investigator KPPU yang meminta pabrikan motor tak boleh menetapkan harga on the road, General Manager Aftersales Department YIMM, Muhamad Abidin, tak mempersoalkan bila konsumen ingin membeli motor dengan status off the road. Namun, kata dia, biasanya pembelian sepeda motor dengan status off the road lebih merepotkan.
"Beli motor status off the road ngurusnya susah. Kalau (on the road) di diler itu kan ada biro jasa, mereka yang urus itu. Itu kebijakan diler, kami enggak ikut campur. Yamaha hanya mengumumkan status on the road Jakarta. Begitu di daerah harga jadi beda, tergantung daerahnya," kata Abidin.
Jika membeli sepeda motor dengan status on the road, konsumen juga diberi kemudahan, yakni tinggal menerima surat-surat kendaraan seperti STNK, BPKB dan pelat nomor kendaraan. Sehingga konsumen tak perlu lagi repot-repot untuk mengurus dokumennya.
"Kadang ada juga yang membeli di Jakarta mereka bawa ke daerah, contohnya konsumen tidak tinggal di Jakarta, tapi di daerahnya indent terus. Kadang gitu dia bawa unitnya dan dia urus sendiri," ujarnya.
Abidin mengklaim secara keseluruhan ongkos untuk mengurus pembelian sepeda motor dengan status off the road akan lebih mahal ketimbang membeli secara on the road, lantaran panjangnya proses pengurusan dokumen.
Penjualan jeblok
Buntut disangkakannya Yamaha dalam isu kartel bersama Honda oleh KPPU ternyata serius berdampak terhadap penjualan sepeda motor. Yamaha sebagai terlapor pertama mengaku kini penjualannya terus merosot dan sangat dirugikan akibat isu ini.
"Dampaknya cukup besar ya di Yamaha. Karena break limit. Kita tidak melakukan seperti itu, tapi pihak-pihak luar negeri itu juga yang ingin ekspor merasa 'oh bener enggak ya Yamaha kemahalan'?" kata Dyon.
Dyon menjelaskan, akibat kasus yang cukup besar ini, bisnis-bisnis partner Yamaha yang ingin melakukan investasi di Indonesia menjadi ragu, apakah benar adanya kartel antara Yamaha dan Honda. "Iya, jadi mereka ragu-ragu karena kasus seperti ini, apakah benar ada kartel atau tidak. Selain itu, karyawan juga resah, mangkok nasi kita terganggu. Mereka juga mau demo. Tapi kita bilang jangan," ujarnya.
Penjualan Yamaha kini turun lebih dari 25 persen pada tahun 2016. Angka itu turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan penjualan juga dirasakan pada konsumen di luar negeri. Sebab, konsumen menjadi ragu untuk membeli produknya tersebut. "Tentu diler-diler yang ingin membuka diler jadi agak tunda dulu, menunggu keputusan ini. Negara-negara tujuan ekspor juga bilang harga Yamaha paling mahal di Indonesia. Mereka jadi ragu," ujarnya.
Dyon berharap kasus ini bisa diselesaikan dengan seadil-adilnya. Sehingga, tidak memengaruhi iklim investasi di Tanah Air. "Saya juga berharap putusan ini mempertimbangkan faktor investor asing supaya menarik dan dampak satu juta dari karyawan yang ada," katanya.
Sementara Helmi dari KPPU mengatakan, pihaknya berharap kasus dugaan kartel skutik segera terang benderang. Hal itu bertujuan untuk membuka mata masyarakat bahwa kenaikan harga motor lebih dari dua kali yang dilakukan Yamaha-Honda adalah tidak wajar. Bahkan harga skutik yang dipatok Rp14 juta juga tidak sehat.
"Ketika mereka menaikkan bersamaan, konsumen berpikir ini dari sananya, karena yang banyak di pasar produk mereka. Karena pesaingnya juga sedikit masyarakat jadi enggak aware (peduli)," katanya.
Lantas, berapa ancaman sanksi yang bisa dikenakan oleh KPPU selaku regulator, apabila Honda dan Yamaha terbukti melakukan praktik kartel oleh Majelis Komisi. "Maksimum Rp25 miliar. Itu masing-masing bagi pelaku usaha, jika terbukti melakukan kartel," ujar Ketua KPPU Syarkawi Rauf, saat berbincang dengan VIVA.co.id.
Syarkawi menjelaskan, pengenaan sanksi tersebut memang telah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. KPPU sendiri ditegaskan tidak bisa memberikan sanksi yang jauh lebih besar daripada nominal tersebut. Namun, berbagai rekomendasi dari hasil persidangan akan tetap dipertimbangkan KPPU selaku regulator. Seberapa berat pelanggaran yang dilakukan kedua perusahaan tersebut berdasarkan hasil sidang, akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. "Opsinya banyak. Nanti kami lihat dulu," tegas dia.