Soal Keselamatan Penerbangan, Bagaimana Maskapai RI
- REUTERS/Beawiharta
VIVA.co.id – Situs pemeringkat maskapai penerbangan, AirlineRating.com, merilis rating maskapai paling aman di dunia pada tahun ini. Menurut surveinya, maskapai asal Australia, Qantas masih berada di posisi teratas pada tahun ini, setelah tiga tahun terakhir bertengger di posisi tersebut.
Dikutip VIVA.co.id dari data rating tersebut, Senin 9 Januari 2017, setidaknya ada 20 maskapai teraman untuk 2017, adalah Qantas, Air New Zealand, Alaska Airlines, All Nippon Airways, British Airways, Cathay Pacific Airways, Delta Air Lines, Etihad Airways, EVA Air, Finnair, Hawaiian Airlines, Japan Airlines, KLM, dan Lufthansa.
Kemudian, Skandinavian Airlines System, Singapore Airlines, Swiss, United Airlines, Virgin Atlantic, dan Virgin Australia.
Dalam menentukan peringkat ini, situs itu memperhitungkan berbagai faktor-faktor yang meliputi, audit dari badan yang mengatur penerbangan dan asosiasi, audit pemerintah, kecelakaan maskapai, dan merekam insiden serius, profitabilitas, dan usia armada.
Penilaian diberikan berdasarkan bintang. paling bagus adalah memiliki tujuh bintang dan yang terendah satu bintang. Dari 425 maskapai yang disurvei, 148 mendapat peringkat keamanan dengan tujuh bintang, 50 maskapai hanya mendapat tiga bintang, atau kurang.
Tim editorial AirlineRating juga memeriksa sejarah armada setiap maskapai dan rekam jejaknya, khususnya terkait teknologi keselamatan yang digunakan ke-20 maskapai teraman tersebut.
Maskapai-maskapai itu, juga dinilai selalu berada di garis depan terkait keselamatan, dan terus meluncurkan pesawat-pesawat baru dalam operasionalnya.
AirlineRating juga mengidentifikasikan 10 maskapai berbiaya murah teraman di dunia. Ke 10-nya adalah Aer Lingus, Flybe, HK Express, Jetblue, Jetstar Australia, Jetstar Asia, Thomas Cook, Virgin Amerika, Vueling, dan Westjet. Semuanya mendapat bintang tujuh dari segi keselamatan penerbangan.
Semua maskapai penerbangan berbiaya murah itu telah lulus dari audit ketat aturan International, Air Transport, Association Operational Safty Audit (IOSA). Asosiasi tersebut telah menerapkan lebih dari 1.000 item yang harus di penuhi untuk mendapatkan penilaian yang baik dari segi keselamatan.
Meskipun ada beberapa kecelakaan pesawat, namun 2016, menjadi salah satu periode teraman dalam perjalanan udara. Sepanjang tahun lalu, terjadi sekitar tujuh insiden pesawat fatal yang mengakibatkan 271 korban meninggal. Tetapi, jumlahnya menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Dijelaskan, tujuh bintang yang disematkan mewakili kriteria penilaian yang menjadi parameter. Yaitu, apakah maskapai tersebut bersertifikat IOSA, telah disahkan oleh Federal Aviation Authority (FAA) Amerika Serikat, dan apakah maskapai tersebut tidak masuk daftar hitam penerbangan di Uni Eropa.
Kemudian, apakah maskapai itu mampu mempertahankan rekor dalam 10 tahun terakhir tidak ada kecelakaan yang menyebabkan kematian. Dan, apakah negara asal maskapai itu memenuhi delapan parameter keselamatan yang berdasarkan aturan keselamatan International Civil Aviation Organization (ICAO).
Khusus untuk kriteria ICAO, jika maskapai memenuhi lima parameter, hanya mendapatkan satu bintang. Tetapi, jika kedelapanya bisa dipenuhi, mendapat dua bintang, seperti jika maskapai telah mendapatkan sertifikat IOSA.
Selanjutnya, rating maskapai Indonesia>>>
***
Rating maskapai Indonesia
Dalam rating tersebut, ada beberapa maskapai penerbangan asal Indonesia yang termonitor dan hasilnya tidak begitu mengembirakan. Bahkan, ada beberapa maskapai Indonesia yang hanya mendapatkan bintang dua.
Maskapai Indonesia yang mendapatkan bintang tiga dan di bawahnya adalah Air Asia Indonesia (dua bintang), Sriwijaya Air dan Nam Air (dua bintang), Trigana Air (dua bintang), Kalstar Aviation (dua bintang), Citilink (tiga bintang), dan Lion air (tiga bintang).
Sementara itu, ada dua maskapai Indonesia yang mendapatkan bintang di atas tiga, yaitu Garuda Indonesia (empat bintang) dan Batik Air (lima bintang).
Dijelaskan, untuk maskapai Indonesia yang mendapatkan tiga bintang ke bawah, rata-rata belum memiliki sertifikat IOSA dan belum memenuhi kriteria ICAO. Sementara itu, insiden kecelakaan Garuda Indonesia pada 2007 silam, membuat bintang yang didapatkan maskapai tersebut lebih rendah dibanding Batik Air.
Namun, perlu diketahui, operasional Batik Air, maskapai premium Lion Air grup itu baru resmi diluncurkan pada 2013. Artinya, belum mencapai 10 tahun beroperasi di dunia penerbangan.
Meskipun demikian, Ketua Forum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Suharto Abdul Majid mengungkapkan, secara rill terjadi peningkatan standarisasi keselamatan maskapai penerbangan di Indonesia. Hal itu dibuktikan, dari naiknya peringkat penerbangan beberapa maskapai Indonesia di FAA.
"Di FAA (sebagian maskapai) kita kan sudah naik ke kategori I, dari sebelumnya II. Kalau kategori II, kan unsafe (tidak aman), tetapi kalau satu kan jadi safe. Tapi kan, tetap ada grade-nya, aman dan sangat aman, atau gimana," ujarnya, saat berbincang dengan VIVA.co.id, Senin 9 Januari 2017.
Selain itu, menurut dia, untuk menentukan tingkat keselamatan penerbangan, tidak hanya tergantung pada operatornya saja, atau maskapai penerbangan, tetapi ada peran pengelola bandara dan operator navigasi.
"Penerbangan tidak berdiri sendiri, berhubungan dengan maskapai, bandara, dan navigas. Nah, seberapa bisa mengantisipasi insiden dan kecelakaan yang terjadi," ungkapnya.
Berikutnya, tidak menjadi acuan>>>
***
Tidak jadi acuan
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Agoes Soebagio, ketika dikonfirmasi VIVA.co.id mengenai peringkat ini menegaskan, peringkat tersebut tidak menjadi acuan pemerintah.
Sebab, menurutnya, selain bukan sebagai lembaga resmi, penilaian yang dilakukan oleh AirlineRating, tentunya hanya dilihat dari kaca mata komersil.
"Kalau penilaian AirlineRating itu kan, dari sisi komersialnya. Sementara, kita enggak pakai standar yang mereka tetapkan itu. Ukuran standar keselamatan penerbangan kita itu pakai ICAO," kata Agoes, Senin 9 Januari 2016.
Agoes menegaskan, karena Indonesia ini adalah sebuah negara berdaulat, maka standar-standar yang digunakan Kementerian Perhubungan dalam sektor penerbangan seharusnya juga menggunakan lembaga resmi internasional. Atau, lembaga standarisasi khusus dari negara yang menjadi tujuan penerbangan.
"Kalau secara internasional itu ada ICAO. Kalau penerbangan ke Amerika Serikat, pakai standar FAA, dan kalau ke Eropa, ya mengikuti standar EU-ASC (EU Air Safety Commitee). Dalam soal safety, tiga parameter itulah yang dijadikan ukuran kita," tambahnya.
Agoes menjelaskan, secara resmi aspek keselamatan penerbangan Indonesia selalu diaudit dalam periode tertentu oleh ICAO, melalui lembaga yang bernama Universal Safety Oversight Audit Program (USOAP). Sementara itu, untuk aspek keamanan, pihak yang mengaudit sektor penerbangan Indonesia adalah Universal Security Audit Program (USAP).
"Saya rasa, semua negara juga pakai ukuran itu untuk yang resminya. Sementara, implementasinya memang harus dilakukan oleh maskapai-maskapai penerbangan yang beroperasi di Indonesia," kata Agoes.
Agoes juga menjelaskan, dalam penilaian standar FAA, level penerbangan Indonesia, bahkan sudah naik menjadi kategori I. Sehingga, Indonesia sendiri bisa melakukan penerbangan langsung ke Amerika Serikat, di mana saat ini pihak Garuda Indonesia Airlines (GIA) sedang mengurus terwujudnya hal tersebut.
"Kalau untuk standar keselamatan di Eropa, ya pakai EU ASC (EU Air Safety Commitee) itu. Pihak yang meneliti di sana itu namanya EASA (European Aviation Safety Agency), dan maskapai-maskapai lokal yang sudah lolos kualifikasi EASA itu antara lain seperti Garuda, Citilink, AirAsia, Lion Air, Batik Air, dan PrimaAir (privat jet)," tambahnya. (asp)