Australia (Lagi-lagi) Melecehkan Indonesia

Indonesia hentikan kerja sama militer dengan Australia.
Sumber :
  • Australian Defence Force/Handout via REUTERS

VIVA.co.id – Banyak yang mengatakan bila Indonesia adalah raksasa yang sedang tidur (The Sleeping Giant). Meski begitu, jangan pernah mengusiknya jika tidak ingin “dimakan”. Walaupun tetangga dekat, Australia lagi-lagi mengganggu Indonesia.

Padahal, empat tahun lalu, Negeri Kanguru itu tercoreng namanya setelah terungkap melakukan aksi penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Australia (Australian Signal Directorate/ASD).

Kala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung bereaksi keras dan tegas, yakni menghentikan sejumlah kerjasama yang selama ini sudah terjalin. Pertama, Indonesia menghentikan kerjasama pertukaran informasi dan pertukaran intelijen.

Kedua, Indonesia menghentikan kerja sama latihan militer tiga matra dengan Australia. Ketiga, Indonesia menghentikan kerja sama terkait masalah penyelundupan manusia (people smuggling). Kasus tersebut seperti tidak membuat Australia kapok “menyenggol” Indonesia.

Yang terbaru, tepatnya 29 Desember 2016, seorang perwira Komando Pasukan Khusus TNI-AD menjadi instruktur Bahasa Indonesia di Akademi Pasukan Khusus (SAS) Australia di Perth, menemukan materi yang dianggap menghina Indonesia.

Pelecehan ideologi bangsa Indonesia itu ditemukan ketika sang perwira bertugas memberikan pelatihan. "Pada saat mengajar di sana, ditemukan hal tidak etis sebagai negara sahabat yang mendiskresikan TNI dan bangsa Indonesia, bahkan ideologi bangsa Indonesia," kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, di Jakarta, Kamis, 5 Januari 2017.

Ia pun merincikan bentuk pelecehan yang dilakukan Australia, seperti dalam kurikulum dan sistem pelajarannya. "Tentang-tentara yang dahulu, Timor Timur (Timor Leste) dan Irian Jaya (Papua), juga harus merdeka dan tentang Pancasila yang dipelesetkan menjadi Pancagila. Tidak benar," ungkapnya menegaskan.

Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, langsung meminta maaf dan telah memeriksa masalah serius yang disampaikan dan akan menyelidiki permasalahan tersebut. Ia mengakui bahwa Indonesia juga telah menyampaikan penangguhan kerjasama dengan Australia.

"Indonesia telah menyampaikan penangguhan kerjasama pertahanan kepada Australia. Sebagai akibatnya, beberapa interaksi antara dua lembaga pertahanan akan ditunda sampai masalah ini diselesaikan. Namun kerja sama di bidang lain masih terus berlanjut," kaya Payne, melalui pernyataan tertulis di situs Kementerian Pertahanan Australia.

Masalah prinsip

Selain Menhan Australia, Gatot membenarkan adanya permintaan maaf dari Panglima Angkatan Bersenjata Australia kepada Indonesia terkait insiden pelecehan ideologi Indonesia. Pangab Australia, Marsekal Mark Donald Binskin, telah mengirimkan surat permintaan maafnya.

"Saya dengan Marsekal Binskin bersahabat. Akhirnya, dia mengirim surat kepada saya untuk meminta maaf. Kedua, akan memperbaiki kurikulum. Ketiga, akan melaksanakan investigasi," terangnya.

Melalui surat itu pula, Australia segera mengirim kepala staf angkatan untuk menemuinya dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Mulyono. Sayangnya, Gatot tidak menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan perwira tinggi militer Australia itu.

Menurut Gatot, kurikulum yang melecehkan ideologi bangsa Indonesia itu telah lama diajarkan di Australia. Sehingga Indonesia menunggu, sampai kapan investigasi itu dilakukan. "Dari pernyataan Mark tersebut, dia menyatakan akan menghentikan kurikulum itu, dan akan melaksanakan tim investigasi," kata Gatot.

Presiden Joko Widodo pun mengambil sikap. "Saya sudah menerima laporan dari Panglima TNI dan dari Menteri Pertahanan (Ryamizard Ryacudu). Masalah ini biar di-clear-kan dulu. Ini masalah prinsip," kata Jokowi.

Tak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa kedua negara telah sepakat untuk saling menghormati, saling menghargai dan tidak campur tangan atas urusan dalam negeri masing-masing.

"Saya kira kita sepakat itu. Saya kira hubungan kita dengan Australia masih dalam kondisi yang baik-baik saja. Hanya mungkin di tingkat operasional ini masih perlu disampaikan agar situasinya tidak panas. Saat ini, masalah itu sudah saya perintahkan untuk ditangani oleh Menhan dan Panglima TNI," ungkap dia.

Ditanya soal mekanisme penghentian kerjasama militer kedua negara, apakah cukup melalui Panglima TNI atau harus melalui Presiden, Jokowi menjawab secara diplomatis.

"Sudah disampaikan ke saya. Sudah disampaikan ke saya, artinya kan sudah disampaikan ke saya," kata Jokowi.

Perjalanan berliku

Bukan baru kemarin Indonesia dengan Australia menjalin kerja sama pertahanan. Sejarah membuktikan, kedua negara sudah menjalin hubungan di bidang itu selama 70 tahun.

Hubungan itu dimulai pada 1947. Kala itu, pengamat militer Australia datang ke Indonesia sebagai utusan PBB untuk mengawasi gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda.

Sampai saat ini, kerjasama militer kedua negara masih terjalin. Latihan militer, kerjasama pertahanan dan forum dialog kedua negara sering digelar.

Kerjasama dalam bentuk operasi bersama juga sering dilakukan. Di bidang pendidikan militer, pertukaran pelajar baru, logistik, juga dijalin kedua negara.

Salah satu kerjasama forum dialog adalah forum Indonesia-Australia. Forum dialog yang terbentuk pada 2001 ini awalnya bernama Pertemuan Informal Indonesia-Australia.

Tapi pada pertemuan ke-2 di Yogyakarta, kedua delegasi sepakat untuk memberi nama Indonesia-Australia Defence Strategic Dialogue (IADSD). Forum digelar secara bergantian, di Indonesia dan Australia.

Selain itu ada perjanjian bilateral antara Indonesia-Australia yang dirumuskan dalam Traktat Lombok 2008. Perjanjian ini meliputi 10 bidang, antara lain kerjasama bidang pertahanan dan keamanan, penegakan hukum, anti-terorisme, dan keamanan maritim.

Perjanjian ini menegaskan prinsip-prinsip saling menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas teritorial, kesatuan bangsa dan kemerdekaan politik setiap pihak, serta tidak campur tangan urusan dalam negeri masing-masing.

Berdasarkan data yang dikelola VIVA.co.id, berikut rekam jejak Australia yang kerap “mengganggu” Indonesia:

Pembebasan Irian Barat

Pada 1959-1962, pemerintah Australia berpihak kepada pemerintah Belanda selama perjuangan Indonesia menentang pemerintahan Belanda di Irian Barat.

Pada saat itu Partai Komunis Indonesia mulai berpengaruh dan ada kekhawatiran di Australia mengenai pengaruh itu. Dikhawatirkan bahwa integrasi daerah jajahan Belanda yang dulu disebut Nugini Barat itu dengan Indonesia akan memperluas pengaruh komunisme.

Masalah tersebut di atas menimbulkan ketegangan terhadap hubungan antara Australia dan Indonesia. Akhirnya dirundingkanlah penyelesaian pada  1962, dengan bantuan PBB, dan Irian Jaya menjadi provinsi Indonesia yang ke-26.

Sejak 1962, Australia telah mengakui Irian Jaya (yang sejak awal 2002 disebut Papua) sebagai bagian integrasi dari Republik Indonesia.

Konfrontasi Malaysia

Periode 1963-65 terjadi konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Australia dan Indonesia mempunyai pandangan yang berlainan mengenai pembentukan negara Malaysia. Daerah bekas jajahan Inggris ini meliputi Malaya, Sarawak, Sabah, dan Singapura. Namun, pada 1965, Singapura pisah dari Malaysia.

Sebagai sebuah Negara Persemakmuran, Malaysia mempunyai kaitan yang penting dalam hubungan militer dan pendidikan dengan Australia. Angkatan Bersenjata Australia sebelumnya telah membantu tentara Malaysia dan Inggris dalam perjuangannya melawan gerilya komunis yang aktif di Malaysia.

Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno waktu itu menyebut Malaysia sebagai rezim ciptaan neo-kolonialis dan menganggapnya ancaman bagi Indonesia. Australia waktu itu terus mendukung Malaysia dan semakin mengkhawatirkan perkembangan komunisme di Indonesia.

Australia juga mengkhawatirkan adanya pendekatan konfrontasi yang digunakan Indonesia untuk menghadapi Malaysia. Akhirnya tentara Australia, yang mendukung Pemerintah Malaysia, terlibat dalam pertempuran dengan tentara Indonesia di Borneo (sekarang Kalimantan).

Masalah tersebut di atas terpecahkan setelah diangkatnya Soeharto sebagai Presiden menggantikan Soekarno pada 1966. Satu tahun berikutnya, Australia memberikan dana bantuan untuk membantu membangun kembali ekonomi Indonesia.

Integrasi Timor Timur

Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada 1975-1976 telah ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya, terjadi perselisihan di antara berbagai kelompok politik di Timor Timur.

Angkatan Bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia satu tahun berikutnya. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia.

Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media massa. Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure (atas nama hukum) tiga tahun kemudian.

Kemerdekaan Timor Timur

Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan Presiden Soeharto. Pada Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi khusus kepada Timor Timur.

Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Tepat 5 Mei 1999, PBB, Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor Timur.

Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia atau menjadi negara merdeka. Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78,5%).

Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Jakarta menyetujui keterlibatan pasukan keamanan internasional pemelihara keamanan.

Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (INTERFET). Pada 20 Oktober 1999, Majelis Permusyawaratan Rakyat mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.

Peristiwa-peristiwa ini telah menimbulkan ketegangan dalam hubungan Australia-Indonesia dalam jangka pendek tersebut. Namun, kedua negara telah sepakat untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan.

Pencari Suaka Papua

Pada 2006, sebanyak 43 warga Papua meminta suaka politik ke Australia. Kala itu, pemerintah Australia memberikan visa perlindungan sementara (temporary protection visa) kepada 42 dari 43 warga Papua.

Hal ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono marah dan menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia, Hamzah Thayeb, ke Jakarta.

Pemerintah Indonesia menyatakan tidak bisa menerima keputusan Australia yang telah memberikan visa tinggal sementara kepada 42 warga Papua dan menganggap Canberra menerapkan standar ganda dalam kasus pemberian visa tinggal sementara.

Ketegangan berakhir saat Presiden SBY dan Perdana Menteri Australia John Howard bertemu dan sepakat untuk menormalisasi hubungan bilateral dan saling menghormati kedaulatan dan integritas wilayah.

Insiden Gubernur DKI Sutiyoso

Satu tahun setelah kasus pencari suaka Papua, tepatnya 29 Mei, Polisi Negara Bagian New South Wales tiba-tiba menggeledah kamar hotel tempat menginap Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.

Ia diminta paksa oleh kepolisian setempat untuk menghadiri sidang terkait dengan kasus terbunuhnya lima wartawan asing di Balibo, Timor Timur, pada 1975.

Dua polisi federal, yaitu Sersan Steve Thomas dan Detektif Senior Constable Scrzvens, menerobos masuk ke kamar hotel tempatnya menginap di Hotel Shangri-La, Sydney. Atas insiden itu, Sutiyoso menuntut pemerintah Australia memberikan klarifikasi dan meminta maaf atas pelecehan dan sikap tidak terpuji yang dilakukan Polisi Federal Australia.

Apalagi, ia berada di Australia sebagai pejabat negara resmi atas undangan resmi. Dua hari kemudian, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, melayangkan surat permintaan maaf dari Perdana Menteri Negara Bagian New South Wales (NSW), Morris Iemma.

Penyadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Pada 20 November 2013, Presiden SBY mengambil langkah tegas atas aksi penyadapan yang dilakukan Badan Intelijen Australia, yakni dengan menghentikan sejumlah kerjasama yang selama ini sudah terjalin.

Ia juga menyampaikan surat protes ke Perdana Menteri Tony Abbott. Berdasarkan hukum yang berlaku pada kedua negara, kegiatan penyadapan tidak diperbolehkan.

Selain menabrak hak-hak asasi manusia, aksi spionase tentu juga berkaitan dengan moral dan etika sebagai sahabat, tetangga dan rekan kerja.

Untuk itu, pemerintah Indonesia mengharapkan sekali lagi penjelasan dan sikap resmi Australia atas penyadapan tersebut.