Nestapa Aleppo dan Peran Damai Indonesia

Evakuasi Warga Aleppo terus dilakukan.
Sumber :
  • REUTERS / Abdalrhman Ismail

VIVA.co.id – Jatuhnya kota Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, ke tangan pasukan pemerintah tentu menjadi kemenangan bagi rezim Presiden Bashar al-Assad, dan juga Rusia serta Iran. Situasi ini memicu amarah sekaligus bukti ketidakberdayaan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat. Mereka dipenuhi rasa malu lantaran gagal menghentikan konflik di Suriah yang sudah berlangsung lima tahun lamanya.

Tak hanya AS, Jerman dan Prancis nampak terkejut saat Aleppo, yang dikuasai pemberontak pro-penggulingan al-Assad beberapa tahun terakhir, berhasil direbut kembali pasukan Suriah yang dibantu Rusia, Iran dan milisi Syiah dalam pertempuran yang menewaskan sekitar 500 ribu jiwa dan mengungsikan 12 juta jiwa tersebut.

Apa yang membuat Aleppo begitu penting untuk direbut kembali?

Menurut situs BBC, Tim Eaton ahli Timur Tengah dari lembaga think tank Chatham House, mengatakan Aleppo digambarkan pemberontak sebagai kota altenatif yang kredibel dibanding Damaskus.

Ia mengatakan, kekalahan pemberontak di sana merupakan 'hal yang sangat menentukan dalam perang ini,' dan juga dampaknya 'sangat buruk terhadap moral.' Menurutnya, kejatuhan Aleppo 'lebih menunjukkan kelemahan Aleppo, dan bukan kekuatan rezim.'

"Rezim (pasukan pemerintah) membutuhkan waktu enam bulan, dengan dukungan luar biasa dari Rusia dan Iran untuk merebut kembali Aleppo," ungkapnya.

Eaton menegaskan bahwa jatuhnya Aleppo bukan berarti perang sudah berakhir. Hanya saja moral pasukan pemberontak menjadi ciut.

Yon Machmudi, Ketua Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia, mengungkapkan, dibutuhkan intervensi yang lebih tegas untuk menghentikan peperangan di Suriah, khususnya Aleppo.

Hal ini dikarenakan keterlibatan Rusia, yang dinilai Yon, sudah terlalu jauh termasuk operasi penyerangan di beberapa daerah di sekitar Aleppo. Akibatnya, korban sipil pun banyak yang tewas.

Warga Suriah berjalan melewati truk rusak dan jalanan hancur (Reuters.com).

"Rusia dan China. Saya kira mereka mendukung rezim yang berkuasa sekarang. Sementara Amerika Serikat, di bawah presiden yang baru, cenderung menarik diri dari konflik yang berkembang di Timur Tengah. Presiden Obama tidak bisa berbuat apa-apa," kata Yon kepada VIVA.co.id, Senin, 19 Desember 2016.

Sementara Rusia sendiri, ia melihat bisa menjadi negara yang sangat mendominasi dalam aspek ini. Selain itu, Suriah yang telah lama menjadi perebutan AS dan Rusia sudah seharusnya mampu mengembalikan situasi dan kondisi Aleppo seperti sedia kala.

Harus memposisikan diri

Yon mengatakan dua kekuatan besar ini harus menahan diri dan tidak memberikan dukungan atau bantuan apapun kepada Suriah, baik itu kepada rezim yang berkuasa atau oposisi. Kedua negara yang pernah berseteru di era Perang Dingin ini harus legowo agar mau rekonsiliasi bersama.

"Amerika dan Rusia harus mendorong rezim dan rakyat Suriah agar melakukan rekonsiliasi. Itu poinnya. Keduanya harus benar-benar 'berpuasa' dan menarik keterlibatannya di  Suriah. Kalau tidak, ya, perang ini akan terus berlanjut tanpa ujung," katanya, menegaskan.

Bagaimana posisi Indonesia dalam konflik Aleppo?

Yon mengatakan, sebelum terjun menangani konflik, Indonesia harus mempunyai strategi apik dan jurus jitu yang akan diuraikan di hadapan dunia internasional.

Indonesia harus mampu melakukan pendekatan-pendekatan intensif dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan konflik Suriah. Di samping itu pula, Indonesia harus mampu mempelajari peta konflik di Suriah yang melibatkan kekuatan besar dunia.

"Indonesia harus tahu dan mawas diri. Akan berada di mana dan akan melakukan apa. Karena Indonesia merupakan negara netral, tidak memihak siapa pun maka langkah-langkah yang lebih proaktif tentu harus ditempuh," jelas Yon.

Ia lalu mencontohkan, melakukan pembicaraan khusus dengan negara-negara yang berkepentingan dengan Suriah seperti Turki, Arab Saudi, dan Iran serta negara-negara besar lainnya untuk lebih peduli terhadap kasus Aleppo.

"Jadi, bisa diawali secara formal dengan mengirim Menteri Luar Negeri RI (Retno LP Marsudi) guna membicarakan masalah yang cukup krusial ini," papar Yon. Namun, sebelum menuju ke arah sana, menurut Yon, posisi Indonesia di Asia Tenggara jangan lupa diperkuat.

Ia mendorong agar Indonesia mampu menekan dan mendorong perdamaian komprehensif di Suriah atas nama ASEAN. "Ini sangat penting. Indonesia harus memanfaatkan dan tampil sebagai negara yang benar-benar bisa mendinginkan situasi. Apalagi, toh, Indonesia punya misi khusus yaitu ingin menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamaman PBB," ujar Yon, menutup pembicaraan.

Iring-iringin bus untuk mengevakuasi warga Aleppo, Suriah (Reuters.com).

Indonesia merupakan sedikit negara yang komit terhadap perdamaian di Suriah. Hal ini dibuktikan dengan masih bertahannya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Damaskus.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan keberadaan KBRI ini untuk membantu warga negara Indonesia yang masih ada di wilayah konflik tersebut.

"Hampir setiap hari saya komunikasi dengan Duta Besar di Damaskus untuk mengetahui situasi. Beberapa kali secara berkala ada kasus di mana kita harus mengeluarkan warga kita dari wilayah konflik. Hal inilah yang dipandang perlu adanya keberadaan KBRI kita di sana, karena komunikasi sangat penting," kata Retno.

Indonesia pun sejauh ini telah banyak menyalurkan bantuan kepada masyarakat yang menjadi korban konflik di Suriah. Bantuan tersebut antara lain berupa dana dan bahan untuk keperluan pemulihan.

 

(ren)