Perlukah Pimpinan MPR dan DPR Ditambah?

Ilustrasi sidang Paripurna di DPR
Sumber :

VIVA.co.id – Formasi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat akan kembali diubah. Revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD atau populer dengan sebutan UU MD3 segera dilakukan. Bila saat ini ada lima pimpinan baik di DPR maupun MPR, dalam revisi itu diusulkan ada penambahan.

Ihwal usul penambahan, mayoritas fraksi cenderung menerima. Bahkan, seakan-akan karpet merah sudah digelar untuk PDI Perjuangan, partai pemenang Pemilu 2014, untuk menempati posisi baru tersebut. Tak banyak suara kontra dari politikus Senayan.

Mahkamah Kehormatan DPR mengeluarkan putusan agar revisi terbatas pada penambahan pimpinan tersebut segera ditindaklanjuti Badan Legislasi. Badan Legislasi telah resmi memasukkan revisi MD3 ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016. Kesepakatan mereka ambil saat rapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, yang mewakili pemerintah.

”RUU tentang perubahan kedua atas UU MD3 masuk di dalam Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2016,” kata Wakil Ketua Baleg DPR, Dossy Iskandar, dalam kesimpulannya di Senayan, Jakarta, Rabu 14 Desember 2016.

Menkumham Yasonna menyatakan persetujuannya. Dia juga berharap RUU yang lain bisa diselesaikan dengan baik. "Berkenaan soal revisi terbatas UU MD3 dalam perubahan Prolegnas Prioritas 2016, pemerintah pada prinsipnya setuju. Ini sikap menteri, bukan sikap Yasonna, supaya tidak dikaitkan dengan lain-lain," kata Yasonna.

Hasil kesepakatan itu akan mereka laporkan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti dengan proses berikutnya. Baleg sendiri tidak bisa memastikan apakah pimpinan DPR langsung menggelar rapat pimpinan untuk menindaklanjuti hasil Baleg ini. Sementara kemungkinan revisi ini disahkan pada Kamis 15 Deseber juga bisa saja terjadi.

Masuk Prolegnas

Setelah menerima putusan MKD, Baleg menggelar rapat internal. Hasilnya, mereka menindaklanjuti rekomendasi itu dengan memasukkan revisi UU MD3 pada Prolegnas tambahan 2016 atau Prolegnas prioritas 2017.

"Tugas kita memasukkan prolegnas saja, belum bahas substansinya. Ini besok kita juga rapat dengan pemerintah, ini urutan mekanisme saja," kata Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo.

Firman menjelaskan, MKD meminta Baleg menindaklanjuti keputusannya pada 9 Desember 2016 secara terbatas. Karena itu, Baleg menindaklanjutinya melalui rapat pleno. Sehingga Baleg sepakat untuk memasukkan UU MD3 masuk ke dalam prolegnas.

Saat ditanya soal apa putusan MKD dan sebab MKD mengeluarkan putusan tersebut, ia meminta agar penjelasan tersebut ditanyakan pada MKD. Sebab Baleg hanya melaksanakan tindaklanjut agar UU MD3 dimasukkan ke dalam prolegnas.

"MD3 di prolegnas 2017 lalu itu kan kita drop dulu, tidak masuk skala prioritas karena sedang dilakukan uji materi oleh kelompok masyarakat. Waktu itu diputuskan MD3 akan direvisi setelah judicial review diputuskan. Namun dalam proses perkembangannya itu ada keputusan dari MKD di mana MKD itu melakukan proses persidangan yang substansinya boleh ditanyakan di sana," kata Firman.

Ia menambahkan soal apakah nantinya revisi UU MD3 akan dimasukkan ke dalam prolegnas 2016 yang tersisa beberapa hari lagi ataupun pada prolegnas 2017 bergantung pada keputusan politik. Kalau UU ini dianggap penting bisa saja melalui pimpinan dewan, pimpinan DPR, dan rapat badan musyawarah maka bisa juga dibahas saat reses.

"Kalau tidak, maka itu harus masuk di prolegnas 2017, jadi dilanjutkan," kata Firman.

Penjelasan MKD

Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa MKD telah mengeluarkan keputusan pada tanggal 9 Desember 2016 terkait penambahan kursi wakil ketua DPR dan MPR.
"Ada laporan ke MKD melaporkan pimpinan Badan legislasi atau Baleg (Sareh Wiyono) yang lalu, dia dianggap lalai, tidak profesional menjalankan tugas," kata Dasco saat dihubungi, Rabu 14 Desember 2016.

Sareh dilaporkan lantaran pada saat revisi UU MD3 hanya melakukan satu penambahan posisi wakil ketua untuk tiap alat kelengkapan dewan (AKD). Sementara kursi wakil ketua DPR dan MPR tak ditambah.

"Kami sidang, dari situ ditemukan ternyata tidak ada unsur kesengajaan tapi dinamika politik. Karena waktu itu (terbelah) Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat masih tarik-menarik, akhirnya tidak ditambahkan," kata Dasco.

Ia melanjutkan, belakangan muncul wacana penambahan formasi pimpinan DPR dan MPR melalui revisi UU MD3. Untuk mengantisipasi potensi kegaduhan, maka MKD dalam kode etiknya bisa melakukan pencegahan yaitu poin keputusan untuk Baleg.

"Kita memaksimalkan fungsi pencegahan ditambah dengan langkah lain yang bisa diputuskan MKD. Dalam putusan itu memang (mantan Ketua Baleg Sareh Wiyono) tidak terbukti bersalah. Tapi kemudian kita kanalisasi perubahan UU MD3 hanya terbatas pada satu pimpinan DPR dan MPR. Itu supaya tidak timbul kegaduhan atau terjadi potensi pelanggaran etik karena perubahan itu," kata Politikus Gerindra ini.

Atas dasar itu, MKD meminta kepada Baleg untuk melakukan penambahan wakil ketua DPR dan MPR melalui revisi UU MD3. Namun revisi hanya terbatas pada poin tersebut. "Ya itu mengikat dan Baleg sudah menjalankan itu. Dan hari ini mau dimasukkan dalam prolegnas. Kami melihat skala prioritas. MKD kan tujuannya menjaga marwah DPR," katanya menambahkan.

Adapun jumlah kursi pimpinan DPR dan MPR akan menjadi enam kursi. Hal itu menurutnya tak akan mengubah alur dan mekanisme pengambilan keputusan di pimpinan DPR. "Kalau pimpinan DPR tidak tercapai kesepakatan bisa di Badan musyawarah. Keputusan tinggi di paripurna. Jadi tidak ada masalah," katanya.

Suara Partai

Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menyebut bahwa upaya merevisi UU MD3 untuk menempatkan pimpinan MPR dan DPR dari kadernya merupakan langkah yang tepat.

"Ini bagaian dari tsunami politik. Apa pun hukum demokrasi, apa yang tejadi di DPR tidak boleh terlepas dari pilihan rakyat," ujarnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 14 Desember 2016.

Hasto menepis bahwa upaya merevisi UU MD3 itu merupakan instruksi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati. Menurutnya, hal itu, merupakan kesadaran personal untuk menjaga tidak terjadinya kegaduhan politik di parlemen serta upaya menyatukan suara rakyat dengan parlemen.

"Kita berpartai inikan dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga melalui rapat, kebijakan-kebijakan dan muncul melalui kesadaran. Ketika sekarang ada upaya revisi MD3, untuk menempatkan salah satu pimpinan dari PDIP, itu adalah upaya untuk menyatukan suara rakyat dengan DPR,"  katanya.

Sekretaris Fraksi Hanura, Dadang Rusdiana, mengatakan saat ini sistem seleksi pimpinan di DPR berbeda dengan DPRD. Bila di DPR memakai sistem paket yang dipilih melalui voting, di DPRD menganut sistem proporsional sesuai hasil Pemilu.

”Ya sebaiknya di semua tingkatan sama, harus proporsional sesuai hasil pemilu. Kita kan harus menghargai pilihan rakyat. Kan aneh kalau DPRD provinsi dan Kabupaten, kita atur dalam UU bahwa pimpinan sesuai dengan perolehan suara dalam pemilu, kok di DPR dipilih berdasarkan sistem paket, aneh banget,” kata Dadang.

Menurutnya, mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan komposisinya saat ini tidak mencerminkan hasil pemilu. PDI Perjuangan merupakan partai pemenang Pemilu 2014 dengan raihan kursi terbanyak di parlemen, tetapi tidak mendapatkan kursi pimpinan dewan. ”Jadi wajar kan PDIP sebagai pemenang pemilu yang menjadi ketua,” ujarnya.

Wasekjen PKB, Daniel Johan, menilai selama penambahan tersebut akan meningkatkan kinerja DPR dan semakin memperkuat koalisi yang mendukung kinerja pemerintahan, fraksinya setuju. Namun demikian, bila jadi ada penambahan pimpinan maka komposisinya harus tetap ganjil.

”Dan kalaupun akhirnya penambahan ini disetujui fraksi lain maka PKB mengusulkan agar jumlah pimpinan tetap ganjil, tidak genap, agar tidak menghambat pengambilan keputusan bila tidak tercapai mufakat,” katanya.

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai, jika revisi itu hanya ditujukan untuk menambahkan jumlah pimpinan agar mengakomodasi partai lain masuk ke pimpinan di periode saat ini, itu tidak mendesak sekarang.

"Sekali lagi, jangan sampai UU itu dibuat hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Harusnya UU itu dibuat untuk menjawab tuntutan dan keperluan jangka panjang yang mendasar," ujar Hidayat.

Hidayat mengungkapkan, sudah pasti ada rancangan perubahan atau revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) untuk anggota DPR periode berikutnya. Namun, mengenai apakah pembahasannya dipercepat saat ini atau menunggu 2018, dia menyerahkan kepada para anggota DPR.

"Karena untuk DPR, DPD, MPR periode yang akan datang pasti akan ada UU yang mengatur. Sekarang namanya UU MD3. Apakah nanti ada pemahaman bahwa harusnya masing-masing lembaga diatur UU sendiri, DPR UU sendiri, DPD dan MPR UU sendiri. Diatur sendiri atau tidak diatur sendiri pasti akan ada perubahan UU MD3," kata dia.

PDI Perjuangan sebagai pemilik kursi terbesar di DPR, paling berpeluang mengisi posisi baru tersebut. Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bambang Wuryanto belum mengungkapkan nama-nama yang akan dipertimbangkan untuk masuk dalam pimpinan DPR.

"Nah itu pertanyaan seharusnya disampaikan ke Ibu Ketua Umum," kata Bambang ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 14 Desember 2016.

Pria yang akrab disapa Bambang Pacul ini mengakui tidak bisa berkomentar banyak soal kewenangan Megawati tersebut. Apalagi menurutnya pikiran Megawati sulit ditebak.

"Saya tidak bisa berkomentar banyak soal itu, karena kita tidak bisa menebak pikiran Ibu Ketum. Karena saya pernah di DPP, kalau saya menduga keputusan Ibu itu misalnya (nebak) 5 itu, bener 2 saja sudah hebat. Padahal saya enggak goblok-goblok amat ya," ujar Bambang.

Hal itu juga termasuk soal kriteria nama-nama calon. Menurutnya kriteria yang dibuat oleh para kader bisa saja berbeda dengan kriteria-kriteria yang dimiliki oleh Megawati.

"Banyak hal menurut kita bla bla bla, tapi ketika ketua umum yang ambil keputusan kan punya kriteria sendiri atau beliau bicara pakai hatinya, karena beliau punya pikiran, metode," ujar Bambang.

(ren)