Rohingya, Kelompok Etnis Bernasib Miris

Solidaritas untuk Kelompok Etnis Rohingya, Myanmar.
Sumber :
  • ANTARA/Prasetyo Utomo

VIVA.co.id – Pemerintah Myanmar seperti tak henti-hentinya “mengganggu” kehidupan kelompok etnis Rohingya. Penindasan seperti menjadi lumrah dilakukan oleh militer negara itu dengan dalih stabilitas.

Yang menyedihkan lagi, Rohingya tak diakui sebagai warga negara Myanmar. Sehingga, mereka kesulitan memperoleh hak dan akses seperti kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal yang layak.

Tak pelak, ratusan ribu warga Rohingya terlunta-lunta mengungsi ke negara tetangga, di antaranya Indonesia. Rohingya merupakan nama kelompok etnis yang tinggal di Negara Bagian Arakan atau Rakhine sejak abad ke-7 Masehi.

Etnis ini bukanlah keturunan orang Bangladesh atau pun etnis Bengali saja. Nenek moyang Rohingya berasal dari campuran Arab, Turki, Persia, Afghanistan, Bengali, dan Indo-Mongoloid.

Menurut data Perserikatan Bangsa Bangsa, jumlah populasi orang Rohingya mencapai 1,5 juta-3 juta jiwa. Sekitar 800 ribu jiwa bermukim di Rakhine yang tergolong paling miskin di Myanmar, dan sisanya menyebar di banyak negara.

Warga etnis Rohingya beragama Islam, sementara mayoritas warga Myanmar beragama Buddha. Mirisnya, selain tak diakui Myanmar, Rohingya juga tidak diakui oleh Bangladesh sebagai warga negara.

Skeptis

Kepala Analis Hubungan Internasional Habibie Centre, Wirya Adiwena, mengungkapkan, sejauh ini pemerintah Indonesia telah melakukan beragam upaya untuk menyelamatkan kehidupan pengungsi Rohingya.

"Pemerintah sudah berusaha untuk membuka diri. Kita menerima, melindungi dan merawat mereka (pengungsi Rohingya). Mereka yang menerobos perbatasan negara adalah untuk mencari perlindungan. Jadi tidak bisa dikatakan bersalah," kata Wirya kepada VIVA.co.id, Senin, 21 November 2016.

Meski begitu, Wirya melanjutkan, Indonesia bukannnya tidak memiliki kendala. Yaitu, pemerintah Myanmar terlalu menutup diri perihal kasus diskriminasi Muslim Rohingya.

"Kita hanya bisa membantu sebatas demokratisasi di Myanmar. Bagaimana Indonesia bergerak aktif dalam mendorong norma-norma yang berkaitan dengan HAM melalui ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights," ungkapnya.

Menurutnya, sudah banyak warga Myanmar datang ke Indonesia untuk belajar tentang demokratisasi. Mulai dari pelaksanaan pemilu sampai hidup berdampingan antara kaum mayoritas dan minoritas.

Lantas, bagaimana dengan peran ASEAN? Sorotan dunia terhadap ASEAN dalam krisis ini menempatkan ASEAN dalam pertaruhan besar menyangkut kredibilitas organisasi kawasan yang berdiri di era Perang Dingin.

Seperti diketahui, sejak berdiri pada 1967, negara anggota ASEAN menyepakati prinsip nonintervensi - tidak saling mencampuri urusan dalam negeri masing-masing anggota. Prinsip inilah membuat pendekatan yang dilakukan ASEAN, khususnya Indonesia, untuk mengatasi masalah ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati.

"Prinsip tidak boleh mencampuri negara lain menjadi kendala tersendiri dalam mengatasi masalah Rohingya. Ketika ASEAN tidak memiliki rezim pro-pengungsi, hal ini mengakibatkan migrasi yang tidak teratur dan berujung pada perdagangan manusia merajalela," paparnya.

Bahkan, Wirya menegaskan skeptis jika mendengar soal intervensi di ASEAN. Saat ini, negara anggota ASEAN sedang berusaha untuk mengatur membludaknya jumlah pengungsi akibat migrasi yang tidak teratur melalui sejumlah inisiatif.

Megaphone diplomacy

Tindakan tersebut meliputi Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crimes (2002), The Regional Roundtable on Irregular Movements by Sea in the Asia Pacific, ASEAN Declaration on Trafficking in Persons (2004), serta Protection and Promotion of Rights of Migrant Workers (2007).

Pada kesempatan yang sama, mantan Duta Besar Indonesia untuk PBB, Makarim Wibisono, mengungkapkan, pemerintah sudah cukup mengambil tindakan tegas bagi para pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia.

"Sikap kita yang bersedia menampung dan mendirikan tempat tinggal untuk para pengungsi ini justru sebagai bentuk partisipasi negara yang menganut antiintervensi," kata Makarim kepada VIVA.co.id.

Terkait prinsip nonintervensi, ia menjelaskan bahwa keputusan tersebut sifatnya konservatif. Artinya, jika salah satu negara anggota tidak menyetujui maka keputusan otomatis batal.

Mengutip beberapa literatur, sejak 1960-2010, jumlah imigran maupun pengungsi Rohingya telah mencapai 250 juta jiwa. Bukan tidak mungkin jumlahnya kini makin bertambah.

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan pemerintah Indonesia tetap melakukan diplomasi menyangkut persoalan etnis Rohingya yang dikabarkan dibantai oleh aparat setempat.

"Makanya saya sampaikan, kita tidak akan memberikan komentar sebelum klarifikasi. Karena kalau kita kemudian memberikan komentar, terus kemudian salah, kan pasti sulit," ujar Menlu Retno, di Istana Negara Jakarta.

Ia menyatakan pemerintah Indonesia tetap fokus pada nasib orang-orang Rohingya. Menurutnya, diplomasi Indonesia terkait masalah Rohingnya tidak dilakukan dengan gembar gembor.

"Diplomasi kita bukan megaphone diplomacy. Dalam artian, kalau kita melakukan sesuatu terus kemudian kita gembar gembor. Bukan itu," kata dia, menegaskan.