Tragedi Munir Kembali Bikin SBY Terusik

Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Hari-hari pensiun Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono, tengah terganggu. Di tengah menanti penetapan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, menjadi calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017, dia dihadapkan pada persoalan masa lalu.

Masalah itu muncul pada awal masa kepresidenannya di 2004. Saat itu, baru tiga bulan negarawan yang akrab disapa SBY ini memimpin Indonesia, aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib meninggal dunia di atas pesawat Garuda Indonesia menuju Amsterdam, Belanda.

Ternyata, setelah 12 tahun berlalu, persoalan Munir masih menggelayuti SBY.

Hal ini setelah Komisi Informasi Pusat memutuskan dokumen hasil Tim Pencari Fakta kematian Munir, adalah informasi yang wajib diumumkan ke publik.

Sebab, setelah Keputusan ini, Sekretariat Negara menyatakan tak menyimpan salinan asli dokumen itu, dan Kejaksaan Agung mengaku tak pernah diberikan dokumen tersebut. 

Di tengah kebingungan, Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung M. Prasetyo mencari tahu keberadaan dokumen asli laporan penyelidikan TPF.

Untuk mengungkap keberadaan dokumen itu, Prasetyo berencana memanggil sejumlah pihak, dari mantan anggota tim TPF, mantan pejabat negara, sampai Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. 

Rencana Prasetyo ini membuat SBY angkat bicara. Pada 23 Oktober 2016, dalam beberapa cuitan di akun Twitter resmi @SBYudhoyono dengan membubuhkan *SBY*, sebagai kode pernyataan itu berasal dari dia, bukan staf pribadi yang mengelola akun tersebut.

SBY menilai masalah ini telah dipolitisasi. Pada salah satu poin, dia juga berjanji untuk menyampaikan persoalan ini secara menyeluruh ke publik.

Benar saja, Selasa sore, 25 Agustus 2016, di kediamannya, Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat. SBY buka suara. Dia tak terima dituding menghilangkan laporan dan menolak melaksanakan rekomendasi TPF kasus Munir.

Didampingi mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto; mantan Menteri Sektretaris Negara Sudi Silalahi; mantan Kapolri Jenderal (Purn.) Bambang Hendarso Danuri; mantan Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar; serta tak ketinggalan Ketua TPF Munir, Marsudi Hanafi.

Para purnawirawan jenderal ini dikumpulkan SBY demi mengklarifikasi persoalan di masa lalu, menyangkut dokumen laporan TPF dan sikap pemerintah kala itu mengenai kasus ini.

Dalam konferensi pers di Cikeas, SBY mengaku mengikuti pemberitaan media massa pasca putusan KIP. Seiring berkembangnya hari, dia merasa: "Terus terang ada yang bergeser, yang tadinya legal, menjadi bernuansa politik. Saya bukan orang baru dalam politik, hal itu biasa."

Pada kesempatan ini, SBY juga menyatakan bertanggung jawab atas semua keputusan yang sudah dibuatnya menanggapi persoalan ini saat masih menjabat presiden. 

Alasan Temuan TPF Tak Diungkap ke Publik

Mantan Mensesneg Sudi melanjutkan SBY untuk menjelaskan keseluruhan proses kerja pemerintah, dari mulai kematian Munir sampai keputusan membentuk TPF.

Hal ini dilakukan untuk menyegarkan kembali ingatan publik akan peristiwa ini.

Menurut Sudi, pasca terungkap kematian Munir disebabkan Arsenik, pemerintah mengikuti rekomendasi LSM Imparsial dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan untuk membentuk TPF.

Setelah terbentuk TPF pada 22 Desember 2004 dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir. Tim ini terdiri dari unsur Polri, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, dan kalangan lembaga swadaya masyarakat, tim ini mulai menyelidiki kasus.

"TPF tidak melakukan penyelidikan sendiri, tetapi membantu Polri dalam melaksanakan tugas penyelidikan," ujar Sudi di Cikeas.

Dalam pelaksanaannya, SBY memperpanjang waktu bekerjanya TPF, karena menilai pekerjaan tim ini belum tuntas. Sehingga keseluruhan waktu kerja mereka jadi enam bulan, hingga 23 Juni 2005.

TPF kemudian merekomendasikan agar meneruskan pengungkapan kasus pembunuhan Munir secara tuntas, hingga mencapai keadilan hukum. Untuk itu perlu dibentuk sebuah tim baru dengan mandat dan kewenangan yang lebih kuat. 

Tim ini diperlukan untuk menindaklanjuti dan mengembangkan temuan-temuan TPF, serta mengawal seluruh proses hukum dalam kasus ini, terutama yang dapat secara efektif menindaklanjuti proses pencarian fakta di lingkungan BIN.

Selain itu, meminta presiden memerintahkan Kapolri melakukan audit atas keseluruhan kinerja tim penyidik kasus meninggalnya Munir, dan mengambil langkah-langkah konkrit untuk meningkatkan kapasitas penyidik Polri secara profesional dalam mengusut tuntas permufakatan jahat.

Terakhir, meminta presiden agar memerintahkan Kapolri melakukan penyidikan mendalam terhadap kemungkinan peran mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan, mantan pegawai Garuda Indonesia Ramelga Anwar, mantan kepala BIN AM Hendropriyono, mantan Deputy V BIN Muchdi PR, dan mantan anggota BIN Bambang Irawan, dalam permufakatan jahat melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir.

Namun sesuai hasil rapat koordinasi SBY dengan pihak-pihak terkait, diputuskan bahwa temuan TPF tersebut diberlakukan sebagai pro-justitia, dan tindak lanjut terhadap temuan tersebut dilakukan oleh para penegak hukum.

"Jika dulu pemerintahan Presiden SBY belum membuka ke publik, karena masih diberlakukan sebagai pro justicia guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sehingga tidak tepat disampaikan kepada masyarakat luas." jelasnya lagi.

Proses Hukum Pembunuhan Munir

Proses hukum berjalan dengan menetapkan Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai terdakwa pembunuh Munir. Dalam proses sidang di tingkat pertama dan banding, terdakwa dipidana penjara 14 tahun karena terbukti turut serta melakukan pembunuhan berencana dan pemalsuan dokumen.

Namun di kasasi, Mahkamah Agung menilai Pollycarpus tak terbukti membunuh, sehingga hanya dipidana karena memalsukan dokumen. Hukumannya dua tahun penjara.

Setelah itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dengan mengajukan bukti baru. Dalam PK ini, Pollycarpus dihukum 20 tahun penjara karena terbukti melakukan pembunuhan berencana dan pemalsuan dokumen. Tapi Pollycarpus kembali mengajukan PK atas putusan PK tersebut, dan MA mengabulkannya, sehingga dia dihukum 14 tahun penjara.

Sementara mantan Deputy V BIN, Muchdi Purwoprandjono, dinyatakan tidak terbukti terlibat pembunuhan ini, dan dinyatakan bebas.

Menurut SBY, jika ada pihak yang belum merasa rangkaian proses hukum ini memberikan keadilan, dia mendukung mereka untuk mencari keadilan sejati.

"Saya mengatakan selalu ada pintu untuk mencari kebenaran sejati jika masih ada kebenaran yang belum terkuak," ujar SBY.

SBY juga menegaskan, akan mendukung, jika Presiden Joko Widodo berencana membuka penyidikan baru kasus pembunuhan Munir.

Namun sebagai catatan, di masa kepemimpinannya, SBY telah berusaha maksimal agar kasus ini bisa terungkap secara tuntas.

Saat itu pemerintah sudah menganggap kasus ini sebagai kejahatan serius, sehingga perlu penanganan yang serius pula. Terutama dalam konteks penegakan hukum.

"Mencoreng demokrasi kita, saya pastikan bahwa yang kami lakukan dulu adalah langkah yang serius, sungguh-sungguh, utamanya dalam konteks penegakan hukum," ucap SBY.

Dalam penjelasannya, Sudi mengungkapkan beragam bukti mengenai keseriusan pemerintah saat itu. Dimana, "Penegakan hukum tak pernah dihentikan." Selain itu, rekomendasi TPF telah ditindaklanjuti, dan ketika terjadi hambatan atau proses yang kurang cepat, SBY sebagai presiden secara langsung memberikan koreksi dan instruksi agar semua proses berlangsung cepat serta bebas hambatan. Termasuk tentunya proses pengadilan yang selesai sampai 2013.

Nasib Hasil Investigasi TPF

Setelah menjelaskan panjang lebar, Sudi mengakui, meski naskah asli laporan akhir TPF Munir belum diketemukan, tapi pihaknya bersedia memberikan salinan naskah laporan lengkap ke pemerintah yang sekarang.

Langkah ini diambil jika Presiden Jokowi memandang perlu untuk membuka dokumen ini ke masyarakat, sesuai keputusan KIP.

"Kami memberikan dukungan penuh agar masyarakat mengetahui apa saja yang ada dalam laporan tersebut, sehingga tidak menimbulkan spekulasi atau tuduhan-tuduhan lain yang tidak berdasar," ucap Sudi.

Lewat konferensi pers ini, Sudi juga membantah SBY telah secara sengaja menghilangkan naskah tersebut. "Tidak ada kepentingan dan urgensi apapun untuk menghilangkan naskah laporan itu."

Menanggapi konferensi pers ini, Presiden Jokowi dinilai punya dua pekerjaan rumah besar dalam mengungkap hilangnya dokumen hasil investigasi TPF. 

"Pertama adalah ke mana dokumen ini pergi atau lenyap. Kedua, mengapa di dalam lingkaran istana banyak orang yang ada namanya di dokumen tersebut," kata Wakil Koordinator KontraS, Puri Kencana Putri di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa, 25 Oktober 2016.

Puri menilai penjelasan yang diberikan Sudi terkait dokumen tersebut justru menimbulkan multitafsir. 
"Dia (Sudi) menyatakan bahwa sebelum pemerintahan SBY selesai, terdapat sebanyak 10 kontainer yang dikirim ke Arsip Republik Indonesia. Jokowi seharusnya mesti gesit dong, mencari dokumen-dokumen terpilih itu atau mencari ada dimana," ujarnya menambahkan.

Kata Puri, masalah yang tak kalah penting adalah diungkapnya lima nama dalam dokumen hasil investigasi TPF, tinggal Hendropriyono yang belum diperiksa hingga saat ini.

Sementara keempat nama lainnya, yaitu Indra Setyawan, Ramelga Anwar, Muchdi PR, dan Bambang Irawan, telah menjalani proses hukum. Meski Hendropriyono telah menyangkal adanya keterlibatannya dalam kasus ini, Puri bilang bukan berarti dia bisa bebas dari proses hukum.

Hal serupa juga diungkapkan mantan anggota TPF yang juga Ketua Setara Institut, Hendardi. Saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa, 25 Oktober 2016, dia menjelaskan kepentingan utama saat ini adalah mengungkap kasus ini secara tuntas. 

Dia menilai mengungkap kasus lebih prioritas daripada mencari keberadaan dokumen asli tim TPF. Sebab, tim telah memberikan tujuh salinan kepada pemerintah saat itu, untuk diberikan pada institusi terkait.

"Kalau dokumen aslinya belum tahu dimana, dia (pemerintah) punya dokumen salinannya, pasti ada. Kalau menurut Usman (Hamid) itu diberikan tujuh eksemplar, bedanya cuma yang asli kita tandatangani," kata Hendardi.

Kasus ini dinilai belum tuntas, karena selama ini proses hukum tak bisa menyentuh aktor intelektual di balik pembunuhan ini.

"Kalau di dalam laporan itu ditunjuk ada aktor lapangan, perencana, dan pembuat keputusan. Kalau sekarang yang diproses itu baru aktor lapangan dan pemberi fasilitas, dari Garuda saja. Yang aktor perencana belum dijerat hukum," katanya.

Dia pun mengungkapkan lima nama yang direkomendasikan TPF untuk diperiksa, kemudian mengungkit tak adanya upaya hukum lanjutan saat Muchdi PR dinyatakan tak terbukti sehingga dibebaskan dari dakwaan oleh MA. Padahal, seringkali kejaksaan telah diberikan novum baru untuk mengajukan PK.

“Kami tidak ada kepentingan politik," tegasnya.

 

(ren)