Tarif Komunikasi Seluler Turun, Ada yang Salah?
VIVA.co.id – XL Axiata dan Indosat Ooredoo menarik perhatian industri telekomunikasi dalam beberapa hari belakangan.
Kedua perusahaan yang sahamnya didominasi asing itu dituding telah bersekongkol menetapkan tarif komunikasi seluler yang murah, dibanding operator incumbent, di luar Pulau Jawa. Indosat dengan tarif Rp1 per detik, sedangkan XL dengan tarif Rp59 per menit.
Jika dihitung, tarif komunikasi XL sama dengan Indosat, hanya saja XL menggunakan istilah per menit, sedangkan Indosat per detik. Persekongkolan penetapan tarif layanan inilah yang dituding sebagai price fixing sekaligus predatory pricing, atau menjual produknya di bawah harga pokok penjualan (HPP).
Direktur Utama Indosat Ooredoo, Alex Rusli, mengatakan tidak pernah merasa memiliki kesepakatan dengan XL untuk menerapkan tarif yang sama. Lagi pula, kata dia, tarif Rp1 per detik yang diberlakukan Indosat di beberapa wilayah tertentu di luar Jawa itu merupakan produk, yang tarifnya akan terus ada selama produk tersebut dipasarkan.
“Harus dicek, yang launch duluan siapa dan yang ikut-ikutan siapa. Kalau kami itu produk, kalau mereka promo, saya enggak tahu. Kami dicopy sebetulnya bangga juga. That means our product is good. Tapi kalau bisa kreatif dikit,” ujar Alex kepada Viva.co.id
XL pun menegaskan bahwa tarif Rp59 per menit tersebut hanyalah promo yang sifatnya tidak permanen. XL memastikan jika promo tersebut hanya untuk pelanggan baru di luar Jawa dan tarif promo itu hanya berlaku sampai 31 Desember 2016.
“Ini hanya tarif promo untuk suara dan SMS, sampai periode Desember 2016. Program ini untuk menarik konsumen agar mau mencoba jaringan dengan kualitas yang lebih baik. Ini pun hanya Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Sifatnya pun terbatas,” ujar VP Corporate Communication XL Axiata, Turina Farouk, saat dihubungi Viva.co.id, Selasa, 11 Oktober 2016.
Salahkah Tarif Turun?
Pengamat telekomunikasi dari ICT Institute, Heru Sutadi, mengatakan bahwa pihak yang menyebar isu predatory pricing atau price fixing itu tidak mengerti arti sebenarnya dari kedua istilah tersebut. Dijelaskan Heru, predatory pricing merupakan upaya pemain menurunkan tarif semurah mungkin agar perlahan pesaingnya mati.
Namun hal tersebut justru sangat mungkin dilakukan oleh operator dominan yang lebih menguasai pasar. Dalam hal ini, operator dominan di Indonesia adalah Telkomsel. Sedangkan XL dan Indosat berada jauh di bawah Telkomsel dalam hal jumlah pelanggan.
“Bisa dibuktikan, jika harga turun maka pesaingnya mati. Nah, operator mana sekarang yang mati? Analogi jelasnya bisa mencontoh ojek online yang membuat ojek pangkalan mati. Lagipula bisa dilihat juga, apakah tarif yang diberlakukan itu merupakan promo atau tarif dasar. Jelas-jelas Rp1 per detik dan Rp59 per menit itu adalah tarif promo. Sedangkan tarif dasar secara nasional tetap sesuai formula,” jelas Heru.
Menurut Heru, operator memang tidak boleh menerapkan tarif retail di bawah formula yang ditetapkan pemerintah namun operator juga boleh menawarkan tarif promo. Sedangkan jika ada operator dominan yang mati karena tarif promo tersebut, hal itu dianggap Heru sebagai hal yang mustahil.
“Terlalu prematur menyebut predatory pricing, Mereka (XL dan Indosat) bukan operator dominan. Tarifnya saya yakin promo. Telkomsel tidak akan mati hanya karena tarif murah ini. Pelanggan Telkomsel kan sudah 160-an juta,” paparnya.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia pun merasa belum akan melakukan tindakan apapun terkait dengan hal ini. Hanya saja, menurut mereka, tarif promo memang diperbolehkan dan hal ini diatur dalam Permen Kominfo tentang tarif pungut.
“Untuk hal ini, perlu dikaji secara komprehensif sebelum menentukan apakah melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan atau tidak. Tarif promo diperbolehkan kok, diatur juga di Permen Kominfo,” ujar anggota BRTI, I Ketut Prihadi Kresna, kepada Viva.co.id melalui pesan singkat.
Sejatinya penurunan tarif ini secara tidak langsung akan berdampak cukup besar pada konsumen. Hal ini jelas-jelas akan menguntungkan konsumen. Seperti yang diungkap oleh Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo, bahwa tarif murah akan menguntungkan konsumen tapi secara agregat, perusahaannya yang rugi karena biaya promosi besar.
"Saya kira, predatory pricing. Arahnya operator seperti aplikasi transportasi daring kemarin. Injeksi modal terus hingga dia bisa beri tarif di bawah pokok. Memang merugi tapi mendapatkan pasar. Ini yang sedang terjadi. Jika berlangsung dalam waktu lama, perusahaan bisa merugi dan tidak bisa melanjutkan membangun layanannya," ucap Yustinus.
Tudingan predatory pricing ini jelas-jelas dibantah oleh Alex Rusli. Menurutnya, istilah predatory pricing tidak tepat digunakan dalam aksi perusahaannya itu. Alex menjelaskan bahwa tidak ada masalah jika sebuah perusahaan, dengan pangsa pasar yang masih kecil, memberikan layanan dengan harga di bawah harga pasar. Lain halnya jika hal itu dilakukan oleh perusahaan incumbent.
“Jual di bawah harga pasar kenapa predatory? Apalagi market share kami cuma 4 persen. Dengan market share segitu, harus berani coba macam-macam. Kami di situ tidak punya status dominasi. Predatory pricing itu kalau pemain dominan berjualan di bawah cost. Tapi itu juga butuh pembuktian bahwa benar di bawah cost dan bukan promosi,” jelasnya.
Seperti diketahui, pangsa pasar selular di luar Jawa memang dikuasai oleh Telkomsel dengan kisaran lebih dari 80 persen. Indosat hanya mampu meraih empat persen.
Bahkan jika semua non-Telkomsel bergabung (baik Indosat, XL, dan Tri) pangsa pasar hanya mampu mencapai 14 persen pangsa pasar. Jadi ‘sangat naïf jika disebut Telkomsel akan "mati” hanya karena tarif murah yang diimplementasikan para operator itu. Lagipula siapa peduli perusahaan mana yang akan rugi selama masyarakat bisa berkomunikasi dengan tarif yang tidak mencekik leher.