Jangan Mau Kalah dari Google
- Agus Tri Haryanto/VIVA.co.id
VIVA.co.id – Langkah pemerintah Indonesia, dalam hal ini Ditjen Pajak, yang akan menagih pajak ke Google, diapresiasi banyak pihak. Meski begitu, tidak sedikit pihak yang ragu instansi tersebut akan berani tegas dan mampu membuat perusahaan digital terbesar di dunia itu mau membayar pajak, yang kabarnya mencapai US$400 juta, hanya untuk 2015.
Bagaimana tidak ragu. Google telah ada di Indonesia sejak warga mulai mengenal internet dan sistem pencariannya. Sejak saat itu, tidak ada satu pun pihak yang menyadari bahwa dominasi layanan Google akan menjadi candu dan membuat masyarakat tidak bisa lepas. Tak ada pihak yang menyadari Google akan menjadi ‘maha kuasa’ dengan Google Search-nya, dan ‘maha menghasilkan’ dengan iklan digitalnya.
Bahkan saat Google membangun kantor di Indonesia, tidak ada yang mendesak untuk meningkatkan statusnya menjadi Badan Usaha Tetap. Dirasa cukup hanya dengan mendirikan kantor perwakilan. Bahkan saat UU ITE mengharuskan perusahaan OTT menempatkan server di Indonesia, tak ada yang berani menekan Google. Malah Menkominfo menyebut Indonesia dan Google sudah seperti ‘suami istri’.
Tidak salah jika ada yang bilang Google telah membuat kita bergantung. Google menjadi layanan yang bisa diandalkan setiap saat di mana saja dan kapan saja. Seperti candu yang membuat kita ketergantungan. Tidak heran jika kemudian Google merasa di atas angin. Dengan arogannya mengembalikan Surat Perintah Pemeriksaan (SPP) Pajak yang dikirimkan pemerintah Indonesia yang rela terbang ke Singapura hanya untuk berbicara baik-baik mengenai kewajiban yang harus dipenuhi Google.
Ketergantungan inilah yang membuat keberanian ditjen pajak menekan Google diragukan banyak pihak. Yang menjadi masalah, perusahaan yang didirikan Sergey Brin dan Larry Page ini merasa tak perlu membayar pajak ke Indonesia karena kantor yang ada di negara ini hanyalah kantor perwakilan, bukan Badan Usaha Tetap seperti yang seharusnya berlaku dalam UU perdagangan. Selama ini, transaksi Google, baik dari iklan digital maupun layanan lainnya, diarahkan ke kantor pusat Asia, yang berlokasi di Singapura.
Pengamat dari Indotelko Forum, Doni Ismanto mengimbau agar pemerintah memberikan 'pelajaran' ke Google. Salah satunya adalah dengan menghentikan rencana uji coba balon internet Google. Dengan demikian ini akan menunjukkan Indonesia tegas menegakkan aturan. Dikatakannya, langkah Ditjen Pajak sudah benar dengan melakukan Quick Wins terhadap pemain besar. Ini menunjukkan Indonesia serius 'meminta' haknya terhadap pihak yang menggelar usaha di wilayah ini.
"Sekarang, tugas Kominfo, secepatnya mengeluarkan Permen soal OTT yang isinya jelas mengatur hak dan kewajiban terutama soal BUT dan Pajak. Selain itu tolong sekali keluarkan aturan atau Permen yang mendukung PP PSTE terutama soal kewajiban perlindungan data pribadi dan penempatan data center di Indonesia. Ini domain Kominfo dan terlalu lama sekali dari konsultasi publik terakhir," papar Doni.
Satu-satunya solusi, ditambahkan pengamat dari ICT Institute, Heru Sutadi, adalah dengan ketegasan, menghilangkan ketergantungan terhadap Google, dan harus dilakukan secara terintegrasi oleh semua instansi. Integrasi yang dimaksud adalah terkait semua instansi yang ada. Jangan sampai Ditjen Pajak sudah bersikap keras, instansi lain, justru bermesraan dengan Google.
"Jangan menggantungkan pada Google untuk digunakan sebagai mesin pencarian di Indonesia. Kita harus segera menyiapkan situs maupun aplikasi lokal untuk pencarian, media sosial, berbagi video, bahkan sistem operasi lokal. Kalau tidak dilakukan, mereka akan terus arogan karena merasa di atas angin," katanya.
Terkait ketegasan pemerintah dan instasinya, juga diimbau oleh pengamat lainnya. Dikatakan Nonot Harsono, para menteri harus kompak untuk meminta secara baik-baik kepada Google, agar menghormati pidato Presiden Obama terkait komitmen untuk membangun hubungan global yang mutual-respect dan mutual benefit. Untuk bisa menaklukkan Google, kata Nonot, harus melalui pendekatan G2G (Government to Government). Pihak Ditjen Pajak bisa menghubungi Kedubes Amerika yang berkantor di wilayah Jakarta Pusat.
Tak Boleh Kalah dari Google
Ketua Umum Masyarakat Telematika, Kristiono memberikan dukungannya kepada Ditjen Pajak untuk tidak mengalah dari Google. Kristiono mengatakan instansi tersebut harus berani menaklukkan Google dan bisa menunjukkan kekuatan kedaulatan negara.
“Untuk bisa memungut pajak dan mendenda Google perlu upaya keras dan tegas. Pengalaman di negara lain, sudah seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah Indonesia dalam menyikapi pajak Google,” ujar Kristiono.
Hal yang sama juga diutarakan oleh pihak Asosiasi Pengusaha Indonesia meminta pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, untuk terus mengejar kewajiban perpajakan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang teknologi. Hingga kini, perusahaan tersebut mangkir dari kewajibannya pada negara.
“Pengusaha kita (Indonesia) diudak-udak (otoritas pajak). Pengusaha dunia maya tidak diudak-udak,” ujar Ketua Bidang Industri Manufaktur Apindo Johnny Darmawan.
Sebelumnya, perusahaan teknologi besar asal Amerika Serikat itu, diduga sudah lama menjalankan skema menghindari pajak, di negara-negara yang menetapkan ketentuan pajak tinggi. Lembaga Bantuan Moneter Internasional (IMF) sudah mengendus skema perusahaan teknologi untuk menghindari pajak. Dikutip dari Finfact, IMF mengatakan, banyak perusahaan yang menjalankan skema ‘Double Irish with a Dutch Sandwich’.
New York Times menulis, perusahaan teknologi Google lebih memilih melarikan pendapatannya ke Irlandia dibandingkan mengembalikan ke Amerika Serikat. Sebab, jika pendapatan penjualan produk di Amerika Serikat, perusahaan akan dikenai pajak 35 persen. Setidaknya, butuh dua perusahaan di Irlandia dan satu perusahaan di Belanda.
Pada skema mengakali pajak ini, anak perusahaan pertama di Irlandia akan menampung semua pendapatan perusahaan di berbagai wilayah dunia, sedangkan satu anak perusahaan lainnya di Irlandia akan menjadi pemegang royalti dari paten.
Pendapatan yang diperoleh anak perusahaan kedua di Irlandia itu, akan dialihkan ke anak perusahaan lain di Belanda, dengan memberikan royalti dan paten ke perusahaan Belanda tersebut, sebelum nantinya dikembalikan ke anak perusahaan pertama di Irlandia. Skema ini makin didukung dengan aturan bebas pajak untuk transfer pembayaran royalti antarnegara anggota Uni Eropa. Dengan aturan itu, maka perusahaan bisa menghindari pajak melalui bantuan anak perusahaan di Belanda.
Sementara itu, begitu penghasilan tersebut saat masuk ke Amerika Serikat, maka ketentuan pajak Negeri Paman Sam tidak bisa mengenakan pajak dari penghasilan yang berasal dari perusahaan Irlandia. Alasannya, penghasilan itu tidak dihasilkan di Negeri Paman Sam.