Ide Baru, Anggota DPR Disekolahkan

Gedung DPR-MPR.
Sumber :
  • VivaNews/ Nurcholis Lubis

VIVA.co.id - Kinerja para anggota DPR selalu mendapat sorotan bahkan kritik dari publik. Selain target yang sering tidak terpenuhi, kualitas undang-undang yang dihasilkan juga tidak mumpuni. Tak jarang, mereka malah tersandung masalah di luar tugas seperti soal narkoba, kekerasan, sampai kasus dengan perempuan.

Situasi tersebut membuat Ketua DPR, Ade Komarudin, berinisiatif mengusulkan lembaganya mengadakan sekolah parlemen bagi para anggota Dewan. Ade menyadari peningkatan kualitas anggota DPR merupakan tugas partai politik. Namun, dia tetap mengusulkan karena melihat sisi positifnya.

"Tidak tumpang tindih, karena begitu mau masuk Dewan, tetap yang bersangkutan membutuhkan pendidikan. Persiapan menjadi anggota parlemen yang baik," kata Ade di Gedung DPR, Jakarta, Jumat, 26 Agustus 2016.

Ade menuturkan bahwa materi dalam sekolah parlemen tersebut berisi tentang fungsi legislasi, bagaimana pembahasan undang-undang, fungsi pengawasan, hingga fungsi anggaran. Materi tersebut akan diberikan oleh para mentor yang paham, di antaranya para anggota Dewan yang lebih dulu terpilih.

"Jadi setelah selesai sekolah, mereka jadi siap tempur," kata politikus Partai Golkar itu.

Ade mengklaim sekolah itu akan meningkatkan kualitas para anggota Dewan yang telah terpilih. Apalagi, mereka sebelumnya sudah mendapatkan pembekalan dari partai masing-masing.

"Kalau kita mendidik dengan kualitas dari awal nilainya enam, begitu dididik dengan sistem yang baik di sekolah yang kita siapkan. Saya yakin bisa bikin nilai yang bersangkutan jadi delapan bahkan sembilan," paparnya.

Tokoh yang akrab disapa Akom itu meyakini pembentukan sekolah parlemen tidak akan menjadi beban negara yang sedang melakukan pengetatan di semua sektor pengeluaran keuangan. Mereka bisa mewujudkannya dengan memanfaatkan fasilitas yang selama ini dimiliki DPR.

"Selama ini kan ada Wisma Kopo, kita alih fungsikan jadi kampus. Kemudian untuk persiapan para dosennya tidak banyak. Dengan biaya yang sangat minim, kita ingin tingkatkan kualitas anggota Dewan," tegas dia.

Beda dengan Parpol

Ade menegaskan bahwa sekolah itu nantinya akan seperti kampus pada umumnya. Selain itu juga tak memerlukan biaya dan dosen yang banyak.

"Dengan biaya yang sangat minim kita ingin meningkatkan kualitas anggota Dewan," kata Ade.

Ade mengemukakan, sekolah itu hanya khusus untuk para politikus yang sudah di DPR, termasuk mereka yang sudah lama menjadi anggota Dewan. Karena itu, pendidikannya berbeda dengan calon legislatif di partai politik.

"Anggota DPR kan belum tentu mengerti (pendidikan politik) juga," ujarnya.

Ade mengakui, setiap parpol memiliki cara dan metode sendiri dalam menyaring kader berkualitas baik. Namun, dia tetap yakin sekolah parlemen tidak tumpang tindih dengan pendidikan parpol itu.

"Yang penting (di parpol) itu ketegasan dalam pola rekrutmen dan sistem rekrutmen yang baik," kata Ade.

Pro Kontra

Segera, setelah wacana itu tersiarkan ke publik, beragam tanggapan atau komentar bermunculan. Ada yang pro, ada pula yang kontra.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas menilai positif usulan Ade tersebut. Menurutnya, sekolah itu bisa bermanfaat baik untuk anggota maupun tenaga ahli.

"Itu dalam rangka upaya bagaimana peningkatan kapasitas, baik tenaga ahli maupun kemungkinan itu (untuk) anggota," kata Supratman ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 29 Agustus 2016.

Mengenai anggapan bahwa pendidikan politik itu cukup dilakukan di internal partai saja, Supratman menilai hal itu berbeda. Sekolah parlemen menurutnya punya isi yang lain.

"Jadi itu (pendidikan) buat di partai politik itu lain. Tetapi buat kita, namanya bersekolah itu, menuntut ilmu sampai kapanpun harus tetap dilakukan," ujar Supratman.

Karena itu, dia tidak keberatan dengan usulan itu. Alasannya, sekolah itu berguna untuk memaksimalkan segala sumber daya yang ada di lingkungan parlemen.

"Ya kalau saya sih setuju-setuju saja. Kalau namanya pendidikan saya sampai hari ini ingin sekolah lagi. Jadi penyiapan sarana infrastruktur itu dalam rangka memperbaiki tata kelola perlemen nanti yang akan datang, sehingga sumber dayanya bisa maksimal," kata Supratman.

Ketua Fraksi PKS, Jazuli Juwaini, juga menghargai semangat Ade untuk mendirikan sekolah parlemen demi meningkatkan kualitas anggota DPR. Khususnya sebagai upaya peningkatan (upgrading) kualitas anggota DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Namun, Jazuli berpendapat DPR tidak perlu mendirikan atau menggunakan istilah sekolah karena bisa bias persepsi dan interpertasi di masyarakat.

"Kalau sampai mendirikan sekolah parlemen nanti dipersepsi lain oleh publik. Kok anggota DPR malah sibuk belajar bukannya kerja melaksanakan fungsi utama," kata Jazuli dalam keterangan tertulisnya, Senin, 29 Agustus 2016.

Selain itu, Jazuli menilai pendidikan politik dan penyiapan anggota DPR yang berkualitas seharusnya menjadi domain dan tugas partai politik (parpol).

"Parpol yang seharusnya didorong untuk melakukan itu dan pada praktiknya bisa saja bersinergi dengan akademisi perguruan tinggi atau kalangan civil society," katanya.

Jazuli pernah meneliti tentang reformasi DPR dalam disertasinya. Berdasarkan penelitiannya yang dibutuhkan DPR adalah penguatan dukungan keahlian yang profesional dan kompeten serta independen.

Selebihnya yang diperlukan adalah disiplin Anggota DPR dalam merujuk hasil-hasil riset dan data-data ilmiah akurat yang dihasilkan para ahli sebagai basis analisis pembuatan kebijakan.

"Secara kelembagaan DPR harusnya punya semacam lembaga pendukung keahlian seperti di Amerika Serikat, ada budget house dan library of congress, yang benar-benar profesional dan independen, diisi para pakar di berbagai bidang. User-nya adalah anggota DPR," ujar Jazuli.

Namanya pendukung, lanjut Jazuli, hasil-hasil kajian mereka tergantung pada user-nya. Yang perlu didorong adalah komitmen, kemauan, dan kinerja anggota untuk memberdayakan tenaga ahli dan sistem pendukung untuk menyiapkan data dan analisa yang akurat sehingga kebijakan DPR makin berkualitas.

"Di sinilah peran fraksi sebagai kepanjangan tangan partai politik punya peran penting untuk mengontrol kualitas kinerja dan mendisiplinkan anggotanya," ujar Jazuli.

Senada dengan Jazuli, Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai DPR tidak perlu mengadakan sekolah parlemen. Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu lebih setuju jika tugas itu dilaksanakan oleh partai politik.

"Iya (mubazir). Itu tidak perlu. Sebelum dipilih kan mereka harus mampu berbicara anggota DPR. Nah, mungkin diadakan penataran lebih baik oleh masing-masing partai. Agar ideologi partai juga sama dengan calon," kata JK di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Senin, 29 Agustus 2016.

JK mengemukakan, masing-masing partai selalu membuat pelatihan kader. Oleh karena itu, sebelum menjadi anggota DPR, mereka sudah memahami tugas-tugasnya.

"Kan tiap-tiap partai sah-sah saja membuat sikap berbeda. Menghadapi politik ini. Jadi ya biar lebih lancar ya sekolah partai masing-masing," ujar dia.

Politikus Partai Golkar, Roem Kono, mengaku tak setuju terhadap gagasan Ade yang ingin membentuk sekolah parlemen sebagai sarana meningkatkan kualitas para legislator. Menurut dia, sekolah parlemen kurang tepat bila dibentuk untuk mendidik legislator dinilai.

"Karena (legislator) tentu sudah belajar politik itu di partai politik di mana dia bernaung. Partai melakukan pendidikan atau penataran kepada calon legislator. Jadi mereka tidak melepas begitu saja," kata Roem saat ditemui VIVA.co.id, di Kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin, 29 Agustus 2016.

Anggota Komisi V DPR itu mengatakan sekolah parlemen seharusnya ditujukan kepada masyarakat melalui sekolah-sekolah di berbagai tingkatan. Agar masyarakat lebih mengetahui fungsi dan peran parlemen sehingga tingkat kepedulian masyarakat terhadap parlemen semakin meningkat.

"Saya selaku anggota DPR enggak mengerti visi dan misi sekolah parlemen itu. Kalau kami di DPR sudah belajar politik itu di partai kami, sudah didoktrinasi partai. Kalau sekolah parlemen, harusnya diajarkan ke sekolah-sekolah jadi kurikulum," ungkapnya.

Roem menegaskan, dalam tata tertib DPR yang berlaku tak ada aturan soal sekolah parlemen untuk meningkatkan kualitas wakil rakyat sebagaimana yang digagas koleganya di partai berlambang pohon beringin itu.

"Sekolah parlemen tidak diatur dalam tata tertib. Sebelum terpilih, legislator juga sudah dibekali ilmu oleh partai politik dan dididik melalui Lemhanas bagaimana seorang DPR berbuat untuk rakyat," katanya.

Salah Paham

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah turut menanggapi polemik tersebut. Fahri menilai ada salah paham dalam istilah 'sekolah parlemen'.

"Jadi mungkin ada salah paham. Parlemen itu nggak ada sekolahnya, itu satu. Kalau kita mau nyiapin pemimpin, termasuk politisi, termasuk anggota parlemen, tempatnya itu dimodernisasi partai politik," kata Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 29 Agustus 2016.

Fahri menilai, apa yang dimaksud oleh Ade adalah program orientasi yang sebelumnya sudah diusulkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ia sendiri yang dulu meminta MKD mengorientasi anggota ketika masuk ke DPR.

"Makanya dulu saya minta MKD itu harus buat aspek pencegahan, tidak saja DPR, tapi Tenaga Ahli juga wajib diorientasi. Bagaimana cara menjadi pejabat negara," ujar Fahri.

Karena itu, Fahri mengatakan saat ini masalahnya hanya tinggal di sistem penyelenggaraannya saja. Termasuk sistem untuk mengajarkan konstitusi dan undang-undang kepada penghuni lingkungan parlemen.

"Itu tinggal sistem penyelenggarannya aja, bagaimana orang-orang baru itu perlu diajarkan, bagaimana ngajarin konstitusi, Undang-Undang, termasuk etika sebagai pejabat negara. Harus ada sosialisasi," kata Fahri.

Sementara itu, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang termasuk mereka yang tidak setuju bila DPR menggelar sekolah parlemen bagi anggotanya. Berdasarkan pengalaman yang dia catat selama ini, kegiatan tersebut tidak cukup efektif alias mubazir.

"Hal seperti ini bukan belum pernah. Program-program seperti ini meskipun tidak dibuat DPR sudah sering dilakukan, hasilnya tidak efektif," kata Sebastian dalam perbincangan dengan VIVA.co.id.

Selain sia-sia, lanjut Sebastian, sekolah, pendidikan, ataupun pelatihan model begitu merupakan pemborosan yang luar biasa.

"Rata-rata datang ke Jakarta, pelatihannya dilakukan lembaga tidak kredibel. Lalu kegiatan 5 hari, cuma dilakukan dua hari. Sisanya jalan-jalan. Itu pengalaman," ujar dia.

Sebastian mencatat, saat ini yang masih menerapkan sekolah atau pembekalan bagi anggota parlemen adalah DPRD tingkat provinsi ataupun kabupaten. Menurutnya, mereka memang memiliki anggaran untuk kegiatan tersebut.

"Tapi tidak bisa kita bantah, itu tidak efektif," tegasnya.

Meskipun demikian, Sebastian mengakui pendidikan bagi calon anggota parlemen cukup penting. Tapi, tugas itu dilakukan oleh partai politik tepatnya sebelum mereka menjadi anggota DPR.

"Mestinya mereka sudah mendapatkan pengetahuan, pembekalan, skill-skill tentang fungsi kedewanan," kata dia.

Oleh karena itu, dia berpendapat agar tugas sekolah parlemen itu diserahkan ke partai politik bukan dilakukan oleh DPR. Lagi pula, lanjut dia, ada banyak cara untuk meningkatkan kualitas anggota DPR yang kini tengah bertugas.

"Sebetulnya kewajiban partai politik untuk mendorong anggotanya menjalankan tugasnya lebih baik. Kedua, tanggung jawab partai politik untuk mengajukan calon yang berkualitas," kata Sebastian.

Sebastian menambahkan, cara lainnya yang bisa ditempuh partai politik adalah dengan menegur anggota mereka yang kurang baik dalam menjalankan tugas atau kinerjanya sebagai anggota DPR. Jika tak berubah maka bisa memberikan sanksi.