Merintang Terorisme di Dunia Maya

Ilustrasi alamat domain Internet.
Sumber :
  • telecomcanadaen.wordpress.com

VIVA.co.id – Sebuah survei dari yang dilakukan perusahaan keamanan Trend Micro menunjukkan jika teroris kerap berkomunikasi di dunia maya. Di antara platform yang digunakan tidak hanya email tapi juga media sosial. Bahkan rekrutmen kerap dilakukan oleh para teroris melalui media sosial, website, pesan instan, sampai surat elektronik.

Dalam surveinya, Trend Micro menganalisa sekitar 2.300 akun yang diduga milik para teroris. Dari angka itu, sekitar 34 persen menggunakan Gmail untuk berkomunikasi, lalu ada email terenkripsi Mail2Tor yang digunakan sekitar 21 persen akun, dan Sigaint digunakan 19 persen akun. Yang menarik, Yahoo Mail juga kerap digunakan para teroris untuk saling berkomunikas, dengan presentase 12 persen akun yang menggunakannya.

Jika terkait dengan pesan instan, Trend Micro menemukan sekitar 34 persen akun yang diduga milik teroris lebih suka menggunakan Telegram, sebuah aplikasi pesan instan yang aman dan terenkripsi sehingga sulit bagi pemerintah maupun badan keamanan negara untuk melacak. Aplikasi serupa yang memiliki keamanan dan enkripsi adalah Signal dan Wickr. Setelah Telegram, WhatsApp yang dimiliki Facebook berada di posisi kedua dengan pangsa penggunaan 15 persen.

Trend Micro juga menemukan jika para teroris sangat suka memanfaatkan platform sosial media dan forum yang mudah diakses, untuk bisa saling berkomunikasi dan menyebar pesan terorisme. Mereka kerap menggunakan kode atau bahasa tertentu yang hanya bisa dimengerti para anggotanya. Trend Micro pun memiliki perbedaan antara kriminal siber dengan teroris.

“Ada perbedaan besar antara penjahat siber dengan teroris. Teroris kerap menyebar propaganda. Penjahat siber bertujuan untuk melakukan kejahatan di dunia maya dan memilih untuk tidak diketahui public. Sedangkan teroris selalu ingin kontennya menyebar viral di dunia maya. Teroris dan para pendukungnya menggunakan Twitter dan Facebook, tidak hanya untuk menyebar propaganda tapi juga untuk berkomunikasi satu sama lain dan mencari rekrutmen yang potensial,” kata pihak Trend Micro dalam laporannya, dikutip dari Fortune.

Blokir dan Suspend

Menanggapi hal ini, pemerintah semua negara merasa bertanggung jawab untuk memblokir eksistensi ISIS di dunia maya. Utamanya Amerika, tempat kelahiran platform-platform digital tersebut, yang merasa terganggu dengan kehadiran terorisme yang makin marak. Pertemuan dengan pemerintah pun sempat dilakukan, mengundang lebih dari 50 perusahaan teknologi besar di Amerika untuk mencari cara menghalau terorisme.

WallStreet Journal melaporkan jika Google dan Twitter sempat bekerja sama untuk mensponsori tiga bentuk uji coba untuk menghalau propaganda. Uji coba itu menggunakan platform video yang akan disebar di situs kedua perusahaan. Video itu akan berisi imbauan untuk menghindari propaganda teroris. Twitter mengatakan jika proyek ini telah dikerjakan sejak 2013.

Secara mandiri langkah yang sedang dilakukan Google, yakni dengan cara mengarahkan pengguna mesin pencariannya yang terindikasi mencari hal-hal yang berkaitan dengan terorisme dan kekerasan. Ada juga program anti-ekstremis yang muncul dalam bentuk iklan di mesin pencarian Google. Bahkan Google mengatakan juga telah bekerja sama dengan NGO untuk membuat kampanye melawan radikalisasi dan terorisme di mesin pencariannya. NGO itu diberi kekuasaan untuk mendesain iklan guna menggugah psikologi para calon anggota teroris.

Lain halnya dengan Twitter yang memilih untuk memblokir akun-akun terduga teroris. Program pencarian akun terduga teroris ini telah dilakukan sejak pertengahan 2015 lalu. Sampai saat ini Twitter mengklaim telah memblokir 360.000 akun Twitter yang diduga digunakan oleh anggota teroris untuk menyebar propaganda dan kebencian. Dilaporkan, pemblokiran yang dilakukan Twitter setiap hari, yang terkait terorisme, meningkat 80 persen sejak tahun lalu. Hasilnya, platform itu pun memperketat syarat dan ketentuan penggunaan bagi para anggotanya.

Selain itu, Twitter juga memperluas cakupan laporan penyalahgunaan penggunaan platform tersebut. Ini membuat pemblokiran akun bisa dilakukan dengan cepat, dan menyulitkan pengguna yang telah diblokir untuk kembali. Di sisi lain, Twitter juga memperkenalkan fitur baru yang memberikan kekuasaan kepada pengguna untuk mengontrol interaksi mereka di layanan ini. Fitur ini termasuk filterisasi cuitan.

"Dunia telah menyaksikan banyaknya serangan teror yang mematikan dan sadis di seluruh dunia. Kami sangat mengutuk aksi tersebut dan berkomitmen penuh untuk menghilangkan segala bentuk promosi kekerasan dan terorisme di dalam platform ini," ujar pihak Twitter dalam pernyataannya, seperti dikutip dari NY Times.

Sedangkan Facebook mengaku telah mempekerjakan pihak ketiga untuk menyortir konten, baik postingan status maupun fan page, untuk kemudian menghapusnya. Pihak ketiga itu juga dipekerjaka untuk memonitor jika ada konten-konten lain yang bermunculan dan menandakan propaganda, terorisme dan kebencian.

Di Indonesia, data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan jika sampai Juli 2016 ada setidaknya 86 situs yang diblokir terkait dengan terorisme dan radikalisme. Dari angka itu, 37 situs diblokir pada tahun 2015 dan sisanya di tahun ini. Akhir Juli 2016, total terdapat 4.602 akun sosial media yang diblokir, baik di Twitter, Facebook, sampai Youtube. Angka ini meningkat 10 persen dibanding sebulan sebelumnya yang hanya 4.249 akun. Sayangnya, Kominfo tidak memberikan detail akun yang terkait dengan pornografi, perjudian, penipuan dan terorisme.

“Perkembangan penanganan situs internet bermuatan negatif itu, posisi terakhir Juli 2016. Ada radikalsme dan terorisme di bulan Agustus ini yang diblokir. Selain itu, penambahan sekitar 338 akun Twitter yang diblokir adalah akun berkarakteristik prostitusi online. Untuk pemblokiran ini kami gunakan Trust+Positif,” ujar Noor Iza, Pelaksana Tugas Kepala Informasi dan Humas Kemenkominfo, dalam pesan singkatnya, Jumat, 19 Agustus 2016.

Lawannya Kebencian adalah Toleransi

Chief Operating Officer Facebook, Sheryl Sandberg mengungkapkan upaya Facebook dalam menghalau terorisme di platformnya. Namun sayang, dia sendiri tidak yakin jika cara ini akan efektif. Menurutnya, setiap ada akun yang diblokir atau di-suspend, akan muncul akun lainnya yang serupa.  Maka dari itu, dia menganjurkan seluruh masyarakat untuk turut serta membantu menghalau kebencian dengan hal yang positif.

“Lawannya perkataan buruk adalah perkataan baik. Lawannya kebencian adalah toleransi. Ketimbang harus protes dan berteriak, kumpulkan 100.000 orang untuk menyukai halaman itu, lalu posting pesan-pesan baik di situ. Dalam waktu tak lama, saya yakin, halaman yang tadinya berisi kebencian akan berubah menjadi kebaikan,” kata Sandberg saat berbicara di World Economic Forum beberapa waktu lalu.

Yang menjadi masalah, menurut analisa Fortune, sekali pemerintah ikut campur dalam menentukan mana akun yang layak diblokir dan mana yang tidak karena dibutuhkan akurasi tepat sebelum memutuskan untuk memblokir, jangan sampai pemerintah menggunakan kekuasaannya demi membungkam kekebasan berbicara. Jika dibiarkan, media sosial dan platform teknologi akan berubah menjadi kepanjangan tangan pemerintah.

Seperti yang pernah dilakukan pemerintah terhadap Wikileaks dan Julian Assange. Pemerintah AS kala itu meminta Amazon untuk memblokir dan menghapus semua data yang tersimpan di server tersebut. Bahkan Visa dan Paypal diminta untuk menghentikan sistem donasi yang ditujukan ke Wikileaks.

Memang ada perbedaan mendasar antara Wikileaks dan terorisme. Namun sekali saja pemerintah melakukan pelarangan ke sebuah akun spesifik milik orang atau kelompok tertentu, maka perbedaan itu menjadi area abu-abu, khususnya terkait dengan persepsi pemerintah tentang perilaku paham teroris dengan kebebasan berbicara. Dibutuhkan rambu-rambu yang tepat untuk menahan pemerintah agar tidak terlalu ‘berkuasa’ terhadap platform digital yang ada dan mengekang kebebasan berekspresi.