Kontroversi Wiranto Jadi Menteri
Jumat, 29 Juli 2016 - 07:20 WIB
Sumber :
- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id - Presiden Joko Widodo baru saja merombak susunan Kabinet Kerja untuk kali kedua, dengan mengganti posisi 12 menteri dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dalam reshuffle ini, terdapat 9 nama baru yang masuk dalam kabinet. Mereka adalah Sri Mulyani Indrawati, Budi Karya Sumadi, Muhajir Efendi, dan Archandra Tahar dari kalangan profesional. Selain itu, Jenderal (Purn) Wiranto, Airlangga Hartarto, Enggartiasto Lukita, Eko Putro Sanjoyo, dan Asman Abnur sebagai perwakilan partai politik.
Diantara semua nama itu, hanya satu menteri yang mendapatkan protes keras dari masyarakat, terutama pegiat hak asasi manusia. Dia adalah Wiranto, mantan Panglima ABRI, serta Menteri Pertahanan dan Keamanan. Protes bermunculan, karena nama Wiranto erat dikaitkan dengan beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, saat menyandang kedua jabatan itu pada periode 16 Februari 1998, hingga 26 Oktober 1999.
Untuk di dalam negeri, Wiranto selalu diingat-ingat kalangan pegiat sebagai terduga pelanggar HAM berat, apalagi sudah “didokumentasikan” dalam laporan penyelidikan yang diinisiasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia selama masa demonstrasi penggulingan Suharto dari kekuasaan. Yaitu dalam Peristiwa Trisakti, Kerusuhan Mei 1998, serta Peristiwa Semanggi 1 dan Semanggi 2.
Hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap ketiga peristiwa itu sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. Tapi berkasnya kemudian dikembalikan, karena dinilai kejaksaan belum lengkap. Sementara harapan untuk membawa kasus dugaan pelanggaran HAM itu ke persidangan dipastikan gagal, setelah Badan Musyawarah DPR memveto rekomendasi dari Komisi III DPR pada Maret 2007. Sikap ini membuat usul pengadilan HAM Ad Hoc kandas, karena tak pernah disahkan rapat paripurna.
Sedangkan di luar negeri, pada Feburari 2003 Perserikatan Bangsa-Bangsa, di bawah Serious Crime Unit atau Unit Kejahatan Serius, telah mendakwa Wiranto melakukan pembunuhan, deportasi dan persekusi dalam rangka serbuan militer Indonesia pada masyarakat sipil Timor Timur. Dakwaan ini juga ditujukan pada Mantan Gubernur Timor Timur, Abilio Soares, dan enam petinggi militer senior lainnya.
Atas dakwaan ini, sebuah persidangan khusus pada Mei 2004, pasca referendum dan kawasan itu berubah nama menjadi Timor Leste, mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Wiranto.
"Penerbitan surat perintah Wiranto merupakan langkah penting dalam upaya kami mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan terhadap penduduk sipil di Timor Leste pada tahun 1999," kata Nicholas Koumjian, Deputi Jaksa untuk Unit Kejahatan Khusus PBB, setelah surat perintah dikeluarkan, 10 Mei 2004, seperti dikutip dari situs resmi PBB.
Bagi pegiat HAM, kehadiran Wiranto dalam susunan Kabinet Kerja memperlihatkan bahwa Pemerintah Indonesia bukan hanya tidak serius, tapi secara terang-terangan tidak menunjukan itikad baik dalam upaya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Mereka juga menyebut keputusan ini menjadi pengingkaran serius Pemerintahan Jokowi-JK terhadap komitmen perlindungan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, sebagaimana mandat UUD 1945, maupun komitmen politik Nawacita.
Dalam Nawacita, Jokowi-JK berjanji menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang dinilai menjadi ganjalan politik bangsa Indonesia selama ini.
"Pertanyaannya, apakah mungkin keseluruhan agenda penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dapat terlaksana, jika salah satu terduga pelaku pelanggaran, justru memegang posisi kunci atas agenda penyelesaian tersebut?" ucap Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat pada VIVA.co.id, Kamis, 28 Juli 2016.
Menurutnya, penunjukkan Wiranto sebagai menteri koordinator menunjukan adanya kesesatan berpikir, di mana term 'hukum' dan 'keamanan' sama sekali tidak dapat disandingkan dengan Wiranto, yang memiliki sejarah kelam dalam peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu.
"Keputusan politik ini seperti memanggil kembali badai ketakutan dan kecemasan dalam penegakan hak asasi manusia, serta menciptakan jalan suram dalam menautkan agenda Nawacita, untuk menyelesaikan semua pelanggaran HAM berat seadil-adilnya dengan cita-cita masa depan Indonesia," jelasnya lagi.
Elsam pun meminta Jokowi mengevaluasi kembali keputusan mempercayakan jabatan menteri pada Wiranto, untuk memastikan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Sebab, komitmen dan tindakan yang konsisten dengan janji di awal pemerintahan merupakan cara paling dasat membuktikan legitimasi sosial, politik dan moral pemerintahan Jokowi-JK.
Selain Elsam, Ketua Setara Institute Hendardi, juga menyesalkan keputusan ini. "Pilihan Jokowi atas Wiranto sebagai Menkopolhukam merupakan indikasi bahwa dalam merombak kabinet, Jokowi sama sekali tidak mempertimbangkan isu penuntasan pelanggaran HAM masa lalu sebagai variabel berpengaruh," kata Hendardi, Rabu, 27 Juli 2016.
Hendardi menjelaskan, posisi Wiranto sebagai menteri koordinator akan menaungi kinerja lembaga negara yang bergerak di bidang politik, hukum, dan keamanan. Dia khawatir kehadirannya dalam kabinet hanya akan mempertebal impunitas pelanggar HAM, karena sulit bagi Wiranto memprakarsai penuntasan pelanggaran HAM berat, sementara dirinya diduga terkait dengan berbagai peristiwa itu.
Hal senada juga diungkapkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau Kontras. Mereka memprotes penunjukan Wiranto karena selain terkait kasus pelanggaran HAM, saat ini juga masih menjabat sebagai Ketua Umum Partai Hanura.
Baca Juga :
"Seharusnya ini jadi filter sederhana. Agar tidak menempatkan Wiranto dalam jajaran menteri," kata Koordinator KontraS Haris Azhar dalam keterangannya, Rabu, 27 Juli 2016.
"Di mana letak profesionalitas, jika Jokowi sukarela memilih nama Wiranto sebagai pucuk menteri strategis Kabinet Kerja kali ini?" tanya Haris.
Namun karena terlanjur terpilih, KontraS tetap berharap, Wiranto akan bisa memproses para pihak pelanggar HAM untuk dihukum sesuai norma yang berlaku. "Negara harus dan tetap bertanggung jawab membawa dan berpihak kepada keadilan, memulihkan mereka yang dicabut haknya, terkena stigma," tegas Haris.
Janji Wiranto
Menanggapi derasnya kecaman para pegiat HAM itu, Wiranto tetap tenang. Bagi pria kelahiran Yogyakarta ini 96 tahun silam, kritikan dan kecaman demikian sudah biasa dia dengar. "Itu biasa, itu biasa. Setiap menjabat apapun, bahkan mencalonkan diri pun selalu ada letupan-letupan itu," ungkap Wiranto di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis, 28 Juli 2016.
Namun dia meminta para pihak itu menyokong ucapan mereka dengan menunjukkan bukti, dan tak sekedar melempar isu. Wiranto menuntut namanya tak dicemarkan secara serampangan. "Isu-isu HAM mengenai saya. Saya mengharapkan harus jelas locus (tempat) dan tempus (waktu) delicti-nya (kejadian). Dimana dan kapan, dan dimana keterlibatan saya. Saya akan jelaskan satu persatu," tegas Wiranto.
Sebagai Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, lulusan Akademi Militer tahun 68 ini juga mengaku siap menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, kata Wiranto, penyelesaian itu tetap bersyarat. "Saya akan lanjutkan menyelesaikan masalah HAM secara adil, transparan serta bermartabat. Asal jangan merugikan kepentingan nasional. Kepentingan nasional nomor satu, tetap," lanjutnya.
Menurut Wiranto, langkah penyelesaian itu bahkan telah disusun secara bertahap, berdasarkan arahan pendahulunya yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan.
"Pak Luhut sudah melakukan langkah-langkah untuk bagaimana menyelesaikan masalah HAM di masa lalu," kata Wiranto.
Diketahui, pada era Luhut, ada dua kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi fokus pemerintah, yakni kasus pelanggaran HAM berat 1965, dan kasus di Papua - Papua Barat.
Untuk menyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965, digelar dua simposium. Pertama, Simposium Nasional membedah tragedi 1965 yang menghasilkan berbagai tuntutan, usulan dan rekomendasi. Salah satunya menyatakan negara harus mengakui telah melakukan kekerasan di masa lalu dalam peristiwa itu.
Kemudian Simposium Nasional yang digelar purnawirawan TNI dengan tema 'Mengamankan Pancasila dari Ancaman PKI dan Ideologi Lain'. Simposium yang terakhir menghasilkan sembilan butir rekomendasi kepada pemerintah.
Rekomendasi itu pada intinya meminta PKI meminta maaf atas pemberontakan yang mereka lakukan, meminta masyarakat tidak lagi mengungkit sejarah pemberontakan di masa lalu itu, dan menguatkan materi Pancasila dalam kurikulum pendidikan.
Sedangkan untuk penyelesaian tiga kasus pelanggaran HAM berat di Papua dan Papua Barat, yakni kasus Wasior (2001), Wamena (2003), dan Paniai (2014). Pemerintah pada Mei lalu telah membentuk tim terpadu penanganan dugaan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Sementara terkait jabatan Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat, Wiranto melepas jabatannya sebagai Ketua Umum DPP Partai Hanura. "Saya nonaktif dari posisi kepartaian. Jadi, diserahkan ke ketua yang lain. Nanti, ada rilisnya khusus," kata Wiranto di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 28 Juli 2016.
Wiranto juga menepis keraguan banyak pihak yang menyebut latar belakangnya itu membuatnya tak pantas menjabat sebagai pejabat publik. Dia yakin, saat memilih seorang menteri, Presiden Joko Widodo tak sembarangan menunjuk hidung. Banyak pertimbangan yang sudah dibuat dalam memberikan kepercayaan pada seseorang menduduki posisi strategis di negara.
"Presiden pasti memiliki pemahaman akan pengalaman masing-masing pejabat, termasuk saya. Track record-nya jelas, dan pertimbangan itu Presiden kemudian mengangkat para menteri termasuk saya," ungkapnya.
Reaksi Istana
Gema protes masyarakat menentang keberadaan Wiranto di kabinet hasil reshuffle, didengar Istana. Juru Bicara Presiden, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan sampai saat ini Wiranto tidak terbukti tersangkut dalam kasus pelanggaran HAM seperti yang dituduhkan. Hal itu juga sudah disampaikan Wiranto ke Presiden.
"Sampai hari ini, tadi sudah dijelaskan, disampaikan kepada Presiden oleh Pak Wiranto, bahwa Pak Wiranto tidak ada persoalan terkait dengan HAM. Jadi ini laporan ke Presidennya ya, berdasarkan laporan Pak Wiranto," ujar Johan di Istana Negara, Jakarta, Kamis, 28 Juli 2016.
Menurut Johan, Presiden tak mungkin sembarangan mengangkat menteri, karena sebelum menunjuk juga sudah melakukan penelusuran terhadap masa lalu dan latar belakang mereka. Termasuk, pada Wiranto. "Presiden sebelum memilih menterinya kan ada tracking. Saya hanya sebatas itu yang saya tahu," ujar Johan.
Pada kesempatan terpisah dengan Johan, Luhut juga meminta publik tak ikut-ikutan menghakimi Wiranto tanpa memiliki bukti yang jelas. Menurutnya, kasus di masa lalu itu tak perlu dirisaukan karena sudah ada upaya penyelesaian.
"Saya mengimbau jangan ikut-ikut soal pak Wiranto lah. Indonesia ini kan lagi baik. Indonesia suasana tenang. Kalau ada masalah ya biar saja," ujar Luhut saat bertemu Wiranto di kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 27 Juli 2016.
Terlepas polemik mengenai kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang mengaitkan nama Wiranto, publik kini hanya bisa mempercayakan janjinya, bahwa dia akan menyelesaikan semua kasus itu. Sebab, bersalah atau tidak dalam berbagai kasus itu, Presiden sudah melantiknya. Wiranto pun bersumpah di bawah kitab suci, akan menjalankan kerja sebaik-baiknya demi kesejahteraan masyarakat.
(ren)