Hillary Clinton Nyapres, AS Bakal Cetak Sejarah Lagi?
- REUTERS/Brian Snyder
VIVA.co.id - Selasa, 26 Juli 2016, malam di Wells Fargo Center, Philadelphia, Pennsylvania Venue, Amerika Serikat, menjadi saksi bisu terpilihnya Hillary Diane Rodham Clinton.
Mantan Menteri Luar Negeri AS ini muncul setelah 50 negara bagian membacakan pilihan mereka untuk mengusung Hillary menjadi calon Presiden AS dari Partai Demokrat.
Ia memenangkan suara delegasi sebesar 2.842 (59,67 persen), mengalahkan Senator Vermont Bernie Sanders yang hanya mengumpulkan 1.865 (39,16 persen) suara delegasi.
Sontak, gemuruh suara seluruh delegasi yang hadir meramaikan suasana. Padahal, sebelumnya, sejak pertama konvensi nasional digelar pada Senin, 25 Juli lalu, Sanders dan kubunya mencoba mengadang langkah mantan “First Lady” itu.
Kini, bersama Senator Virginia, Tim Kaine, yang didapuk menjadi calon wakil presiden, Hillary yang pernah mendampingi sang suami, mantan Presiden Bill Clinton, siap menantang calon presiden dan wakil presiden dari Partai Republik, Donald Trump dan Mike Pence, dalam Pemilihan Presiden pada 8 November 2016.
Tak hanya itu. Terpilihnya ibu dari Chelsea Clinton ini juga membuat AS mencetak sejarah kembali. Pasalnya, ia menjadi calon presiden wanita pertama. Dikatakan demikian karena sebelumnya, Barack Obama membuat sejarah besar bagi Paman Sam.
Ia berhasil menjadi Presiden AS pertama keturunan Afrika Amerika. Hal ini seperti "membongkar tembok pembatas" karena telah berabad-abad AS dipimpin oleh presiden berkulit putih, serta terbelenggu dalam menghadapi isu rasisme.
Ayah Obama berasal dari Kenya sedangkan ibunya keturunan Inggris. Terlahir dari keluarga multietnis, yang membuat Obama lebih menghargai perbedaan.
“Saya tidak pernah menyangka akan menjadi saksi hidup momen bersejarah ini. Di mana Presiden Afro-Amerika pertama (Barack Obama) berpotensi digantikan oleh Presiden perempuan pertama (Hillary Clinton),” ungkap Frederica Wilson, delegasi negara bagian Florida, seperti dikutip situs Rollcall, Rabu, 27 Juli 2016.
ObamaCare
Namun, rintangan Hillary belumlah usai. Selain harus berhadapan dengan Trump-Pence, mantan Senator New York itu juga dihadapkan pada masalah lain yang belum kelar di era pemerintahan Presiden Barack Obama.
Yang sedang panas diperbicangkan adalah kepemilikan senjata oleh warga sipil. Seperti diketahui, memasuki tahun ini, penembakan terhadap warga sipil AS makin meningkat. Tercatat, hingga tengah tahun sudah 10 kasus penembakan terjadi di Negeri Paman Sam.
Presiden Barack Obama dihadapkan pada kasus “teroris domestik” yang dilakukan warganya sendiri. Ia seperti dibuat mati kutu, namun mengaku sudah benar-benar muak dengan terus terjadinya aksi penembakan massal.
Terlebih, kasus ini menjelang akhir masa jabatannya. Praktis, insiden ini pun bagai "duri dalam daging" dalam pemerintahan Obama. Tiga kasus terakhir yaitu penembakan di klub malam di Orlando, Dallas, dan Louisiana.
Menurut Pakar Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Arry Bainus, tragedi penembakan ini pasti akan dijadikan "bahan diskusi" dalam pertarungan pemilihan presiden AS.
“Jelas ini akan menjadi bahan menarik bagi Partai Republik untuk mendulang suara. Mereka pasti mengatakan hal-hal negatif kepada pemerintahan yang sekarang. Tapi harus diingat. Siapa pun presidennya, UU Pengendalian Senjata tidak akan pernah disetujui,” ujarnya, kala berbincang dengan VIVA.co.id, belum lama ini.
Selanjutnya, melansir situs Nytimes, wanita berusia 68 tahun ini berjanji akan menghapus iuran kampus negeri bagi keluarga berpendapatan rendah. Hilary juga mendukung pembangunan fasilitas kesehatan komunitas. Dalam isu kesehatan publik, Hillary mendorong Kongres menambahkan ”opsi publik” dalam Affordable Care Act, bagian dari ObamaCare. Bagaimana dengan kebijakan luar negeri?
Pivot to Asia
Mengutip situs Washingtonpost, Rabu, 27 Juli 2016, secara umum, kebijakan luar negeri AS di bawah Partai Demokrat cenderung “bermain aman”. Mereka fokus pada isu perdamaian kawasan, menghindari keterlibatan langsung dalam setiap konflik bersenjata, serta lebih berkonsentrasi pada isu-isu dalam negeri.
Kendati demikian, Hillary diperkirakan mengambil sikap lebih hawkish (pandangan keras) ketimbang Obama. Bahkan dari Trump sekali pun. Ia terang-terangan mendukung intervensi AS di Libya dan Suriah. Hal yang tidak mungkin diungkap di era Obama.
Hillary juga akan “membidik” negara-negara yang dianggap berpotensi menjegal AS sebagai “Polisi Dunia” seperti Rusia China dan Iran, serta masalah terorisme.
Selain itu, Hillary akan melanjutkan kebijakannya saat dirinya menjabat sebagai menteri luar negeri, yakni “Pivot to Asia”, di mana AS lebih berfokus pada negara-negara Asia dalam segala hal mulai dari perdagangan, keamanan, hingga militer. Kebijakan ini sejalan dengan Obama sebelumnya.
Terkait Rusia, baru-baru ini Presiden Obama menuding negara itu mencoba untuk “ikut bermain” dalam Pemilihan Presiden AS. Hal ini diungkapkannya menanggapi dugaan peretas asal Rusia adalah pelaku yang membocorkan surat elektronik (email) Komite Nasional Demokrat (Democrat National Committee/DNC).
Biro Investigasi Federal (FBI) tengah menyelidiki lebih dari 19 ribu surel DNC, pada Jumat pekan lalu. Isi surel menyebut DNC lebih menyukai Hillary Clinton ketimbang Bernie Sanders.
"Saya tahu bahwa para ahli telah mengaitkan ini dengan Rusia. Apa yang kita tahu adalah bahwa Rusia meretas sistem kami, bukan hanya sistem pemerintah tetapi sistem swasta," kata Obama, seperti dikutip situs Reuters.
Kans Hillary
Skandal bocornya email para petinggi Partai Demokrat yang dirilis oleh situs WikiLeaks telah memaksa Ketua DNC, Debbie Wasserman Schultz, mengundurkan diri.
"Apa motif dari kebocoran surel? Saya tidak bisa mengatakan secara langsung. Yang saya tahu adalah bahwa Donald Trump telah berulang kali menyatakan kekagumannya terhadap Vladimir Putin," ungkapnya.
Des, mampukah Hillary membuat sejarah kembali dengan menjadi Presiden AS? Dukungan Bernie Sanders kepada dirinya bukan berarti jaminan 100 persen pengikut Sanders akan mengalihkan suara.
Hillary tetap harus berusaha merayu basis massa Sanders dari kalangan sosialis Yahudi, kelompok minoritas, serta masyarakat berpendapatan menengah ke bawah yang selama ini menjadi ciri khas pemilih Partai Demokrat.
Pasalnya, sejumlah pendukung Sanders justru pecah suara dan menggelar protes di Philadelphia yang menolak mendukung Hillary. Demikian melansir Reuters.
Tiket menuju Gedung Putih sebagai presiden perempuan pertama AS masih harus diperjuangkan dengan gigih. Toh, hasil akhir dan masa depan AS akan ditentukan oleh satu coblosan warga negaranya di seluruh dunia pada 8 November mendatang.