Ketika Lanun 'Ketagihan' Menculik WNI
- Jeffry Sudibyo
VIVA.co.id – Layaknya deja vu. Peristiwa penculikan warga negara Indonesia (WNI) yang berprofesi sebagai anak buah kapal (ABK) kerap berulang. Tercatat, hingga pertengahan tahun ini, sudah empat kali terjadi penculikan oleh "lanun" atau kelompok pembajak/perompak dari Filipina selatan.
Yang terbaru, pada Sabtu, 9 Juli 2016, tiga orang diculik oleh lima orang bersenjata di Perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Maraknya penculikan terhadap orang Indonesia di luar negeri tentu membuat pemerintah geram.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi sampai berucap kalau berulang-ulangnya penculikan sudah mencapai titik nadir. Tidak bisa lagi ditolerir. Selain itu, Presiden Joko Widodo sudah menyurati dan mengingatkan pemerintah Filipina soal komitmennya untuk menyelamatkan sandera WNI.
Kala berbincang dengan VIVA.co.id, Senin, 11 Juli 2016, pengamat hubungan internasional Emil Radiansyah menuturkan satu faktor kemungkinan mengapa WNI menjadi sasaran penculikan kelompok yang diduga termasuk ke dalam jaringan Abu Sayyaf itu.
Pada kasus penculikan April lalu, menurut Emil, WNI dibebaskan diduga dengan cara ditebus. Itu indikasi sangat kuat, meskipun pemerintah tidak pernah mengakuinya.
“Menurut saya, indikasi kuat mengapa WNI jadi sasaran penculikan karena (dugaan) faktor tebusan itu," kata dia.
Mengenai keefektifan patroli bersama antara Indonesia, Filipina, dan Malaysia yang digagas di Yogyakarta beberapa waktu lalu, Emil menilai belum sepenuhnya berjalan sesuai harapan.
Baca:
Sebab, hambatan terjadi dari kubu Filipina. Saat ini, negeri itu menghadapi masalah yang tak kalah pentingnya. Yaitu, sengketa pulau di Laut China Selatan dengan China, yang masalahnya kini ditangani Pengadilan Arbitrase di Den Haag, Belanda.
"Konsentrasi mereka terbelah dua. Apalagi, hasil arbitrase ini akan keluar besok (Selasa, 12 Juli 2016)," tuturnya.
Kendati demikian, Emil menyebut bahwa kasus lanun di perairan Filipina selatan sudah dianggap lumrah oleh Filipina. Karena, memang kawasan itu termasuk ke dalam wilayah rawan.
"Bagi mereka (Filipina) itu (penculikan dan penyanderaan) sudah biasa. Tapi, tidak bagi kita (Indonesia) karena masuk kategori kejadian luar biasa (KLB)," ujar Emil.
Tak hanya itu, Emil menjelaskan bahwa Filipina harus menunjukkan "iktikad baik" bila masalah ini tidak mau terulang kembali di masa depan. Iktikad baik itu, Emil melanjutkan, adalah memaksimalkan opsi diplomatik dan militer.
"Political will adalah masalah yang dihadapi pemerintah Filipina. Walaupun, Presiden Duterte mengatakan Abu Sayyaf bukanlah kelompok kriminal, bukan berarti tidak diberantas," katanya.
Apalagi, saat ini kelompok militan tersebut sudah pecah menjadi beberapa faksi. Untuk itu, pemerintah Filipina harus jeli melihat mana kelompok yang moderat dan garis keras.
"Tentu saja opsi militer akan menjadi pilihan terakhir ketika diplomasi buntu. Tapi, saya melihat tidak semua kelompok akan diperangi," Emil menerangkan.
Baca juga:
***
Indonesia Terlalu Persuasif?
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengatakan, selama ini WNI kerap jadi sasaran penyanderaan para perompak di Perairan Filipina dan Malaysia.
Dia menilai, kondisi itu terjadi karena perompak memandang Indonesia terlalu persuasif dalam upaya pembebasan sandera. Mereka pun kembali menyandera WNI di perairan tersebut hingga keempat kalinya.
"Mungkin kita terlalu persuasif," ujar Gatot, di Kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Jakarta, Senin, 11 Juli 2016.
Gatot menambahkan, yang dimaksud persuasif yakni tak adanya operasi militer dalam upaya pembebasan sandera sebelumnya. Dengan begitu, para perompak memanfaatkan celah tersebut.
"Kalau ada operasi militer, nggak akan berani itu (perompak). Jadi, saya tekankan bahwa sesuai dengan arahan Presiden, diutamakan keselamatan sandera, tapi tidak menghendaki adanya pembayaran," tutur Gatot.
Berdasarkan keterangan, tiga WNI yang diculik oleh kelompok separatis Filipina yakni Lorence Koten (34) selaku juragan kapal, Teodorus Kopong (42) dan Emanuel (40).
Menurut keterangan majikan kapal, Chia Tong Len, para penculik memilih target warga yang akan disandera, yakni WNI berpaspor Indonesia. Sementara itu, tiga ABK warga Filipina dan satu ABK WNI yang tidak membawa paspor, dilepaskan.
Peristiwa ini menjadi tanda tanya besar bagi publik Indonesia, yang kemudian berkembang menjadi dugaan bahwa WNI menjadi target penyanderaan karena pemerintah Indonesia bersedia membayar uang tebusan untuk membebaskan sandera.
"Saya tekankan bahwa sesuai apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo, yang diutamakan adalah keselamatan sandera. Tetapi, baik kita maupun pemerintah Filipina tidak menghendaki adanya pembayaran (tebusan)," ujar Gatot.