Ahok dan Para Mafia Tanah Jakarta
- VIVA.co.id/ Dody Handoko
VIVA.co.id – Sebagai pemerintah yang berdaulat di ibu kota negara, rupanya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, belum terlalu baik menjaga aset-aset berharga yang mereka miliki dari masalah. Dan ironisnya, semua masalah itu diduga telah dirancang para mafia pertanahan.
Hal terbukti dengan mencuatnya kasus penggunaan Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah (APBD) bernilai fantastis, untuk membayari sebidang lahan, yang tak lain ternyata adalah aset Pemprov DKI sendiri. Tak tanggung-tanggung, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI menyebut, kerugian negara akibat kasus itu, lebih dari setengah triliun rupiah.
Dalam audit yang dilakukan BPK, negara dirugikan sebesar Rp648 miliar untuk pembelian lahan seluas 4,6 hektare di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat oleh Dinas Perumahan dan Gedung DKI Jakarta.
Kasus ini terungkap saat BPK DKI melakukan peninjauan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI 2015, ke lokasi yang berada di Kecamatan Cengkareng Barat.
Dalam peninjauan terhadap lahan itu, diketahui ternyata lahan yang dibeli Dinas Perumahan itu, adalah milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan (KPKP) DKI Jakarta.
Anehnya lagi, saat itu, Kepala DKPKP DKI Jakarta, Darjamuni mengaku, tidak mengetahui, jika lahan yang sudah berstatus aset Pemprov DKI itu, dibeli Dinas Perumahan melalui seorang wanita bernama Toeti Nizlar Soekarno.
Darjamuni mengatakan, lahan yang rencananya akan dijadikan lokasi pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) itu dibeli Dinas Perumahan DKI tanpa berkoordinasi terlebih dahulu dengan DKPKP DKI.
"Kami tidak tahu sama sekali (lahan dibeli Dinas Perumahan). Kami baru tahu saat ada audit dari BPK," ujar Darjamuni, Senin 27 Juni 2016.
Sebagai pimpinan tertinggi di Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama pun tak mau tinggal diam. Pria yang disapa Ahok itu, langsung meminta BPK untuk melakukan penyelidikan kasus itu.
Permintaan Ahok ke BPK DKI, didasari dugaan Ahok tentang ada oknum yang mempermainkan kasus ini. Ahok menyebut mereka sebagai mafia tanah. Yang berupaya mengeruk keuntungan dari harta kekayaan Jakarta.
Menurut Ahok, aset milik DKI itu diubah data kepemilikannya di kantor kelurahan. DKI kemudian melakukan pembelian karena tak mengira tanah itu adalah asetnya. "Ini semacam ada mafia, dimainin," ujar Ahok di hari yang sama.
Seiring waktu berjalan, kasus ini terus menggelinding. Dugaan Ahok tentang adanya mafia tanah yang bersekutu dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Perumahan DKI, kian diperkuat dengan munculnya gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, terkait status kepemilikan lahan.
Penggugatnya tak lain yakni Toeti Noezlar Soekarno. Dalam gugatannya, Toeti ingin agar nomor aset di pemerintah dihapus. Karena lahan itu sudah tercatat sebagai aset milik Dinas Kelautan DKI.
Dari gugatan itu, muncul satu kasus baru, Ahok menemukan adanya uang sebesar Rp200 miliar dalam pembelian lahan itu raib. Padahal uang sebanyak itu merupakan bagian dari total keseluruhan nilai APBD sebesar Rp648 miliar yang dianggarkan untuk pembelian lahan.
Uang itu, disebut raib. Karena, Dinas Perumahan sengaja tidak menyerahkan uang itu ke Toeti. "Ada duit Rp200 miliar yang enggak mereka terima. Karena penjual enggak terima, jadi uangnya ditahan," ujar Ahok.
Ahok mengatakan, keberadaan uang Rp200 miliar yang belum dibayarkan itu kini tengah ditelusuri. Ahok curiga, uang itu telah dibagi-bagikan oleh PNS yang mengurus pembelian lahan. "Berarti duit ini yang dibagi-bagi, harus dicari tahu," ujar Ahok.
Selanjutnya... Suap Halus Rp9,6 miliar untuk Ahok...
Suap Halus Rp9,6 Miliar untuk Ahok
Untuk memuluskan pembelian lahan yang terbukti bagian dari kekayaan Pemprov DKI Jakarta, Ahok mengaku, pernah ditawari uang hampir Rp10 miliar (9,6 miliar rupiah) oleh pejabat di Dinas Perumahan DKI.
Ahok mengatakan, Kepala Dinas Perumahan dan Gedung DKI, Ika Lestari Adji pernah melaporkan dan mengaku tidak mencicipi uang itu. Tapi, Ahok menganggap, apa yang dikatakan Ika kepadanya saat itu seperti cara seseorang yang tengah menawarkan uang komisi.
"Tapi dia (Ika) ngomong gitu lho. Mungkin ada ngomong gini ‘Ya mungkin bapak butuh atau apa?'. Saya bilang ini gila apa?," ujar Ahok di Balai Kota DKI, Rabu, 29 Juni 2016.
Ahok mengatakan, hal itu menjadi salah satu penyebab dia sempat memberikan amanat dengan nada penuh amarah saat pelantikan pejabat besar-besaran perdana Pemerintah Provinsi DKI pada 8 Januari 2016.
Ahok meminta tidak hanya pejabat Dinas Perumahan namun semua pejabat instansi Pemerintah Provinsi DKI yang merasa pernah mendapat gratifikasi, segera melakukan pengembalian ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sanksi keras yang dilayangkan bisa berupa pemecatan dari status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak hanya pemecatan, juga dari posisi sebagai pejabat, menanti mereka yang bandel dan tidak melakukan pengembalian. "Saya langsung panggil. (Lalu) bilang, ‘kalian mesti setor ini’ (uang gratifikasi ke KPK)," ujar Ahok.
Tapi, di kemudian harinya, Ika membantah bahwa ia menawarkan uang itu kepada Ahok. Ika mengatakan, Sukmana, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Pembangunan Rumah Susun dan Permukiman Dinas Perumahan DKI, adalah orang yang memberitahu Ahok soal adanya uang yang diterima Dinas Perumahan setelah melakukan pembayaran pembelian lahan.
"Iya, betul (Sukmana memberi tahu Ahok keberadaan uang)," ujar Ika saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 30 Juni 2016.
Ika mengaku tidak mengetahui apakah mantan bawahannya itu sekadar melapor, atau menawari Ahok uang itu. Dia pun mengaku tidak menyertai Sukmana saat melakukan pelaporan. "Ibu enggak menyaksikan atau apa," ujar Ika.
Selanjutnya... Status Lahan Rp648 Miliar...
Status Lahan Rp648 Miliar
Permasalahan lahan itu, tak hanya saja tentang raibnya uang dan kerugian negara. Status kepemilikan lahan juga menjadi topik hangat yang dibicarakan petinggi Jakarta.
Dalam kasus ini, ternyata DKPKP DKI belum memiliki sertifikat atas tanah yang diakui sebagai milik Toeti. Kepala DKPKP DKI Darjamuni mengatakan, Sertifikat Hak Milik (SHM) masih dalam pengajuan, ke Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) DKI.
"Waktu itu sudah diusulkan ke BPKAD untuk disertifikatkan," ujar Darjamuni, melalui pesan singkatnya kepada VIVA.co.id, Rabu 29 Juni 2016.
Meski demikian, Darjamuni mengatakan, BPKAD belum memproses permintaan. Dinas Kelautan saat ini sedang melakukan permintaan yang sama ke instansi yang dipimpin Heru Budi Hartono itu.
Apa yang diakui Darjamuni juga diakui oleh Ahok. Tapi menurut Ahok, meski sertifikatnya masih dalam tahap pengurusan setelah Mahkamah Agung (MA) memenangkan pemerintah dalam sengketa gugatan dengan PT. Sabar Ganda pada tahun 2012, masyarakat tidak bisa serta merta memanfaatkan
Ketiadaan sertifikat itu untuk menyerobot dan mengajukan pembuatan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan dasar girik.
"Kalau (aset) enggak dikuasai dan enggak dicatat, kita bisa berdebat. Apalagi ini (aset lahan Cengkareng) pernah menang di pengadilan. Artinya ini aset kita," ujar Ahok.
Ahok menyatakan, sangat heran dengan kinerja BPN. Karena BPN dengan mudah sertifikat atas lahan itu kepada Toeti Nizlar Soekarno. "Makanya kita curiga BPN bisa keluarin sertifikat," ujar Ahok.
Padahal, lahan telah tercatat sebagai aset milik pemerintah di BPKAD DKI sejak tahun 1997.
Sementara itu, menjawab keheranan Ahok, Kepala Pertanahan BPN Jakarta Barat, Sumanto mengatakan, BPN melakukan penerbitan sertifikat lahan atas nama Toeti Nizlar Soekarno atas klaim lahan adat yang luasnya mencapai 4,6 hektare.
Kepala Pertanahan Jakarta Barat, Sumanto, mengatakan pada dasarnya BPN melakukan penerbitan sertifikat tanah atas permohonan masyarakat. Usai menyampaikan permohonan, Toeti juga melakukan pengumuman lewat surat kabar selama dua bulan.
Namun, Sumanto mengatakan, selama dua bulan, tak ada satu pun pihak yang mempersoalkan kepemilikan lahan yang saat ini kepemilikannya diketahui sempat ada di DKPKP DKI.
"Kalau selama diumumkan tidak ada orang yang keberatan, maka permohonan sertifikat tersebut diproses," ujar Sumanto.
Sumanto mengatakan, dalam pandangan BPN, lahan yang kemudian dibeli Dinas Perumahan DKI dengan anggaran Rp648 miliar menggunakan APBD DKI 2015 itu, sebelumnya dimiliki Toeti.
BPN tidak menjadikan dimenangkannya gugatan atas status kepemilikan lahan oleh DKI di MA pada tahun 2012 sebagai pertimbangan. BPN semata-mata menerbitkan sertifikat atas dasar permohonan yang disampaikan Toeti.
Sumanto mengatakan, Toeti juga menyertakan dokumen yang menunjukkan lahan adalah tanah adat. Dokumen itu berupa girik dan keterangan pendukung lainnya. "Berdasarkan sertifikat yang ada, tanah tersebut milik Toeti," ujar Sumanto.