Band Punk Indonesia Bisa Go International
- VIVA.co.id/Purna Karyanto
VIVA.co.id – Band Pee Wee Gaskins sukses membetot perhatian publik saat merilis album Stories From Our High School Years tahun 2008 lalu. Meski dirilis lewat label independen, Kurd Records, album tersebut laku terjual hingga 2.000 copies.
Sebuah pencapaian besar bagi band beranggotakan Alditas Sedega alias Dochi, Fauzan alias Sansan, Harry Pramahardhika alias Ayi, Reza Saitiri alias Omo, dan Renaldy Prasetya alias Aldy. Apalagi Pee Wee Gaskins turun tangan mendistribusikan album mereka sendiri.
Dari berbagai pentas seni (pensi), kaki Pee Wee Gaskins melangkah ke ajang musik lebih besar. Band bergenre pop punk ini mendapat kesempatan tampil di salah satu festival musik terbesar di kawasan Asia, Summer Sonic. Bertempat di Jepang, Dochi dan kawan-kawan pun mencicipi rasanya tampil dalam perhelatan yang sama dengan musisi kelas dunia, seperti Rihanna dan Green Day.
Kini, Pee Wee Gaskins hadir dengan album baru. Setelah tiga tahun berturut-turut kukuh tak terikat di label manapun, mereka akhirnya menggandeng label rekaman besar untuk album A Youth Not Wasted. Dalam sebuah kesempatan, Pee Wee Gaskins bercerita soal album baru mereka kepada VIVA.co.id. Berikut wawancara selengkapnya.
Apakah benar arti nama Pee Wee Gaskins terinspirasi dari salah satu pembunuh berantai di Amerika, Donald Henry Gaskins?
Sansan:
Jadi sebenarnya di tahun 2007 saat kita baru pertama-tama mau membentuk Pee Wee Gaskins itu zamannya band-band semuanya pakai nama-nama yang seram, atau menggunakan nama-nama pembunuh. Akhirnya waktu itu kita ingin cari yang kayak gitu juga. Kita Google, keyword-nya serial film. Muncul lah si Henry Gaskins ini. Kenapa dia namanya Pee Wee karena dia badannya kecil. Sama kayak kita, kecil-kecil cabe rawit.
Bisa dijelaskan soal asal-usul nama Dorks buat menamakan fans kalian?
Dochi:
Waktu itu kita disuruh bikin lagu buat anak SMA yang lagi mau UN, terus kita disuruh buat lagu tentang itu, kayak High School is Almost Over. Akhirnya kita nyeritain tentang orang yang waktu sekolah suka di-bully, tapi dia tetap ada semangatnya, sampai akhirnya bisa lulus, bisa ngejar apa yang dia suka. Dan judul lagunya Dorks Never Say Die. Tadinya kita enggak ada nama untuk fansnya, sampai akhirnya mereka mengusulkan ini aja nih namanya ‘dorks’, dari judul lagu itu.
Siapa saja fans kalian?
Dochi:
Mungkin karena waktu itu kita album pertama kali keluar kan albumnya judulnya Stories From Our High School Years, terus cerita-ceritanya tuh kebanyakan cerita di zaman sekolah waktu SMA, SMP. Jadi mungkin yang paling bisa related dahulu anak SMP, SMA. Sampai akhirnya anak SMP/SMA-nya punya adik ikut dengerin. Jadi range-nya tadinya dari SMP sampai SMA, tapi setelah kita seiring berjalannya waktu, orang yang tadinya SMP ini kan akhirnya jadi SMA terus jadi kuliah, ya sekarang sih sampai yang sudah punya keluarga, masih suka ada yang datang gitu.
Dari cerita pribadi ada, dari cerita teman juga ada, kayak misalnya ada teman lagi curhat, atau lagi ngobrol terus kayaknya bagus nih buat jadi judul lagu atau materi lagu, akhirnya kita bikin. Terus dari sekitar lah, hal-hal yang bersentuhan sehari-hari.
Dari sekian banyak lagu dari beberapa album, apa lagu yang proses penciptaannya paling emosional?
Dochi:
Waktu itu kita lagi take album yang Astra Per Aspera, terus lagi di jalan naik taksi gitu mikirin nih kita mau take lagu apa nih, akhirnya dengerin kan semua yang belum ada vokalnya. Dan hari itu adik gue lagi ulang tahun.
Terus wah boleh deh akhirnya kita bikin lagu ulang tahun tapi enggak yang happy. Tapi justru yang bikin orang merenung gitu kalau ulang tahun itu bukan umurnya yang nambah, justru kurang satu tahun makin dekat dengan kematian. Itu idenya. Makanya ada lagu yang judulnya Selama Engkau Hidup. Dengan umur yang tersisa ini, lu harus jadi sesuatu, jadi bikin orang lebih mikir daripada ngajakin pesta.
Kalian sudah pernah tampil di festival musik apa saja?
Sansan:
Jepang, Filipina, Malaysia.
Apa festival yang paling berkesan buat kalian?
Dochi:
Sampai sekarang jadi kayak achievement buat kita pas kita main di Summer Sonic di Jepang tahun 2012. Kita jadi band Indonesia pertama yang main di festival Summer Sonic. Benar-benar internasional deh. Mainnya tuh sama Rihanna, sama Green Day, Franz Ferdinand, Jamiroquai, semuanya. Terus ada nama kita ‘nyempil’ di situ, rasanya bangga.
Pernah punya pengalaman memalukan saat tampil di festival?
Dochi:
Ada pengalaman yang agak-agak enggak bakal kayak gitu lagi. Jadi waktu itu kita disuruh ngebuka band MxPx, band US. Karena satu dan lain hal, mereka memutuskan panitianya bilang, ini si bandnya harus ngurus visa karena besoknya harus cabut ke Indonesia. Tapi belum beres visanya, jadi mau enggak mau acaranya harus dipotong, harus ada satu atau dua band yang di-cut.
Terus dari MxPx-nya bilang, coba cek siapa saja sih yang main. Terus si gitarisnya MxPx ngeliat Pee Wee Gaskins, sebelumnya si gitaris ini vokalisnya The Ataris pernah main di Jakarta. Dia bilang, Pee wee gue tahu ni pernah main di Jakarta bareng, rame juga nih. Ya sudah dia saja yang disuruh nutup. Jadi bukannya bandnya di-cut, tapi kita disuruh main gantiin spot-nya dia.
Jadi pas band MxPx-nya selesai main, semua penontonnya tuh keluar, waduh bagimana nih, orang-orang pada keluar nih. Sementara kita ngeset, ya sudah tetap saja kita main, pas kita jreeeng, ternyata semua orang pada masuk.
Jadi mereka keluar itu untuk ngerebut merchandise-nya Pee Wee. Jadi beli merchandise, ada yang masuk lagi pakai topi Pee Wee, ya jumlah penontonnya akhirnya sama sih kayak MxPx.
Bisa diceritakan soal album terbaru kalian?
Sansan:
Judulnya A Youth Not Wasted, ngerjainnya di studio ini di beat space studio punya Aldi. Karena ngerjainnya di studio kita sendiri, jadi santai banget ngerjainnya. Enggak ada deadline, ngabisin waktunya satu setengah tahun.
Album terakhir sebelum ini tuh tahun 2010. Tapi setelah itu kita bikinnya EP (Extended play atau album mini) kayak tiga empat lagu gitu kita rilis sendiri setiap tahunnya, sampai akhirnya 2014 kita berhenti bikin EP, untuk ngerjain si album ini.
Apa yang membedakan album ini dengan album-album sebelumnya?
Dochi:
Dari proses kreatifnya beda dengan album-album sebelumnya. Jadi, di album ini semua orang benar-benar punya bahan yang bisa kita olah bareng-bareng. Misalnya si Ayi punya bahan lagu, dia main ke studio ngasih tahu si Aldy, ‘Dy, gue ada lagu baru nih part-nya kayak gini’, terus Aldy bikin drumnya, dan setelah itu besoknya gue datang, ngedengerin, ngisi bass, yang gue enggak tahu ini lagunya mau jadi kayak apa.
Jadi semua orang kayak masuk-masukin apa yang dia suka saja di setiap lagu, sampai akhirnya begitu lagunya ini sudah jadi, si Ayi dengerin lagi. Ternyata ini di luar dugaan dia, enggak nyangka lagunya bisa sekaya ini.
Proses kreatif yang demikian itu untuk semua lagu di album ini?
Dochi dan Sansan:
Iya, semua lagu. Tapi ada beberapa yang memang sudah pernah kita rekam sebelumnya. Cuma begitu kita masuk studio lagi jadi ada part-part yang tadinya enggak ada jadi ada.
Di album ini kalian menggandeng major label. Apa pertimbangannya?
Dochi:
Pertimbangannya kita butuh katalis lagi sih, biar bisa muncul lagi. Kita kan terakhir rilis kan 2010, terus kita enggak ingin bikin rilisan yang ya akhirnya cuma jadi gitu saja, kesebar dimana-mana cuma enggak ada yang promo, enggak ada yang manage dengan baik.
Akhirnya kita ketemuan sama Universal, karena sebelumnya setiap kita ikut festival di luar pasti kita ngobrol-ngobrol sama orang label juga ternyata orang Universal. Akhirnya kenalan sama orang Universal Indonesia, ngobrol, ditraktir makan, senang, terus ya sudah akhirnya karena cocok, akhirnya kita putuskan untuk menggaet Universal.
Salah satu lagu dalam album ini yang paling sering dipromosikan di media sosial adalah Kertas dan Pena. Kenapa?
Ayi dan Sansan:
Itu lagu terakhir yang kita rekam, pas sudah tiga setengah tahun baru dapat lagu itu. Musiknya si Ayi, liriknya Dochi yang bikin. Terus pas kita ketemu label, bikin jadi band single. Kita suka lagunya. Itu juga lagu yang belum pernah dirilis, belum pernah kita bawain manggung dimana-mana, belum pernah bocor, belum pernah ada yang dengar, benar-benar fresh.
Isi lagunya tentang apa?
Dochi:
Lagu Kertas dan Pena itu sebenarnya penulisan liriknya setelah kita detik-detik lagi mau sign sama Universal. Dari situ jadi kebayang, kan itu kontrak kan, berarti kan ngomongin ada kertas ada pena. Itu kalau mau kita mulai kita tanda tangan, kita ngakhirinnya juga tanda tangan.
Jadi itu semua tergantung tanda tangan kita gitu. Jadi kayak dalam hidup tuh semua keputusan kita yang nentuin. Mau dimulai mau diakhiri itu kita yang nentuin.
Apa rencana kalian ke depan?
Dochi:
Festival sih iya, sedang, lagi nyari – nyari festival, lagi nyiapin untuk tur sama promo – promo masih tetap jalan.
Dalam waktu dekat ini mau ada rencana tur kemana?
Dochi:
Kalau dalam waktu dekat belum ada, masih pitching semua. Kayaknya sih bakal nanti pas habis Lebaran.
Laporan: Pranamya Dewati
(ren)