Krisis Hubungan NATO dan Rusia

Ilustrasi Konflik NATO dengan Rusia.
Sumber :
  • www.activistpost.com

VIVA.co.id – NATO akan mengerahkan empat batalion multinasional ke negara-negara Baltik dan Polandia, dengan jumlah sekitar 4.000 tentara. NATO berargumen, pengerahan tentara multinasional dilakukan untuk meningkatkan pertahanan mereka di wilayah tersebut.

Dalam sebuah konferensi pers di Brussels, Belgia, Senin, 13 Juni 2016, Sekjen NATO, Jens Stoltenberg, mengatakan, aliansi menteri pertahanan telah menyetujui langkah tersebut. Saat konferensi pers itu, Stoltenberg, mengatakan, "NATO telah mengambil tindakan kuat untuk melindungi bangsa, dan untuk berkontribusi pada stabilitas di lingkungan kami”.

Namun, dia menambahkan, tantangan yang mereka hadapi  adalah abadi. “Jadi, kami harus siap untuk bantuan jarak jauh. Kami sepakat untuk meningkatkan kehadiran di bagian timur dari aliansi,” ujar Stoltenberg  seperti dikutip dari Independent, Senin, 13 Juni 2016..

“Kami sekarang membahas ukuran, ruang lingkup, dan komposisi kekuatan yang lebih maju. Berdasarkan saran dari perencana militer, kami setuju untuk menyebarkan rotasi empat batalion multinasional yang kuat di negara-negara Baltik dan Polandia. Ini akan mengirimkan sinyal yang jelas bahwa NATO siap untuk membela sekutu apa pun," katanya.

Pengumuman ini disampaikan di saat hubungan antara Rusia dan NATO serta AS memasuki fase terburuk setelah Perang Dingin. Aneksasi Rusia ke Krimea pada Maret 2014 serta campur tangan negeri Tirai Besi itu pada konflik Ukraina membuat NATO dan AS marah. 

AS bahkan menjatuhkan sanksi pada Rusia. Namun, Rusia berdalih tidak ada yang salah dalam tindakan mereka. Rusia mengatakan, ia masuk ke Krimea dan Ukraina karena ada permintaan dari dua negara tersebut.

Meskipun Sekjen  NATO tidak mengacu ke Rusia secara langsung, motivasi di balik peningkatan pertahanan di wilayah itu jelas. Baltik telah lama menjadi bidang perhatian untuk aliansi.

Beberapa jenderal dan analis militer terus memperingatkan bahwa pasukan Rusia bisa menyerang wilayah tersebut kapan saja. Bahkan, ibu kota Baltik seperti Riga dan Tallinn bisa diserang dalam waktu 36 jam. 

Menurut Independent, tiga negara Balkan yaitu Estonia, Latvia, dan Lithuania sangat bersemangat menyambut kehadiran NATO di wilayah mereka. Begitu pula dengan Polandia. Tindakan Rusia yang mencaplok Krimea dan terlibat dalam konflik Ukraina membuat mereka khawatir.

"Dalam periode ketegangan, serangan terhadap negara-negara Baltik sepenuhnya masuk akal," ujar Stoltenberg.

Ia menjelaskan, empat batalion tersebut akan mewakili pergeseran yang jauh lebih besar dalam posisi NATO. “Pembentukan batalion ini juga menanggapi tantangan yang kami hadapi,” tuturnya.

Bulan lalu, Jenderal Sir Richard Dhireff, yang pernah menjabat sebagai wakil panglima tertinggi Sekutu-NATO di Eropa antara 2011 dan 2014, memperingatkan kemungkinan terbukanya perang nuklir dengan Rusia. Dia mengatakan, aliansi harus meningkatkan kemampuannya di Baltik atau menumbuhkan risiko potensi bencana.

"Fakta mengerikan adalah bahwa karena Rusia terus berpikir soal nuklir dan bagaimana meningkatkan kemampuan untuk setiap aspek kemampuan pertahanan mereka, ini akan menjadi perang nuklir,” ujar Dhireff.

“Kita perlu menilai Presiden Putin melalui perbuatannya, bukan kata-katanya. Dia telah menginvasi Georgia, ia telah menyerang Krimea, ia telah menyerang Ukraina. Dia telah menggunakan kekuatan dan melarikan diri dengan itu,” katanya.

Ancam Perdamaian Eropa Tengah

Diberitakan oleh Independent, 13 Juni 2016, Rusia melihat rencana pencegahan NATO sebagai sikap bermusuhan dengan mereka. Utusan Moskow untuk aliansi  memperingatkan, keputusan NATO untuk menambah batalion di Baltik dan Polandia bisa mengancam perdamaian di Eropa Tengah.

Kremlin juga mengatakan, perisai rudal balistik AS yang diarahkan Washington untuk melindungi aliansi dari Iran, juga bagian dari kondisi yang bisa meningkatkan ketegangan.

Sejak awal 2016, Rusia sudah mencium gelagat NATO yang akan menambah pasukan di sekitar Baltik. Menanggapi meningkatnya pengamanan NATO tersebut, sejak 12 Januari lalu, Rusia memutuskan untuk membentuk tiga divisi militer baru, dengan masing-masing divisi memiliki kekuatan hingga 10.000 tentara.

Tentara tersebut akan ditempatkan di perbatasan Eropa. Rusia juga akan mengerahkan lima resimen rudal nuklir strategis pada tugas tempur.

Pembentukan tiga divisi militer baru itu disampaikan langsung oleh Menteri Pertahanan Sergei Shoigu. Diberitakan oleh Business Insider, 14 Juni 2016,

Menhan Rusia itu juga mengatakan akan meningkatkan infrastruktur pendukung kekuatan nuklir Rusia, seperti fasilitas pada basis kapal selam rudal strategis dan pembom jarak jauh. Dia menambahkan, setiap fasilitas militer tersebut akan menjalani pemeriksaan serius selama 2016.

Keyakinan Rusia diperkuat saat Stoltenberg memberikan pidato di Universitas Warsawa pada 31 Mei 2016. Di hadapan mahasiswa Polandia itu, Stoltenberg yang berpidato sebagai bagian dari roadshow menjelang NATO Summit, 8-9 Juli 2016, juga sempat menyinggung soal Rusia.

Stoltenberg menjelaskan, pertemuan puncak NATO yang akan diadakan pada Juli mendatang adalah saat yang kritis bagi aliansi tersebut.

"Di sebelah timur, kami melihat aneksasi ilegal Rusia pada Krimea, tindakannya yang terus melawan Ukraina dan secara signifikan terus membangun kekuatan militernya, membentang dari Laut Barents, Baltik, dan Laut Hitam, serta Mediterania Timur," kata Stoltenberg.

"Untuk melaksanakan misi NATO di dunia yang lebih berbahaya ini, kami perlu memperkuat pertahanan kolektif, dan untuk memproyeksikan stabilitas di luar perbatasan sendiri," kata dia.

Namun, Stoltenberg menegaskan, mereka tidak akan melakukan konfrontasi dengan Rusia. NATO tidak ingin Perang Dingin baru.

NATO tidak ingin perlombaan senjata baru. Rusia adalah tetangga terbesar, anggota Dewan Keamanan PBB, dan masih dapat memainkan peran konstruktif dalam urusan dunia.

“Kami melihat ini dengan perundingan nuklir Iran dan penghancuran senjata kimia di Suriah. Tujuan kami adalah lebih positif dan hubungan yang lebih kooperatif dengan Rusia. Paling tidak, kami harus bekerja ke arah hubungan yang lebih dapat diprediksi,” ujarnya.

NATO menyatakan, sedang menghormati perjanjian 1997 dengan Moskow untuk tidak mengerahkan pasukan tempur yang cukup besar di perbatasan Rusia.

 "Anda tidak mungkin menyerang hanya dengan beberapa batalion, bukan? Tapi, Anda bisa menghalangi, dan dapat memengaruhi kalkulus calon penyerang dalam hal biaya, manfaat, serta risiko," ujar utusan AS untuk NATO, Douglas Lute seperti dikutip dari Reuters, 15 Juni 2016.

Kenekatan Rusia yang terus ikut campur dalam masalah Ukraina, keterlibatan Rusia dalam Perang Suriah, membuat NATO dan AS gerah. Dan penyataan NATO yang bersayap masih membuka kemungkinan bagi Rusia untuk waspada.

Pertemuan puncak NATO pada Juli mendatang bisa jadi akan menjadi momentum baru untuk menentukan bagaimana arah hubungan NATO-Rusia.