Akhir Eksperimen Siswa Indonesia di Antariksa
- Kemenpora
VIVA.co.id – Eksperimen siswa Indonesia di Stasiun Antariksa Internasional (ISS) sudah kembali ke Bumi. Setelah hampir dua bulan, eksperimen padi dan ragi siswa Indonesia mendarat di Samudera Pasifik, 420 kilometer barat Long Beach, Baja California, Amerika Serikat, 11 Mei 2016 waktu setempat, dengan menumpang kargo antariksa, Dragon milik SpaceX.
Sebelumnya, eksperimen dua tim siswa Indonesia itu meluncur dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat pada 22 Maret 2016, dengan menumpang kargo Cygnus ATK pada roket Altas 5. Tiga hari kemudian yaitu pada Sabtu petang, 26 Maret 2016.
Dua tim yang dimaksud yaitu tim siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) Unggul Del di Laguboti, Sumatera Utara atau tim Ragi. Mereka akan mempelajari pertumbuhan ragi di luar angkasa. Penelitian ini akan berujung pada bagaimana mengembangkan tempe di luar angkasa.
Kemudian, eksperimen kedua dilakukan tim Padi, yang akan mempelajari pertumbuhan padi di luar angkasa. Tim Padi terdiri atas tim siswa gabungan beberapa SMA di Jakarta, Bandung (Jawa Barat), dan Jayapura (Papua).
Selama eksperimen berada di ISS, tim Padi dan tim Ragi siswa Indonesia sejak awal diskemakan bisa memantau perkembangan riset melalui foto kamera pada microlab mereka.
Kini, kedua tim siswa itu masih menanti pengiriman microlab eksperimen mereka yang sudah sampai di Amerika Serikat. Begitu microlab sampai di Tanah Air, kedua tim akan melangsungkan analisis karya mereka setelah berada di ISS tersebut. Diperkirakan, jika microlab sudah sampai, hasil eksperimen bisa didapatkan kurang lebih dua pekan.
Peneliti Indonesia Space Research Group, Joko W Saputro, yang merupakan inisiator eksperimen siswa di antariksa itu mengatakan, saat ini tim sedang menyiapkan analisis data dan foto yang didapatkan selama eksperimen berada di ISS.
"Mereka menganalisis data dan foto yang direkam di ISS," kata pria yang akrab disapa Prof Sap tersebut kepada VIVA.co.id, Kamis 2 Juni 2016.
Namun demikian, ternyata hanya tim Padi yang sudah menyiapkan analisis data dari ISS tersebut.
Dihubungi terpisah, pembimbing Tim Padi, Bennett Jonathan Krisno, membenarkan tim siswanya sedang menyiapkan analisis. Dia mengaku tim butuh waktu untuk menjalankan analisis tersebut.
"Sampai saat ini riset kami yang dari luar angkasa sudah dibalikkan ke Bumi. Dan kami baru saja akan memulai analisis riset karena membutuhkan waktu untuk mengumpulkan data-data dari eksperimen," ujar Bennett.
Sementara itu, tim ragi, mengaku belum bisa melakukan analisis. Sebab, mereka membutuhkan banyak data dan foto dari eksperimen mereka, berbeda dari tim Padi.
Pendamping tim Ragi, Mirtanina Sisyeline Bawekes kepada VIVA.co.id mengatakan, timnya sejauh ini hanya mendapatkan satu foto saja dari ISS. Data tersebut, menurut dia, masih sangat jauh dari cukup untuk menjadi bekal analisis atau menghasilkan hipotesa eksperimen ragi di antariksa.
"Dengan data foto itu, kami belum bisa ambil kesimpulan apa pun, karena belum bisa lakukan analisis. Kami pun belum mendapatkan microlab yang sampai saat ini belum ada kabar," kata Eli, sapaan akrab Sisyeline.
Kondisi timnya, kata Eli, berbeda dengan tim Padi yang sudah bisa lakukan analisis. Sebab, pengamatan tim Padi bisa dilihat secara langsung pertumbuhan padinya. Sementara itu, pengamatan ragi bagi tim yang dibimbing Eli, tidak semudah pengamatan tim Padi.
"Kalau mereka kan bisa lihat. Kalau kami tidak tampak (pertumbuhan raginya). Selain itu, harus dianalisis di laboratorium," kata dia.
Eli menuturkan, untuk tahapan pengujian analisis eksperimen ragi tersebut, memang kuncinya ada pada kehadiran microlab.
Dia mengatakan, begitu microlab datang di tangan mereka, maka akan langsung diuji di laboratorium untuk melihat sejauh mana hasil fermentasinya. Apakah ada alkohol yang dihasilkan atau tidak, ataukah ada sinyal lainnya yang muncul.
"Jadi, ada tidak sinyal yang dihasilkan dari situ," tuturnya.
Selanjutnya, hasil uji laboratorium itu kemudian dituangkan dalam laporan akhir penelitian dan diserahkan ke panitia penyelenggara eksperimen yang ada di Amerika Serikat. Kedua tim dijadwalkan akan mempresentasikan laporan mereka dalam forum peneliti dan riset di Negeri Paman San pada November 2016.
Terkait dengan pencapaian kedua tim tersebut, pemerintah tidak tinggal diam. Siswa yang terlibat dalam eksperimen itu tergolong siswa yang berprestasi dan untuk itu terbuka peluang untuk mendapatkan beasiswa pendidikan.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Muhammad Dimyati mengatakan, kesempatan untuk berkuliah di universitas ternama tentu saja terbuka. Apalagi, “status” mereka telah mengukir nama di dunia internasional.
"Kita harus menghargai anak-anak yang berprestasi luar biasa. Pemerintah menyediakan skema-skema tersebut, di beberapa perguruan tinggi memberikan penghargaan dengan menerima anak-anak berprestasi di berbagai bidang," ujar Dimyati kepada VIVA.co.id, Sabtu, 14 Mei 2016.
Caranya, dikatakan Dimyati, adalah dengan melampirkan bukti-bukti prestasi internasional yang dimiliki. Bahkan, anak yang berprestasi juga akan diberi beasiswa oleh perguruan tinggi yang bersangkutan. Bentuk beasiswa itu ada dua yaitu beasiswa Bidik Misi dan beasiswa prestasi.
Dimyati mengatakan, perguruan tinggi terkenal di Indonesia akan sangat terbuka menerima siswa tersebut, dengan mempertimbangkan pencapaian dan prestasi mereka.
Selain skema beasiswa, Kemenristekdikti juga punya skema dukungan pendanaan untuk melanjutkan penelitian mereka ke tahap yang lebih baik. Namun, kata Dimyati, dukungan dana itu diberikan ketika siswa tersebut sudah masuk mahasiswa.
"Penelitian untuk mahasiswa itu bisa. Kita intinya banyak skema untuk membantu. Prinsipnya kita siap bantu anak-anak yang punya prestasi," ujarnya.
Sambutan tangan terbuka juga disampaikan Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora).
"Pemerintah sangat mengapresiasi dan memberikan support kepada JW Saputro serta para siswa SMA yang mengirimkan hasil penelitian ilmiahnya melalui NASA. Kalian semua hebat. Indonesia kembali mencoretkan tinta emas di tingkat internasional dan itu sangat membanggakan," tutur Deputi Pemberdayaan Pemuda Kemenpora, Chandra Wijaya, menyampaikan apresiasi dan penghargaannya di kantor Kemenpora, Senin, 18 April 2016.
Chandra menyatakan, Kemenpora akan membantu semaksimal mungkin untuk memenuhi apa yang dibutuhkan oleh para siswa.
"Kami siap untuk membantu apa pun yang kalian butuhkan sesuai dengan kemampuan kami. Semua itu adalah wujud dari apresiasi kami kepada kalian yang telah membuat bangga Bangsa Indonesia," ucap Chandra.
Saweran Rp500 Juta
Di balik pencapaian tersebut, terdapat perjuangan dari tim siswa dan peneliti untuk untuk membuat eksperimen ragi dan padi di Stasiun Antariksa Internasional.
Prof Sap mengatakan, untuk membiayai misi tim siswa Indonesia, total dibutuhkan dana kurang lebih Rp500 juta. Biaya tersebut termasuk biaya pembekalan pembimbing tim bolak balik dari Indonesia ke San Jose, Amerika Serikat, sebelum memandu siswa untuk membuat eksperimen mereka. Biaya Rp500 juta itu juga termasuk untuk pembelian komponen eksperimen.
Prof Sap yang juga menjabat sebagai direktur eksekutif Dana Ilmu Pengetahuan Indonesia (DIPI) itu mengatakan, untuk pengiriman eksperimen siswa ke ISS, dia menjaring dukungan dana dari jaringan yang dimiliki.
"Biaya saweran untuk 'ongkos kirim' dari Bumi ke ISS. Sesudah nego jadinya sekitar Rp200 juta untuk satu perangkat eksperimen," tuturnya.
Prof Sap menegaskan, dari biaya saweran tersebut, semuanya dilakukan dan digalang dari dana dalam negeri. Dia memastikan tidak ada bantuan dana dari pihak luar.
"Tidak ada bantuan asing," katanya.
Terkait dengan dana untuk peluncuran dan eksperimen itu, Dimyati mengakui memang Kemenristekdikti pada tahap itu tidak mendukung dana sepeser pun. Alasannya, pertama, riset tersebut dilakukan para siswa yang bukan menjadi ranah kementeriannya.
"Kalau itu lebih tepatnya di Kemendikbud. Kami ini kategori pendidikan tinggi dan masyarakat umum ya," kata dia.
Alasan selanjutnya, menurut Dimyati, eksperimen siswa itu bisa terbang ke antariksa karena memenangi sebuah perlombaan dan penawaran. Karena menang dalam sebuah kompetisi, maka penyelenggara sudah mendukung penuh semua akomodasi eksperimen itu.
"Itu kan dari open bidding ya, Jadi, kami enggak share (dana) apa-apa. Mereka kan ikut lomba dan menang, karena memang semuanya sudah include (akomodasi dan biaya)" kata dia.
Namun demikian, Dimyati mengatakan sah-sah saja, mentor dan pembimbing tim siswa itu mencari dukungan dana di dalam negeri. "Bahwa ada bantuan yang bersifat pribadi untuk itu memang ada," katanya.