Perlawanan 'Lunak' La Nyalla

La Nyalla Mattalitti.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

VIVA.co.id – Setelah ditangkap di Singapura pada Selasa, 31 Mei 2016, tersangka kasus dana hibah dan Kamar Dagang (Kadin) Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti, langsung menjalani pemeriksaan penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur di Gedung Kejaksaan Agung.

Namun, pada pemeriksaan awal ini, La Nyalla menolak menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) di Kejaksaan Agung. Dia pun enggan menjawab pertanyaan penyidik seputar kasus korupsi yang menjeratnya.

"La Nyalla tetap tidak mau di-BAP. Dia hanya sempat diberikan tiga pertanyaan, yaitu nama dan kesehatan, itu saja," kata pengacara La Nyalla, Togar Manahan Nero di Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam.

Penolakan La Nyalla mengacu pada putusan praperadilan yang dia menangkan beberapa waktu lalu. Di mana sudah tiga kali praperadilan menyatakan status tersangka yang ditetapkan Kejati Jawa Timur terhadap La Nyalla tidak sah.

Selesai menjalani pemeriksaan awal itu, La Nyalla dititipkan ke Rumah Tahanan (Rutan) Salemba Jakarta. Sehari kemudian, penyidik Kejati Jawa Timur kembali memeriksa Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) itu.

Menurut salah satu kuasa hukumnya, La Nyalla diperiksa sekitar lima jam oleh jaksa, seputar kasus korupsi dana hibah Kadin Jawa Timur yang kini menjeratnya.

"Ada 19 pertanyaan pada intinya hanya kita jelaskan identitasnya," kata kuasa hukum La Nyalla, Aristo Pangaribuan, di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu 1 Juni 2016.

Pada pemeriksaan ini, La Nyalla menunjukan sikap berbeda. Dia bersedia menjawab pertanyaan dan mau menandatangani BAP yang disodorkan penyidik usai pemeriksaan. "Sudah, tapi kita hormati putusan praperadilan, tidak mau menjawab yang berkaitan dengan perkara," ujar dia.

Tak hanya melunak pada proses pemeriksaan. Terhadap penetapan tersangka untuk keempat kalinya, termasuk penangkapan dan penahanan yang dilakukan Kejati Jawa Timur, kubu La Nyalla enggan mengajukan permohonan praperadilan. 

Aristo mengaku pihaknya siap menghadapi proses hukum di pengadilan, agar kasus ini bisa diungkap secara terbuka. "Enggak (mengajukan praperadilan), kita mau ke pengadilan negeri langsung biar terbuka semua."

Menurut Aristo gugatan praperdilan akan menjadi sia-sia, jika pada akhirnya Kejati Jawa Timur kembali menetapkan kliennya menjadi tersangka. Seperti halnya pada tiga kali penetapan tersangka sebelumnya.

"Tapi kami ini berulang kali ya tontonan yang tidak sehat, sampai 1.000 kali sprindik (surat perintah penyidikan) mau dikeluarkan. Sudahlah, kita akan hadapi terus sampai ke pengadilan mudah-mudahan hasilnya baik," ujarnya.

Padahal sebelum pemeriksaan terhadap La Nyalla, ada rencana tim kuasa hukum untuk kembali mengajukan gugatan praperadilan terkait masalah penetapan tersangka dan penahanan.

***

Kejati Jawa Timur Pesimistis

Perubahan sikap dari kubu La Nyalla ini tentunya menjadi angin segar bagi Kejati Jawa Timur. Kepastian ini membuat mereka tidak lagi stagnan pada permasalahan sah tidaknya penetapan tersangka, dan membawa kasus ini ke pengadilan.

Padahal sebelumnya, Kepala Kejati Jawa Timur Maruli Hutagalung sudah bersikap pesimistis, kasus ini bisa dibawa sampai pengadilan jika yang bersangkutan kembali mengajukan permohonan praperadilan. Alasannya, La Nyalla masih punya hubungan darah dengan Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali.

“Kalau (mengajukan) praperadilan kami tidak jamin (Kejati Jatim menang). Kan, semua masyarakat tahu bahwa La Nyalla punya paman Ketua MA,” kata Maruli dalam perbincangan dengan tvOne pada Rabu pagi, 1 Juni 2016.

Namun Maruli mengklarifikasi, pernyataan itu bukan bermaksud menuduh La Nyalla disokong para hakim karena ketua MA kebetulan menjadi pamannya. Pernyataan itu dilontarkan karena dia merasa ada banyak keganjilan selama tiga kali proses sidang praperadilan yang diajukan La Nyalla di Pengadilan Negeri Surabaya.

Keganjilan itu, kata Maruli, terlihat dari sikap hakim yang menolak kehadiran saksi dan fakta yang diajukan Kejati Jawa Timur di persidangan. “Kami menghadirkan saksi (dan) fakta tetapi hakim keberatan. Harusnya hakim menerima saja,” ujarnya.

Padahal berdasarkan pengalamannya mengikuti sidang praperadilan, hakim selalu menerima saksi dan fakta yang dihadirkan para pihak. Walaupun pada putusan akhirnya, mereka bisa menolak atau mengabulkan permohonan, tetapi hakim menjalankan prosedur dengan menerima saksi dan fakta yang dihadirkan.

“Tapi di Pengadilan Negeri Surabaya tidak begitu, hakim langsung menolak saksi dan fakta yang diajukan Kejati Jatim,” ujar Maruli berargumentasi.

Menanggapi ini, kuasa hukum La Nyalla, Aristo Pangaribuan, menilai pernyataan Maruli mengada-ada. Dia mengingatkan bahwa pernyataan seputar hubungan kekeluargaan antara La Nyalla dengan Hatta Ali tidak berdasar.

“Tidak objektif, apalagi disampaikan pejabat penegak hukum, seperti Kepala Kejati Jatim,” kata Aristo.

Sementara Hatta Ali, menanggapi tudingan ini dengan santai. "Dia (La Nyalla) memang keponakan saya secara langsung, tapi sebagai Ketua Mahkamah Agung saya tidak boleh mengintervensi masalah hukumnya," kata Hatta saat meresmikan masjid kampus Unair Surabaya, pada Jumat, 27 Mei 2016.

Hatta pun menyayangkan pernyataan Maruli yang dinilai tendesius karena mengait-kaitkannya dengan putusan praperadilan La Nyalla. Dia pun merasa jadi ‘kambing hitam’ di masalah ini. "Saya tidak ada pikiran mencampuri urusan masalah hukum," tegas Hatta.

***

Polemik Tersangka dan Gugatan Praperadilan

Proses penetapan tersangka dan terpenuhinya gugatan praperadilan yang silih berganti memang menuai polemik. Tindakan ini dinilai tidak memberikan kepastian hukum pada masyarakat, terutama buat para pihak yang terlibat.

"Saya juga heran, sistem hukum kita sekarang mengarah ke mana? Ini menjadi alat kekuasaan, saya rasa sudah tidak benar. Ini sudah menginjak prinsip keadilan dan kemanusiaan. Tidak ada lagi hukum yang ditegakkan, ini suatu preseden yang sangat buruk di Indonesia," kata Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu 1 Juni 2016.

Tindakan ini akan menjadi cermin bagi masyarakat, sehingga mereka bisa menggunakan sikap Kejati Jawat Timur itu sebagai landasan untuk tidak menghormati putusan hukum. Pekan lalu, Fadli pun menyebut peristiwa ini sebagai pertunjukan jenaka.

"Siapa yang mau menghormati pengadilan kalau Kejaksaan sendiri tidak menghormati. Tiga kali keluarkan sprindik, ini kan dagelan," kata Fadli Zon di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 24 Mei 2016.

Sedangkan bagi Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J. Mahesa, rangkaian penetapan tersangka dan gugatan praperadilan ini lebih bermuatan motif politik daripada penegakan hukum. 

"Saya tidak melihat proses ini sebagai proses hukum. Sangat memalukan bagi seorang Jaksa Agung (maksudnya jaksa) kalah melulu dengan argumentasi La Nyalla," kata Desmond di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 31 Mei 2016.

Menanggapi polemik itu, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mencoba memberikan solusi. Buat Nasir, rangkaian peristiwa itu menunjukkan keteguhan sikap para pihak yang terlibat.
 
"Artinya aparat penegak hukum juga punya keyakinan yang kuat, dalam hal ini jaksa bahwa Nyalla itu terlibat atau terindikasi dalam penyalahgunaan dana bantuan Pemprov Jatim. Sementara hakim lewat praperadilan itu membatalkan prosedurnya," kata Nasir si Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu 1 Juni 2016.

Dia menyarankan agar pemerintah memanfaatkan forum Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kejaksaan Agung dan Kepolisian (Mahkumjakpol), untuk mengatasi kebingungan dalam kasus ini.

"Nah agar tidak terjadi kebingungan publik dan kesemrawutan penegakan hukum, dan agar tidak ada semacam isu politisasi dalam kasus Nyalla ini, maka saya pikir Mahkumjakpol itu harus membicarakan soal ini," ujar Nasir.

***

Tak Ada Landasan Hukum

Persoalan penetapan tersangka setelah praperadilan menyatakannya tidak sah memang lazim terjadi. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menerapkan itu pada mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin.

Dalam kasus dugaan korupsi dalam instalasi pengolahan air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar, Ilham pernah mengajukan permohonan praperadilan, dan dikabulkan pengadilan. Setelah itu, KPK langsung menerbitkan sprindik baru untuk menjadikan Ilham tersangka pada kasus yang sama.

Terhadap ini, Ilham kembali mengajukan gugatan praperadilan, tapi kali ini, hakim menolaknya.

Tindakan ini memang bisa dilakukan dan bisa berlangsung terus menerus tanpa ada akhir pasti. Meski memang kasus La Nyalla menjadi pionir.

"Kalau seperti sekarang berulang kali, ini suatu sejarah dalam penegakan hukum kita, tidak akan ada akhirnya," ujar Juru Bicara MA, Suhadi dalam perbincangan dengan tvOne, Rabu, 1 Juni 2016.

Menurutnya sikap ini bisa terjadi karena tidak ada aturan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Kuhap) mengenai ambang batas penetapan tersangka terjadap seseorang, maupun berapa kali pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan praperadilan.

"Ini yang pertamakali terjadi di Indonesia. Dan di dalam undang-undang tidak ada yang secara tegas mengatur berapa kali konkritnya sprindik itu. Hanya mengatur bahwa praperadilan bisa dilakukan di penyidikan dan penuntutan. Jika perkara popkok maju ke pengadilan maka praperadilan jadi gugur," jelas Suhadi.

Untuk diketahui, Penyidik Pidana Khusus Kejati Jawa Timur telah menetapkan La Nyalla menjadi tersangka kasus korupsi dana hibah Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur, senilai Rp5,3 miliar  pada 2012, dan pencucian uang senilai Rp1,3 miliar dana hibah di institusi itu pada 2011.

Ini menjadi keempat kalinya PSSI itu ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus yang sama, setelah tiga kali penetapan sebelumnya dinyatakan tidak sah dalam praperadilan.

Selang sehari setelah ditetapkan menjadi tersangka untuk keempat kalinya itu, La Nyalla ditangkap di Singapura, dan langsung dibawa kembali ke Indonesia menggunakan maskapai Garuda Indonesia dengan kode GA 835. Alasannya, dia melanggar batas izin tinggal di negara itu.

"Saudara LN (La Nyalla Mattaliti) dalam posisi over stay di Singapura dan diserahkan kepada pejabat imigrasi di KBRI Singapura," ujar Kepala Humas Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Heru Santoso, Selasa, 31 Mei 2016.

La Nyalla memang sempat menjadi buronan Kejati Jawa Timur karena mangkir dari panggilan pemeriksaan sebanyak tiga kali, setelah ditetapkan menjadi tersangka untuk pertama kalinya pada 16 Maret 2016 lalu.