Kelompok Nelayan Menang atas Ahok, Reklamasi Bubar Jalan?
- Anwar Sadat - VIVA.co.id
VIVA.co.id – Sejumlah nelayan dan warga pesisir utara Jakarta bersorak gembira di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Selasa, 31 Mei 2016. Mereka meneriakkan yel-yel menolak reklamasi Teluk Jakarta. Sebagian lainnya melakukan sujud syukur di lokasi yang sama.
Aksi itu mereka lakukan sesaat setelah Majelis Hakim PTUN Jakarta mengabulkan gugatan mereka terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Mereka menggugat terbitnya Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Adalah Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) yang melayangkan gugatan tersebut pada 15 September 2015. Gugatan dilakukan lantaran mereka menilai reklamasi Teluk Jakarta berdampak buruk bagi pekerjaan nelayan dan dapat merusak lingkungan sekitar.
Menyusul langkah KNTI, enam organisasi yaitu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Jakarta, Solidaritas Perempuan, Kiara dan Walhi, mengajukan gugatan serupa.
"Majelis hakim memutuskan untuk mengabulkan gugatan penggugat nomor satu sampai lima," ujar Ketua Majelis Hakim Adhi Budi Sulistyo, di PTUN Jakarta, Selasa, 31 Mei 2016.
Adapun dua penggugat lainnya, yaitu Kiara dan Walhi dikeluarkan sebagai penggugat. Sebab, Kiara dinilai tidak mempunyai legal standing, sementara Walhi menggugat setelah 142 hari gugatan yang berarti gugatan telah kedaluwarsa.
Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan tergugat mencabut SK Gubernur DKI Nomor 2238 Tahun 2014 untuk anak perusahaan Agung Podomoro Land itu. Majelis hakim pun meminta proyek reklamasi ditunda.
Ada beberapa pertimbangan hakim mengabulkan gugatan perkara ini. Salah satunya yaitu apabila objek gugatan tetap berjalan atau proses reklamasi dilanjutkan, para nelayan akan mengalami kesulitan dalam melaut. Kerusakan sumber daya akibat konstruksi reklamasi yang sebelumnya berjalan juga bakal terjadi.
"Jika ini terus terjadi akan mengakibatkan kerugian dan masalah ekonomi kehidupan para penggugat, serta masyarakat yang bermata pencaharian nelayan," ujar hakim anggota Elizabeth Tobing.
Keputusan majelis hakim PTUN Jakarta itu tak menggugah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menghentikan proyek reklamasi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan menerbitkan ulang izin pelaksanaan untuk mereklamasi pulau di Teluk Jakarta. Namun, kali ini, izin akan diberikan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI.
Adanya gugatan itu justru dinilai memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk bisa mendapat keuntungan yang lebih banyak dari proyek reklamasi. Dengan dikerjakan perusahaan sendiri, manfaat yang didapat pemerintah tidak sekadar pelaksanaan kewajiban pengembang.
Keuntungan juga bukan hanya hak atas lima persen lahan di atas pulau, serta kontribusi tambahan yang nilainya direncanakan 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) lahan komersial pulau hasil reklamasi. "Kalau saya kerja sendiri (reklamasi dikerjakan BUMD), seratus kali lipat dong (keuntungan yang bisa didapat)," ujar Ahok, sapaan Basuki.
Surat keputusan gubernur yang digugat tersebut diteken oleh Ahok pada 23 Desember 2014. Dalam salinan surat keputusan itu, yang diterima VIVA.co.id, disebutkan izin pelaksanaan reklamasi dikeluarkan dengan sejumlah pertimbangan. Di antaranya PT Muara Wisesa Samudra telah mendapat persetujuan prinsip reklamasi berdasarkan surat gubernur tanggal 21 September 2012 Nomor 1291/-1.794.2 dan perpanjangan persetujuan prinsip reklamasi berdasarkan surat gubernur tanggal 10 Juni 2014 Nomor 547/-1.794.2.
Pemberian izin tersebut telah melalui proses hukum dan rapat pimpinan lebih dulu. "Tanpa paraf mereka (para pimpinan) saya enggak mungkin tanda tangan," ujar Ahok, Senin, 4 April 2016.
Rencana Ahok yang akan melimpahkan izin proyek reklamasi dari swasta ke BUMD dianggap sebagai pembangkangan hukum. "Jadi klaim gubernur seperti itu tidak paham putusan PTUN, kalau ada upaya (reklamasi) berarti itu pembangkangan," kata pengacara warga dari LBH Jakarta, Al-Ghifari Aqsa.
Anggapan Ahok yang menyebutkan jika Pemprov DKI diuntungkan dengan putusan itu lantaran persentase 15 persen dari swasta gugur, dinilai tidak tepat. Proyek reklamasi bukan tentang pengelolaan oleh siapa dan buat siapa.
Merujuk pada putusan hakim PTUN, reklamasi berdampak pada kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi nelayan. "Reklamasi tidak ada kepentingan hukum, tapi ada dampak sosbud (sosial budaya)," ujarnya.
Selanjutnya…Kisruh Reklamasi…
***
Kisruh Reklamasi
Reklamasi digarap berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Keppres di era pemerintahan Presiden ke 2 RI Soeharto itu, ditindaklanjuti Pemprov) DKI. Dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta, misalnya.
Proyek reklamasi tersebut mencakup 17 pulau dengan luas total 5.100 hektare. Ke-17 pulau tersebut dinamai sesuai alphabet dari A hingga Q. Sejumlah perusahaan dilibatkan dalam proyek itu. Di antaranya PT Kapuk Naga Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Muara Wisesa Samudra, PT. Pembangunan Jaya Ancol, PT Intiland, PT. Pelindo II.
Izin reklamasi telah dikeluarkan tak hanya untuk Pulau G, tapi juga pulau lain. Di antaranya izin untuk Pulau F dan Pulau I pada 22 Oktober 2015. Kemudian Pulau K, izinnya diberikan pada 17 November 2015.
Penerbitan izin reklamasi itu mendapat sorotan berbagai kalangan. Ketua DPW Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia M Taher, misalnya. Dia menilai gubernur DKI lebih condong pada pengusaha dibanding para nelayan tradisional yang telah hidup turun-temurun di Teluk Jakarta. Dengan adanya reklamasi di Pulau G saja, nelayan sudah sulit mendapatkan ikan. “Dangkal itu muara sungai di sana,” ujarnya.
Proyek reklamasi semakin membesut perhatian masyarakat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap anggota DPRD DKI Jakarta M Sanusi pada Kamis, 31 Maret 2016.
Sanusi diduga menerima suap dari Presiden Direktur Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Ariesman dan anak buahnya, Trinanda Prihantoro, diduga memberikan suap hingga Rp2 miliar kepada Sanusi. KPK lantas menetapkan Sanusi , Ariesman dan Trinanda sebagai kasus dugaan suap itu.
Suap diduga diberikan terkait pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Pertengahan April lalu, Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta sepakat untuk menghentikan sementara (moratorium) proyek reklamasi Teluk Jakarta. "Sampai semua persyaratan, undang-undang dan peraturan dipenuhi," ujar Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli di Jakarta, Senin, 18 April 2016.
Dalam pertemuan itu, para pihak terkait sepakat bahwa reklamasi di Teluk Jakarta sebenarnya bukan tindakan yang salah. Reklamasi merupakan salah satu pilihan proses pembangunan untuk wilayah DKI Jakarta. Namun, perlu penelaahan lebih mendalam terkait manfaat dan risiko yang akan terjadi.
Namun, baru sekitar sembilan hari moratorium diberlakukan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat keputusan baru. Dalam rapat kabinet terbatas mengenai proyek reklamasi, pada 27 April 2016, Presiden mengatakan pengendalian sumber daya air dan lingkungan di wilayah DKI Jakarta harus dilakukan secara terpadu, terintegrasi dari hulu sampai ke hilir.
Untuk itu, pembangunan pesisir ibu kota negara dalam proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), yang sudah digagas cukup lama, akan menjadi sebuah jawaban untuk Jakarta.
Proyek NCICD ini dinamakan proyek Pulau Garuda. Sebab, pulau ini akan dibentuk menyerupai burung Garuda. "Proyek ini berbeda dengan reklamasi di pulau-pulau yang disebut ABC sampai 17 pulau,” kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
Presiden, menurut Pramono, telah memberikan arahan sekaligus meminta Bappenas selama moratorium 6 bulan ini untuk menyelesaikan perencanaan besar, antara proyek Pulau Garuda atau NCICD dengan terintegrasinya reklamasi 17 pulau di Jakarta.
Namun, belajar dari beragam kontroversi terkait pembangunan 17 pulau itu, pemerintah pusat menginginkan pemerintah daerah terkait mengkaji kembali semua aturan tentang reklamasi.
(ren)