Membatasi Masa Jabatan Ketua Umum Parpol
- Antara/ Fanny Octavianus
VIVA.co.id - Masa jabatan ketua umum partai politik di Indonesia sejauh ini tidak diatur dalam suatu undang-undang. Oleh karena itu, tak ada batasan berapa kali seorang politikus boleh menduduki jabatan tersebut.
Ini membuat tokoh-tokoh tertentu terpilih secara berulang-ulang, dan dalam periode waktu yang lama. Bahkan misalnya saja Megawati Soekarnoputri, sejak 1993 atau 23 tahun lalu sudah menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia sampai kemudian partai itu berubah nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) hingga sekarang.
Dari penelusuran VIVA.co.id mengenai sejarah partai politik di Indonesia, sebenarnya tak hanya Megawati saja yang menjabat ketua umum dalam waktu yang cukup lama. Ada sejumlah tokoh lain yang juga menjadi pentolan partai, meski tak semua menjabat ketua umum, seperti ketua dewan pembina, atau setidaknya menjadi figur sentral, nyaris tak tergantikan.
Mereka antara lain, Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar pada masa Orde Baru, lalu juga ada Dipa Nusantara Aidit sebagai Ketua Central Committe Partai Komunis Indonesia, dari 1955-1965. Pada era reformasi, tercatat, Prabowo Subianto sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra sejak 2008 dan sejak 20 September 2014 juga merangkap Ketua Umum, kemudian Wiranto sebagai Ketua Umum Partai Hanura sejak 2006 hingga sekarang.
Dalam suatu kesempatan, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie, pun mengusulkan agar masa jabatan ketua umum partai politik (parpol) dibatasi hanya bisa menjabat untuk dua atau tiga periode kepengurusan saja. Namun, dia menegaskan bahwa usulan itu baru sebatas ide.
"Jadi di dalam Undang-undang perlu diatur. Misalnya saja, hanya boleh seperti Presiden yang hanya dua kali. Makanya misal ketua umum hanya dua atau tiga kali (menjabat). Kalau UU mengatur semua harus ikut," kata Jimly di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Mei 2016.
Menurut Jimly, sudah 18 tahun reformasi berjalan, karenanya perlu adanya evaluasi menyeluruh mengenai sistem kepartaian. Bukan hanya dari sisi jumlah parpol, tapi juga termasuk bagaimana struktur organisasi internal parpol.
"Sekarang misalnya, apakah ini baik kalau dibiarkan terus. Pimpinan partai lama-lama makin tua, menua, kalau dia tidak ganti-ganti bagaimana," ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Karena itu, kata Jimly, usulan tersebut perlu dibahas lebih lanjut. Alasannya, jika tidak hal itu bisa membuat kondisi suatu parpol tidak sehat.
"Karena dia (parpol) dipimpin oleh tokoh-tokoh yang itu saja. Sehingga boleh jadi kreatifitas internal itu tidak tumbuh. Lebih dari itu iklim demokratisasi di dalam itu tidak berkembang," ujarnya menambahkan.
Jimly menuturkan bahwa parpol merupakan salah satu pilar demokrasi untuk membangun bangsa dan negara. Karenanya, masalah periodesasi ketua umum parpol penting untuk dibahas.
"Padahal dia (parpol) diharapkan sebagai instrumen demokrasi dalam membangun negara. Tapi kalau di dalam saja tidak demokratis bagaimana. Itu satu masalah yang penting," kata dia.
Muncul usulan agar masa jabatan ketua umum partai politik (parpol) dibatasi hanya untuk dua atau tiga periode kepengurusan saja. Usulan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, itu dinilai untuk membuat kondisi suatu parpol menjadi sehat.
Usul tersebut segera didukung oleh Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Siti mengaku sependapat dengan Jimly.
"Bagus, itu persyaratan partai modern. Partai modern itu partai yang benar-benar profesional, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan persyaratan itu sebagai organisasi besar harus menjadi partai kader," ujar Siti di tempat yang sama.
Siti berpendapat, kaderisasi itu harus berjalan sedemikian rupa. Misalnya, melalui promosi-promosi kader yang tidak hanya di internal, tapi juga eksternal, seperti pejabat publik dan lainnya.
"Makanya di internal sendiri, parpol itu harus menjadi semacam showroom yang mampu mendemonstrasikan bahwa ini adalah rumah demokrasi," kata Siti.
Siti mengungkapkan bahwa di negara berkembang seperti Indonesia seorang ketua umum itu biasanya diasoasikan sebagai manajer sekaligus pemersatu partai. Karena itu, jika seorang ketua umum terlalu lama menjabat, Siti menilai tak bagus juga.
"Kalaupun cuma dua kali, tidak terus menerus begitu (bagus). Kalau untuk sosok yang bisa mempersatukan tadi jadikan saja ketua dewan pembina atau ketua dewan pertimbangan. Orang Indonesia itu butuh sosok pemerhati. Tidak ada masalah menurut saya," terang Siti.
Untuk itu, kaderisasi parpol menurut Siti tak boleh berhenti, agar partai bisa move on dengan dipimpin oleh anak-anak muda. Apalagi kata dia, sudah menjadi hukum alam bahwa organisasi itu harus ada regenerasi.
"Hukum alam ya sudah berikan kesempatan itu seluas-luasnya. Makanya kaderiasi itu jangan mampet, mampet itu yang bikin partai tidak move on, stuck begitu. Kita harapkan partai itu move on. Dia bisa mengalir begitu dengan darah orang-orang muda, terus diberikan kesempatan dan lain sebagainya," ujar Siti.
Siti juga tidak sependapat, usulan pembatasan ketua umum tersebut disebut sebagai bentuk intervensi pemerintah. Alasannya, jika menilik Nawacita pemerintah hal itu dirasa Siti justru sejalan.
"Tidak (intervensi) Jokowi-JK salah satu program di Nawacita-nya adalah membangun demokrasi. Nah membangun demokrasi adalah tentu membangun pilarnya juga, yakni parpol. Kalau kita ada pembiaran, suka-suka partai, tidak terjadi regenerasi. Lah ini yang tidak bagus, mampet, kita sendiri yang merugi," tegas Siti.
Peneliti senior LIPI lainnya, Syamsuddin Haris, tak sependapat. Dia menilai jabatan pimpinan partai tidak bisa dibatasi oleh regulasi negara.
"Itu bisa dinilai sebagai campur tangan negara," kata Syamsuddin kepada VIVA.co.id, Senin, 30 Mei 2016.
Menurut Syamsuddin, kedaulatan partai ada di tangan anggota. Sehingga negara tidak bisa membatasi melalui regulasi.
"Yang bisa dibatasi adalah masa jabatan di dalam negara dan atau pemerintahan," ujarnya.
Meski demikian, dia tak menolak jika keterpilihan seorang tokoh dalam suatu partai politik secara berulang-ulang dan dalam waktu yang lama akan menghambat proses renegerasi. Namun, dia tetap berpegang bahwa itu bukan berarti negara boleh melakukan campur tangan.
"Ya memang benar hambat regenerasi tapi negara tidak bisa intervensi. Di mana pun di dunia pada umumnya masa jabatan pimpinan partai diatur oleh kontitusi partai, bukan regulasi negara," tutur dia.
***
Reaksi Parpol
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Junimart Girsang menyatakan sikap tegasnya. Junimart menolak ide pembatasan tersebut karena kondisi suatu partai adalah urusan internal kader-kadernya.
"Saya kira beginilah, masalah partai itu kan masalah internal. Kedua, tidak ada dalam Undang Undang Parpol. Ketiga, apa alasannya? Aspek sosiologis dan politisnya?" kata Junimart di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis, 26 Mei 2016.
Junimart menuturkan, pendapat jabatan ketua umum harus dibatasi sangat tidak tepat. Alasannya, karena setiap partai memiliki filosofi dan figurnya masing-masing.
"Bisa dibayangkan seorang ketua umum partai bukan seorang figur, tidak ada pemersatu," ujar Junimart.
Meski begitu, ia menilai memang tidak elok jika seorang ketua umum menjabat seumur hidup. Namun, jika dalam suatu waktu ketua umum itu diminta menjabat lagi, maka tidak masalah.
"Tapi kan, kalau dalam setiap periodisasi diminta dipilih kembali kan tidak masalah," kata Junimart.
Senada dengan Junimart, politikus Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, juga tidak sepakat dengan usulan pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik. Ruhut menilai kondisi suatu parpol hanya dimengerti oleh internal parpol itu sendiri.
"Kalau orang luar nggak usah banyak ngomong. Kalau kami (menilai) SBY masih bagus, kami pilih SBY terus. Kenapa harus diatur orang luar," kata Ruhut kepada VIVA.co.id, Kamis, 26 Mei 2016.
Mengenai argumentasi untuk regenerasi, Ruhut mengatakan dunia politik sangat luwes. Politik dinilainya tidak bisa diatur dengan aturan yang kaku.
"Bicara politik tidak bisa gitu, politik itu sangat luwes. Kan aku sering bilang, dalam politik itu, 2 x 2 tidak harus 4 bisa 7, 8, 9. Kok dibikin kayak ilmu eksak oleh profesor doktor yang dia tidak ikut di dalamnya. Karena itu ikut di parpol, baru rasain," ujar Ruhut.
Menurut Ruhut, jika suatu partai masih perlu mengandalkan tokoh lamanya menjadi ketua umum, maka itu adalah untuk membuat partai menjadi solid.
"Kalau perlu partai mengandalkan, dan faktanya manakala kepala sukunya tidak ada, partai itu kan babak belur," kata Ruhut.
Begitu pula dengan politikus Partai Hanura Dadang Rusdiana. Ia menilai usulan itu sebagai ide yang aneh. Apalagi jika pembatasan kemudian diatur dalam undang-undang.
"Masa jabatan ketua umum partai itu harus diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai," kata Dadang kepada VIVA.co.id, Senin, 30 Mei 2016.
Menurut Sekretaris Fraksi Hanura ini, kedaulatan organisasi parpol itu ada di anggota parpol. Kedaulatan itu dilembagakan dalam bentuk musyawarah atau kongres.
"Jadi yang mengatur siapa ketua yang harus dipilih dan dalam berapa masa jabatan tentunya anggota partai yang berhak menentukan, dan itu diputuskan dalam Munas atau Kongres," ujar Dadang.
Karena itulah anggota Komisi X DPR ini menilai akan berlebihan jika urusan internal parpol kemudian diatur oleh aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
"Ya jelas itu urusan internal, negara tidak bisa mengatur itu," kata dia.
Namun, berbeda dengan tiga koleganya itu. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Abdul Fikri Faqih, menilai usulan itu secara positif.
"Intinya saya setuju bila ada pembatasan masa jabatan ketua parpol sebab regenerasi adalah sebuah kebutuhan untuk sehatnya organisasi apapun baik politik maupun sosial, pemerintah maupun swasta, bisnis ataupun non-profit," kata Fikri, Senin, 30 Mei 2016.
Selain itu, dia menilai adanya sisi positif lain dengan pembatasan jabatan. Regenerasi kepengurusan di partai akan menjadi lebih tertib. Sementara calon ketua umum tak bakal sulit dipilih jika parpol memang sudah melakukan kaderisasi dengan baik.
"Ada slogan positif dalam hal ini, pemimpin yang sukses adalah yang bisa mencetak generasi penerus yang lebih baik," ujarnya menambahkan.
Menurutnya, konsolidasi demokrasi akan lebih efektif mencetak pemimpin yang sesuai zamannya jika dijalankan dengan aturan yang cocok, seperti pembatasan masa jabatan tersebut.
"Ibarat kotak tisu bila diambil tisu yang satu maka langsung muncul lembaran tisu berikutnya yang siap memberi manfaat buat siapa saja," kata Wakil Ketua Komisi X DPR ini.
Ketua Umum PPP, Muhammad Romahurmuziy, atau sering disapa, Romy, juga merespons wacana itu secara positif. Bahkan, ia menegaskan bahwa PPP sudah lama menerapkannya.
"PPP sudah paling dulu di dalam hal pembatasan masa jabatan Ketua Umum. Bahkan sudah diatur dalam AD/ART kami," kata Romy di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 30 Mei 2016.
Romy menjelaskan wacana tersebut sudah dibahas sejak Muktamar PPP di Ancol pada tahun 2007.
"Kami membatasi masa jabatan ketua umum dua periode," ungkapnya.
Menurut Romy, pembatasan masa jabatan ketua umum partai sangatlah penting sebagai lambang dari regenerasi partai. Anggota Komisi III DPR itu pun mendukung bila batasan bagi ketua umum parpol masuk dalam pasal di Rancangan Undang Undang Partai Politik.
"Malah kalau perlu di dalam pembahasan undang-undang parpol, kita yang akan jadi pengusul utama," tegas dia.
Namun, meski mendukung pembatasan masa jabatan ketua umum partai masuk dalam undang-undang, menurut Romy hal tersebut belum tentu diterima oleh partai lain. Dia mengungkapkan setiap partai punya yurisdiksi dan sejarahnya masing-masing.
***
Kembali ke AD/ART
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, juga memberikan tanggapan atas persoalan tersebut. Tjahjo menyatakan bahwa sejauh ini belum ada pembahasan Undang Undang Partai Politik.
"Masalah parpol sifatnya internal diatur dalam AD/ART partai politik masing-masing. Tidak perlu terlalu diintervensi. UU Parpol juga tidak perlu mengatur detil masalah rumah tangga partai politik," kata Tjahjo yang juga merupakan politikus PDIP itu kepada VIVA.co.id, Senin, 30 Mei 2016.
Mengenai apakah akan berdampak pada regenerasi partai, Tjahjo enggan menjawab lebih jauh. Ia mempersilakan masalah itu ditanyakan ke internal parpol.
"Kan rumah tangga masing yang diatur oleh AD/ART masing-masing," tutur dia.
Mantan Sekretaris Jenderal PDIP itu mengungkapkan bahwa partai politik ibarat sebuah rumah tangga yang mempunya aturan dan kebijakan masing-masing. Oleh karena itu, pihak eksternal tidak bisa mengintervensi termasuk dari pemerintah atau negara.
"Parpol punya harga diri dan kehormatan internal. Silakan Anda tanya semua fungsionaris partai kan pasti jawabannya sama," tutur dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II, Lukman Edy, mengaku belum melihat draf konsep pemerintah tentang parpol. Apakah memasukkan masa jabatan pimpinan parpol atau tidak.
"Karena ini dari pemerintah maka saya nggak yakin pemerintah berani sampaikan draf itu," kata Lukman di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 30 Mei 2016.
Lukman menuturkan bahwa soal internal parpol sebaiknya tidak banyak diatur dalam UU Parpol. Menurutnya, yang diatur adalah lebih banyak hubungan parpol dengan negara, parpol dengan lembaga lain.
"Soal internal sebaiknya jangan terlalu banyak diatur," kata dia lagi.
Oleh karena itu, masalah pembatasan masa jabatan ketua umum, politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu menilai lebih baik diatur internal parpol. Sejauh ini yang dia ketahui memang sudah banyak diatur di AD/ART.
"Tidak relevan UU atur internal parpol. Prinsipnya kan sama UU jangan banyak atur internal parpol. UU delegasikan ke AD/ART," kata dia.
Lukman juga tak sependapat jika disebut usulan pembatasan itu mempercepat reggenerasi. Baginya, dua tema itu tidak ada hubungannya.
"Nggak relevan karena (akan) terlalu campur tangan pemerintah dengan UU," ujarnya.
Apabila ada sejumlah tokoh yang menduduki jabatan ketua umum dalam waktu relatif lama, Lukman yakin mereka memiliki alasan kuat. Terlebih, partai memiliki latar belakang masing-masing.
"PDIP, simbol Mega, sebabkan partai utuh. Lalu negara atur masa jabatan, nanti bisa terjadi gejolak. Psikologi masing-masing konstituen beda. PDIP, dengan PKB, Golkar, beda," demikian Lukman.