'Ide Gila', Virtual Reality untuk Terapi Trauma

Terapi Virtual reality (VR) University of Southern California, Amerika Serikat
Sumber :
  • University of Southern California, Amerika Serikat

VIVA.co.id – Saat ini teknologi virtual reality (VR) makin banyak diperbincangkan. Dalam industri teknologi, perusahaan kelas dunia gencar dan bisa dibilang latah berbicara tentang teknologi VR.

Sebelum jauh membahasnya, perlu diketahui teknologi VR merupakan teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh komputer. Dengan teknologi ini, pengguna bisa berinteraksi dan hadir dalam objek maya, padahal mereka dalam dunia nyata.

Dengan VR, interaksi yang terjadi menawarkan pengalaman yang lebih dari kacamata tiga dimensi (3D). VR akan membuat pengguna makin dekat dan makin “hadir” lebih dalam objek maya tersebut.

Nah, belakangan ini, perusahaan teknologi, mulai dari Facebook, Google, Sony, Apple, Samsung, Microsoft hingga Acer ramai berambisi menciptakan perangkat dan inovasi berbasis VR yang paling canggih dan menarik.

Selain perusahaan teknologi, badan riset juga tertarik untuk mengadaptasi teknologi tersebut, misalnya Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).

Lembaga antariksa pemerintah AS itu sudah mencoba teknologi VR untuk menggambarkan kondisi Planet Mars. VR juga menjadi incaran industri porno. Ya, bagi industri konten dewasa, dengan melibatkan teknologi itu, maka akan melahirkan sensasi pengalaman berbeda bagi penikmat konten “syur”.

Sebuah situs porno terkenal bahkan sudah menyatakan kesiapannya untuk menghadirkan konten bagi para pengguna perangkat VR.

“Sihir” VR ternyata tidak dalam bidang tersebut saja. Teknologi VR nyatanya sudah luas diterapkan di berbagai bidang. Misalnya dalam bidang pelatihan dan pendidikan, teknologi ini memungkinkan para profesional hadir dalam lingkungan buatan yang nyata.

Kemudian, di bidang arsitektur, teknologi VR bisa membantu menyimulasikan struktur dan desain dalam sebuah karya. Di bidang militer, teknologi VR punya manfaat bagi tentara berlatih di bawah lingkungan buatan yang menggambarkan medan dan pertempuran.

Teknologi VR di tangan militer digunakan untuk simulasi menerbangkan pesawat terbang, mengendarai tank dan lainnya. Begitu juga di bidang penerbangan komersial, para pilot bisa menggunakannya untuk simulasi menerbangkan dan mendaratkan pesawat.

Jejak Terapi VR

Yang tentunya sedang tren adalah penerapan VR untuk industri game dan film. Meski penerapan VR sudah dimulai sejak 1990-an oleh Nintendo, tapi pada era digital dan game online, VR makin terasa manfaat serta sensasinya.

Dari rangkaian penggunaan VR tersebut, semuanya merevolusi bidang masing-masing. Mulai dari bagaimana menikmati game sampai menonton konten “syur”.

Namun ternyata, penerapan VR makin meluas dan nyata. Tak hanya untuk industri hiburan dan pelatihan, VR tak dinyana telah dimanfaatkan untuk terapi para penderita trauma. Penerapan ini memang tak sepopuler dari penerapan VR di bidang game atau film.

Para korban aksi teror, peperangan, tindakan kekerasan hingga insiden berdarah lainnya, kadang punya trauma yang mendalam. Dampak trauma tersebut membuat seseorang sangat takut mengingat, berbicara, dan melihat apa yang berkaitan dengan peristiwa yang dialami tersebut. Hal yang mengkhawatirkan, kadang penderita trauma itu tidak kuat untuk mengatasi rasa trauma tersebut.

Dalam hal trauma, dikenal istilah Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Kelainan ini merupakan gangguan stres usai trauma. PTSD merupakan gangguan kejiwaan yang sangat berat, karena biasanya penderita mengalami gangguan jiwa yang mengganggu kehidupannya.

Selain PTSD, ada Post Traumatic Sympton (PTS). Jenis trauma kedua ini tergolong tidak seberat PTSD.

Nah, terlihat agak tak populer, tapi penerapan VR bagi penderita trauma itu memang sangat penting. Untungnya, para peneliti telah mengembangkan terapi berbasis VR bagi penderita trauma.

Direktur Medical Virtual Reality, Institute for Creative Technologies di University of Southern California, Amerika Serikat, Albert Skip Rizzo mengatakan, sejak 1990-an VR telah dipakai untuk menyembuhkan PTSD.

Rizzo mengakui saat itu perkembangan hardware yang mendukung VR masih terbilang belum semasif saat ini, sehingga belum begitu menjanjikan.

"Teknologi itu (saat itu) memang kurang bagus, tapi beberapa peneliti tetap menjalankan (riset)," ujar Rizzo kepada PC Authority, dikutip Senin 30 Mei 2016.

Rizzo mengaku, terapi berbasis VR yang dipakai timnya telah terbukti bagus. Bahkan, ujarnya, dalam beberapa kasus menunjukkan hasil yang lebih baik.

"Sudah beberapa pasien kami yang mencoba dengan pendekatan tradisional ternyata tak ada manfaat, kemudian saat menjalani program ini menunjukkan ada manfaat," tuturnya.

Dari Tentara ke Korban Teror

Penerapan teknologi VR sudah dipakai untuk membantu mengobati pasien PTSD. Pada beberapa dekade lalu, terapi VR dipakai untuk merawat pasien PTSD dari kalangan tentara. Tapi kini, terapi alternatif itu diuji pada korban serangan teror Gedung World Trade Center (WTC) di New York, AS pada 2001.

Dalam studi peneliti University of Southern California Institute for Creative Technologies (ICT), yang ditampilkan di situs National Center for Biotechnology Information, ditemukan adanya dampak positif dari penerapan terapi trauma berbasis VR tersebut.

Dalam terapi ini, peneliti menciptakan kembali tragedi teror itu secara virtual. Pada pasien korban serangan teror WTC, peneliti mengekspose kepada pasien PTSD dengan pesawat terbang virtual di sekitar WTC, kemudian menabrakkan pesawat ke gedung kembar dengan disertai ledakan animasi dan efek suara mirip seperti aslinya.

Dalam terapi itu, peneliti juga menampilkan orang-orang yang melompat dari gedung secara virtual, gedung runtuh, dan muncul awan debu. Usai menyaksikan reka ulang virtual itu, peneliti menemukan terapi VR itu sukses mengurangi gejala PTSD akut.

Tingkat depresi dan gejala PTSD yang diukur oleh Beck Depression Inventory dan Clinician Administered PTSD Scale menunjukkan, ada pengurangan depresi besar yaitu 83 persen dan pengurangan gejala PTSD yakni 90 persen, setelah pasien menjalani terapi tersebut. Meski hal ini masih belum jadi kesimpulan alami, tapi menunjukkan potensi yang kuat untuk perawatan pasien PTSD akut ke depan.

Terapi berbasis VR juga diterapkan bagi para veteran tentara AS yang berjibaku dalam Perang Vietnam. Pada 2014, tercatat lebih dari 60 ribu veteran perang Vietnam membutuhkan bantuan lari dari trauma perang tersebut. Penderita trauma para veteran itu tergolong besar, setara dengan trauma dari para tentara AS yang menjalani perang di Irak dan Afghanistan.

Untuk membantu mengatasi trauma para veteran itu, University of Southern California Institute for Creative Technologies (ICT) kemudian turun tangan, dengan terapi yang disebut Virtual Reality Exposure Therapy (VRET). Peneliti mengatakan, mereka telah mengembangkan VRET sejak 2004 untuk membantu veteran AS mengatasi gejala PTS yang turun dalam perang di Afghanistan dan Irak.

Tapi, peneliti universitas itu mengaku, mengobati trauma veteran Perang Vietnam lebih susah dibandingkan veteran pada perang di Irak dan Afghanistan.

Sama konsepnya dengan terapi pada korban serangan WTC, pada terapi veteran Vietnam itu, peneliti menciptakan kondisi, suasana dan pengalaman yang sesuai dengan Perang Vietnam pada beberapa dekade lalu. Kemudian para veteran diminta mengalami kembali Perang Vietnam virtual tersebut.

VRET disebutkan menjalankan prinsip metodologi terapi trauma tradisional Prolonged Exposure Therapy dan menawarkan para terapis serta dokter untuk sebuah alternatif terapi.

Rata-rata usia veteran Perang Vietnam yang mencapai 65 tahun itu mengaku, saat mereka mengalami momen kehidupan yang pahit misalnya pensiun, kematian keluarga sipil dan teman mereka, maka gejala PTS mereka akan meningkat tajam.

Nah, meski Perang Vietnam sudah empat dekade berlangsung, penelitian terbaru menunjukkan diperkirakan 283 ribu veteran Vietnam masih menderita trauma pengalaman perang mereka.

Saat ini, memang hasil terapi VR untuk veteran Perang Vietnam belum dirilis. Peneliti masih membutuhkan tambahan dana US$500 ribu untuk menambah terapi Vietnam tersebut. Peneliti berharap nantinya mereka bisa memberikan terapi VR secara gratis bagi para dokter dan terapi di seluruh Amerika Serikat dalam delapan bulan ke depan.

 
 

Terapi, VR juga dipakai peneliti untuk memberikan versi yang lebih nyata dalam simulasi serangan teror di Teater Bataclan dan jalanan Paris, Prancis yang mengguncang dunia pada November tahun lalu.

Rizzo yang terlibat dalam skenario virtual itu mengatakan, peneliti membangun kembali lokasi serangan secara tiga dimensi, menyertakan beberapa avatar yang mewakili korban meninggal, hidup, terluka. Peneliti juga menyertakan suara dalam versi tiga dimensi. Hal itu bertujuan untuk membuat para korban serangan mengingat memori traumatis mereka.

Ide mengembangkan serangan Paris secara virtual tak berjalan mulus. Profesor dari Institut Arts et Métiers Laval, Prancis berpendapat, pekerjaan memvirtualkan serangan Paris tergolong pekerjaan yang lambat. Sebab, peneliti harus memproduksi kembali lokasi serangan dalam bentuk tiga dimensi dan memasukkan avatar berupa orang mati, hidup maupun terluka. Belum lagi peneliti harus memasukkan efek suara 3D.

Namun, kritikan itu dijawab langsung oleh peneliti dengan melibatkan beragam alat, di antaranya software Character dan 3D Max Autodesk. Sementara itu, dunia virtual serangan Paris diciptakan oleh Unity dan bantuan dari platform Bravemind besutan Rizzo.

Mengapa Terapi VR

Tujuan peneliti yang membuat para korban mengingat trauma yang mereka rasakan bukan tanpa alasan. Memang terkesan, peneliti membuat para korban menderita dengan mengingat insiden mengerikan itu, tapi di sisi lain, justru langkah ini menurut peneliti, bisa menyembuhkan trauma yang dirasakan.

"Kami perlu menciptakan lingkungan yang bermakna bagi pasien. Ini berarti adegan tiga dimensi perlu merangkum segudang isyarat yang mampu memunculkan kenangan traumatis. Mengakses isyarat traumatis sangat penting bagi keberhasilan terapi ini," ujar Pedro Gamito, profesor dari Universidade Lusófona, Portugal yang terlibat dalam proyek virtual serangan Paris.

Gamito mengakui tahap pengembangan terapi VR selanjutnya untuk korban serangan teror itu masih perlu waktu dan pembuktian. Sebab, memang terapi ini perlu sejumlah skenario yang dikembangkan. Dia mengharapkan, pengujian terapi ini dimulai dalam beberapa bulan ke depan.

Rizzo menegaskan, terapi VR bagi para korban teror dilakukan bukan untuk membuat mereka menderita. Dia bersama peneliti lain melakukan “ide gila” ini karena terapi ini punya potensi.

"Anda mungkin berpikir, mengapa melakukan ini, mengapa menyiksa orang-orang. Saya katakan karena kami tahu teknologi ini bekerja. Penelitian dan pengembangan terapi ini bukan 100 persen, tapi ini salah satu perawatan terbaik dalam uji klinis," kata dia.

Rizzo mengatakan, VR pada dasarnya menjalankan prinsip yang sama perawatan tradisional untuk para korban peristiwa tragis tersebut.

"Apa yang kami lakukan adalah mengikuti persis protokol dan ‘resep’ yang sama, jumlah yang sama dari segi sesi, prosedur yang sama. Yang berbeda adalah pasien mengenakan layar di kepala dan dokter menyiapkan lingkungan virtual berdasarkan memori trauma pasien," ujar dia.

Namun demikian, tantangan yang dihadapi ke depan adalah bagaimana meyakinkan generasi muda yang lebih akrab VR untuk penerapan video game saja.

"Kami menemukan ada orang yang masih terlibat karena VR adalah sesuatu yang asing dan ini adalah gangguan saat ada penghindaran (penerapan teknologi VR). Ini adalah gejala yang umum," kata dia.

Rizzo berharap terapi berbasis VR ini akan berkembang ke depan. Dia saat ini memang fokus pada pasien tentara, tapi berharap ke depan bisa beralih ke pasien warga sipil, yang mengalami berbagai trauma mulai dari kecelakaan kendaraan, cuaca buruk, hingga korban kekerasan seksual.