Presiden Mau Pasang Antinuklir di Istana , untuk Apa?

Gerbang Istana Kepresidenan.
Sumber :
  • Antara/ Widodo S Jusuf

VIVA.co.id – Dalam dua bulan ke depan, Istana Presiden akan dipasang piranti khusus antinuklir. Perangkat yang dinamai ini bakal menggunakan teknologi Rusia.

Deputi Perizinan dan Inspeksi Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Khoirul Huda, Kamis 12 Mei 2016., mengungkapkan secara gamblang di mana nantinya RPM akan diletakkan. “Ditaruh di pintu utama Istana Negara,” kata dia.

Pemasangan portal monitor pemantau radiasi ini ternyata sudah direncanakan sejak tahun lalu. Namun baru terealisasi tahun ini. Maklum, proyek megamahal ini membutuhkan uang yang tidak sedikit. Khoirul bahkan mengaku tak hafal angkanya, hanya saja ia memastikan pemantau radiasi nuklir ini dibanderol puluhan miliar rupiah. "Puluhan miliar, kurang hafal harganya," kata Khoirul.

Konon, alat ini bisa mendeteksi bahan nuklir dan zat radioaktif. Sehingga apa pun yang melintas di portal ini, maka akan bisa dideteksi, berbahaya atau tidak. Sehingga, terkhusus bahan nuklir, dijamin tidak akan ada yang bisa lolos dari monitor pemantau ini.

Di Indonesia, secara keseluruhan piranti antinuklir ini sudah ada sejak tahun 2012. Alat berupa portal dan monitor pengamat yang bisa dilintasi kendaraan ini pertama kali dipasang di Pelabuhan Belawan Medan Sumatera Utara.

Alat itu hasil sumbangan badan nuklir internasional (IAEA). Fungsinya untuk memonitor dan mendeteksi ada tidaknya bahan nuklir atau radioaktif yang mungkin masuk ke pelabuhan.

Setelah itu, baru kemudian secara bertahap piranti antinuklir lainnya dipasang di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Priok Jakarta, Soekarno Hatta Makassar Sulawesi Selatan, Sekupang di Batam, Bitung Sulawesi Utara dan Bandara Soekarno Hatta. Sehingga secara total ada tujuh RPM yang ada di Indonesia.

FOTO: Contoh penggunaan RPM untuk pendeteksi radiasi nuklir atau radioaktif di pelabuhan

 

Tentu ini tak berhenti di situ saja. Bapeten sudah merencanakan akan menambah pemasangan RPM di pelabuhan lain. Salah satu yang jadi prioritas adalah Pelabuhan Tanjung Emas Semarang dan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai di Bali. "Dalam waktu dekat kami juga akan memasang RPM di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang," kata Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto di Yogyakarta April lalu.

Jumlah RPM itu jelas terbatas, apalagi dengan banyaknya jalur masuk di Indonesia baik itu melalui udara mau pun perairan. Dibanding Malaysia yang hanya memiliki luas wilayah 329.847 meter persegi, Indonesia kalah telak. Hingga kini Malaysia telah memiliki 65 RPM di wilayahnya.

Teror Bom Kotor

Tahun 2001, ketika terjadinya penyerangan menara World Trade Center di Amerika Serikat. Sejak itu kemudian muncul kekhawatiran sekaligus kewaspadaan. Sehingga peraturan, standar dan persyaratan menjadi ketat.

Salah satu yang paling ditakutkan adalah, jika ada ledakan namun membawa muatan zat radioaktif atau nuklir. Jelas begitu mengerikan. Keamanan nasional hingga global akan terancam. Apalagi bom kotor (dirty bomb) yang bermuatan nuklir tersebut benar dilakukan oleh kelompok teror.

Hal ini yang menyebabkan diperlukan sebuah alat untuk pendeteksi dini. RPM pun akhirnya menjadi pilihan paling efektif.

FOTO: Serangan teror ledakan pesawat di WTC Amerika Serikat

 

Jazi Eko Istiyono menyebutkan, ancaman radiasi nuklir bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Karena itu kewaspadaan akan radioaktif dan nuklir harus menjadi prioritas. "Walau pun tidak berdampak langsung (radiasi nuklir), mungkin implikasinya 10 tahun yang akan datang," kata Jazi.

Atas itu juga kemudian, sejalan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang ketenaganukliran dan International Atomic Energy Agency (Badan nuklir internasional), maka seluruh objek strategis dan vital harus disediakan alat antisipasinya.

Dan tentunya, Istana Presiden pun menjadi salah satu hal penting untuk dilengkapi RPM, selain pelabuhan dan bandara yang menjadi titik masuk atau keluar bahan mengandung nuklir dan radioaktif.

Pengamanan Berlapis

Harus diakui, jika menilik Malaysia yang sudah memiliki 65 RPM, maka pemasangan monitor pemantau radiasi nuklir di pusat aktivitas kepresidenan di Indonesia memang terbilang lamban.

Jika, kesiagaan ini dianggap mulai sejak 2001, pasca serangan di WTC Amerika Serikat, maka Indonesia baru bisa memasang alat ini setelah 15 tahun berselang di Istana Presiden.

Selama ini, seperti diakui Jazi, Istana Kepresidenan hanya mengandalkan pengamanannya lewat metal detektor dan X-Ray. Sehingga tidak bisa memagari ancaman masuknya zat radioaktif ke dalam istana presiden.

Atas dasar itu, setelah ada persetujuan Presiden Joko Widodo tentang RPM dan Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir yang diterbitkan pada 4 April 2016. Maka istana akhirnya akan dipasang RPM pada bulan Juli mendatang.

"(Sudah) Ada 200 Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) yang dilatih untuk mengoperasikan perangkat RPM-nya," tambah Deputi Perizinan dan Inspeksi Bapeten Khoirul Huda.

Pada tahun 2015, Khoirul menyebutkan salah satu contoh ancaman nyata tentang radiasi radioaktif. Itu terjadi di Jepang. Di mana, ada satu pesawat tanpa awak atau drone tiba-tiba terbang ke atas kantor Perdana Menteri Jepang.

FOTO: Pengamanan Paspampres terhadap tamu di Istana Negara yang hanya mengandalkan X-Ray dan Metal Detektor

Saat itu, perdana menterinya kebetulan tengah berada di Indonesia. Dan terbukti, pesawat tanpa awak tersebut ternyata memang menebar zat radioaktif di kantor perdana menteri. "Hal seperti inilah yang harus kita antisipasi dengan peningkatan sistem infrastruktur keamanan nuklir," kata Khairul.

Yang jelas, ada tidaknya ancaman radiasi nuklir, penempatan RPM di Istana Presiden memang menjadi kemajuan tersendiri terhadap pengawasan sebuah objek vital. Termasuk juga sejumlah titik di pelabuhan atau pun bandara.

Indonesia membutuhkan lebih dari tujuh RPM dari yang sudah ada. Jalur ke luar dan masuk di Indonesia begitu banyak jumlahnya. Sementara ancaman bom kotor (dirty bomb) yang membawa ancaman nuklir sudah menjadi sesuatu hal yang nyata dan bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia.

Termasuk juga kemungkinan masuknya bahan itu, lalu dipergunakan oleh kelompok teroris yang kini bercokol di Indonesia. Sebab, sebuah bahan yang mengandung radiasi nuklir, faktanya tidak bisa dibaca hanya dengan X-Ray di bandara atau pelabuhan.

"Isinya tidak diketahui jika tidak ditanya kepada pemilik barang. Dan pemilik barang tidak mungkin mengaku membawa nuklir,"  kata Jazi. (umi)