Tugas Belum Selesai, Bebaskan 4 WNI Lainnya
- VIVA.co.id/Inquirer.net
VIVA.co.id – Mata tua Charlos Barahama (64) berkaca-kaca mendengar kabar anaknya dibebaskan oleh kelompok bersenjata , Minggu 1 Mei 2016. Raut wajahnya pun terlihat semringah dan begitu bahagia hari itu.
Pensiunan guru ini merupakan ayah kandung dari Peter Tonsen Barahama (31), nakhoda kapal tunda Brahma 12 yang dibajak kelompok pada 26 Maret 2016.
"Saya sangat senang melihat anak saya turun dari pesawat di Filipina. Di situ baru saya percaya 100 persen. Sebelumnya saya belum yakin," kata Charlos.
Sebulan lalu, Charlos sempat berfirasat buruk tentang nasib anaknya. Bapak tiga anak ini mendadak demam tinggi dan entah kenapa begitu mengkhawatirkan keberadaan Peter Tonsen Barahama.
“Istri saya juga tidak bisa tidur karena mempunyai firasat yang sama. Waktu itu, kami berbincang-bincang pasti terjadi sesuatu di antara ketiga anak kami. Firasat itu tepat pada hari kejadian kapal disandera pembajak," katanya.
Charlos Barahama terharu mendengar kabar pembebasan anaknya, Peter Tonsen Barahama, Minggu 1 Mei 2016.
Malang tak dapat ditolak, putra bungsunya Peter Tonsen rupanya dikabarkan telah dibajak oleh kelompok bersenjata di perairan Filipina. Pelayaran ketiga Peter sejak didaulat menjadi nakhoda kapal tunda Brahma 12 setahun lalu rupanya bernasib nahas.
Namun, kabar pembebasan Peter bersama sembilan warga negara Indonesia yang menjadi anak buahnya di atas kapal Brahma 12, tiba-tiba beredar pada Minggu siang, 1 Mei 2016.
Laporan sebuah media Filipina menyebut, ada orang tak dikenal yang tiba-tiba menitipkan 10 orang Indonesia di depan rumah Gubernur Sulu Filipina Abdusakur Tan II. "Ada orang tak dikenal yang melepaskan orang Indonesia di depan rumah Gubernur Sulu," kata pejabat kepolisian setempat Wilfredo Cayat.
Uang dan penggal kepala
Bulan lalu, tepatnya pada 26 Maret 2016, kapal tunda Brahma 12 yang membawa 7 ribu ton batu bara dari Kalimantan Selatan menuju Batangas Filipina dilaporkan dibajak oleh kelompok bersenjata di perairan Filipina.
Kapal ini membawa sepuluh anak buah kapal, yakni Peter Tonsen Barahama (31) asal Batam (nakhoda), Julian Philip (50) asal Minahasa, Alvian Elvis Peti (32) asal Tanjung Priok, Jakarta, Surian Syah (34) asal Kendari, Sulawesi Tenggara, dan Mahmud (32) asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Lalu, Surianto (31) asal Wajo, Sulawesi Selatan, Wawan Saputra (23) asal Palopo, Sulawesi Selatan, Bayu Oktavianto (23) asal Klaten, Jawa Tengah, Rinaldi (25) asal Makassar, Sulawesi Selatan, dan Wendi Raknadian (28) asal Padang, Sumatera Barat.
Sejak laporan penyanderaan diterima perusahaan, yakni PT Patria Maritim Lines, kelompok langsung mengancam untuk pembayaran tebusan senilai 50 juta peso atau setara Rp15 miliar.
Kala itu, tenggat waktu pembayaran diharuskan telah disetor pada 30 Maret 2016. "Para penyandera meminta tebusan 50 juta peso dan memberi batas waktu 5 hari, terhitung sejak Sabtu 26 Maret 2016," kata Sam Barahama, kakak kandung dari nakhoda kapal Brahma 12 Peter Tonsen Barahama.
Namun belakangan, kelompok kembali mengeluarkan revisi tenggat waktu. Mereka mengulur pembayaran tebusan hingga 8 April 2016, dengan jumlah nominal tebusan serupa seperti sebelumnya.
Waktu berjalan, hingga akhirnya muncul kabar soal pemenggalan sandera oleh pada 25 April 2016. Seorang sandera bernama (68), ditemukan tak utuh.
Kelompok Abu Sayyaf menunjukkan sandera mereka.
Kepala pria asal Kanada yang diculik kelompok sejak September 2015 dan dihargai senilai US$80 juta atau setara Rp105 miliar itu ditemukan dalam sebuah kantong plastik.
"Kami menemukan kepala dalam kantong plastik. Kepala itu adalah milik pria Kaukasia," kata Kepala Polisi Jolo, Wilfredo Cayat.
Tak pelak, temuan itu menuai kegeraman. Militer Filipina pun segera melakukan penyerangan. Meski tak sampai menusuk ke pertahanan kelompok , namun baku tembak mencekam akibat perburuan .
Dan tentunya, akibat aksi biadab itu, membuat Kanada bereaksi meski terlambat. "Pembunuhan ini sebuah kabar yang mengejutkan, menyedihkan, brutal, tidak masuk akal, keterlaluan, dan tercela," kata Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.
Selanjutnya...Campur Tangan Siapa?
Campur Tangan Siapa?
Kepastian pembebasan 10 sandera WNI tentu menjadi kabar baik bagi seluruh keluarga korban. Apalagi penantian ini sudah sebulan lamanya.
Mansyur Halide, ayah kandung dari Wawan Saputra (23), ABK Brahma 12, bahkan langsung menuangkan dengan sujud syukur di rumahnya. Tangis bahagia pun pecah di kediaman Mansyur. "Terima kasih banyak. Terima kasih banyak, anak kami sudah dibebaskan," kata Mansyur.
Sejauh ini, memang belum bisa dipastikan bagaimana proses sesungguhnya hingga 10 WNI ini dilepaskan begitu saja oleh kelompok bersenjata .
Apalagi, memang dikenal tak pernah kompromi dengan alasan apa pun untuk sandera mereka. Sandera John Ridsel, asal Kanada sudah menjadi bukti.
Lantaran tebusan tak dibayarkan, kepala Ridsel akhirnya ditemukan dalam sebuah kantong plastik penuh darah di sebuah jalan pinggiran Kota Sulu Filipina.
Militer Filipina mengakui belum bisa memastikan apakah 10 sandera WNI ini murni dibebaskan atau ada proses pembayaran tebusan.
Hanya saja memang ada rumor beredar bahwa pada 29 April 2016, memang telah terjadi proses pembayaran tebusan senilai US$1 juta atau setara Rp13,1 miliar kepada kelompok
"Diyakini tidak ada tawanan yang bisa dilepaskan tanpa tebusan," kata pejabat kepolisian Filipina Inspektur Polisi Junpikar Sitin.
Sepuluh WNI yang sudah dibebaskan kelompok Abu Sayyaf saat di kediaman Gubernur Sulu, Minggu (1/5/2016)
Lalu, bagaimana dengan sikap pemerintah Indonesia soal ini? Dalam pernyataan pers yang digelar di Istana Bogor, Minggu petang, 1 Mei 2016. Presiden Joko Widodo didampingi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, menyiratkan sebuah kerahasiaan proses pembebasan 10 sandera tersebut.
"Banyak sekali yang bekerja sama dalam pembebasan ini. Karena itu saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu proses pembebasan ini," kata Jokowi.
Menurut Jokowi, pembebasan sandera kelompok dilakukan secara formal dan informal. Tak dirinci bagaimana teknis pembebasan ini. Apakah ini melalui proses negosiasi dengan pihak lain sebagai perantara atau pun memang dengan pembayaran tebusan sesuai ancaman .
"Semua komunikasi dan jaringan kita buka. Semua opsi kita buka dengan tujuan mengupayakan keselamatan WNI," kata Retno.
Nasib Empat WNI Lagi?
Lalu, apakah keberhasilan pembebasan 10 sandera ini akan bernasib sama dengan empat WNI lain yang juga ikut disandera setelah pembajakan kapal Brahma 12?
Masalah ini kini menjadi prioritas pemerintah dan tentunya tak luput dari komitmen perusahaan. Sebab, tak lama setelah Brahma 12 dibajak, kapal tunda pengangkut batu bara bernama TB Hendry dan Barge Christy juga ikut dibajak.
Kapal milik PT Global Trans Energy Internasional itu harus kehilangan empat dari 10 awak kapal mereka. Yakni Moch Ariyanto Misnan (nakhoda), Lorens MPS, Dede Irfan Hilmi, dan Samsir.
"Kapal ini dibajak (diduga Kelompok Abu Sayyaf) pada Jumat 15 April 2016, sekira pukul 18.32, di perbatasan Pulau Mata King Filipina dengan Pulau Ligitan Tawau, Sabah Malaysia," kata Komandan Patroli Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Syahruddin.
Secara prinsip, Presiden Jokowi juga menyampaikan janjinya untuk melepaskan keempat WNI yang disandera tersebut. Bersamaan dengan konferensi pers pembebasan 10 sandera, Jokowi mengaku masih mengupayakan pembebasan mereka. "Saat ini kita masih bekerja keras membebaskan empat WNI yang lain," kata Jokowi.
Pimpinan kelompok bersenjata Abu Sayyaf
Tentunya janji Jokowi ini menjadi harapan besar keluarga korban yang lain. Salah satunya dilontarkan oleh Melati Ginting (52), ibunda dari nakhoda kapal TB Hendry, M Ariyanto Misnan.
"Anak saya bagaimana? Kenapa pilih kasih? Kenapa pemerintah tak tanggap dan beraksi cepat," ujar Melati mendengar kabar pembebasan 10 sandera WNI yang ternyata bukan putranya.
Apa pun itu, kini nasib empat WNI lain sangat bergantung dengan komitmen perusahaan dan dorongan pemerintah untuk dibebaskan. Praktik pembayaran tebusan memang relatif baik karena tidak terjadi kontak senjata dan sandera dapat bebas dengan selamat.
Namun, praktik ini tetap menuai sorotan. Sebabnya, dengan membayar tebusan maka kelompok dapat lebih leluasa menambah amunisi senjata mereka.
Dan tentunya tidak akan bisa menjamin bahwa tidak akan ada kapal milik Indonesia lagi yang akan dibajak. "Uang ini akan digunakan untuk membeli lebih banyak senjata api dan digunakan sebagai dana mobilisasi para penjahat," ujar Wali Kota Jolo Hussin Amin seperti dikutip dalam Wall Strret Journal, Minggu 1 Mei 2016.
Lalu, apakah nantinya keempat WNI ini akan dibayar dengan tebusan, seperti 10 WNI yang lain? Semua bergantung pemerintah. Diplomasi dan negosiasi memang patut dikedepankan. Namun “membenarkan” praktik pembajakan kapal lewat tebusan juga patut dipikirkan matang.
Meski sejauh ini, pemerintah mengklaim, tidak mengeluarkan uang sepeser pun saat pembebasan. "Perusahaan tidak mengeluarkan uang sepeser pun. Tidak ada uang," kata negosiator sandera Mayor Jenderal Kivlan Zein.