Menuju Rekonsiliasi Peristiwa 1965

Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin

VIVA.co.id – Masyarakat Indonesia akan selalu mengingat 30 September 1965, sebagai salah satu sejarah paling kelam yang terjadi selama republik ini berdiri. Kelam, karena usai peristiwa pembunuhan para Pahlawan Revolusi itu, terjadi aksi pembunuhan massal di berbagai daerah. Kelam, karena setelah 50 tahun berlalu, tak juga ada kejelasan mengenai motif terjadinya peristiwa itu, termasuk aktor intelektual yang mendalanginya.

Pemerintahan Orde Baru menyebut peristiwa itu didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI) yang hendak mengudeta kepemimpinan Presiden Soekarno saat kesehatannya memburuk.

Namun, sebagian lain berpendapat, peristiwa ini tak sesuai jalan cerita film 'Penumpasan Pengkhianatan G30SPKI'. Pembunuhan tujuh perwira TNI Angkatan Darat itu, merupakan upaya politik Presiden Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. 

Terlepas dari latar belakang politiknya, yang pasti, setelah pembunuhan para Jenderal, terjadi efek berantai di masyarakat. Pembunuhan massal terhadap orang yang dianggap memiliki kaitan dengan PKI, terjadi di banyak daerah. Hingga kini, persoalan tersebut masih menjadi kontroversi dan belum terselesaikan.

Demi memutus kontroversi, pemerintah menggelar Simposium Nasional bertema 'Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan'. Pada simposium ini, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) mengumpulkan pihak terkait dari berbagai kelompok, mulai dari korban, keluarga korban, pelaku sejarah, sampai perwakilan lembaga negara.

Pada pembukaan acara, Menkopolhukam Luhut Pandjaitan mengungkapkan, pemerintah ingin membuat penyelesaian terhadap peristiwa ini, sehingga diperlukan fakta sejarah, serta menyusun langkah rekonsiliasi pada korban.

"Saya yakin, dalam diskusi ini pasti ada pro dan kontra. Spirit kita menyelesaikan, jangan berburuk sangka. Kita jangan menubrukkan satu kelompok dengan kelompok lain," ujar Luhut dalam sambutan pembukaannya, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin 18 April 2016.

Simposium yang digelar 18 - 19 April 2016 ini dirancang sebagai dialog awal antara pemerintah dan korban, dalam merumuskan pokok pikiran menuju rekonsiliasi nasional. Luhut menilai, sebagai bangsa besar, Indonesia harus berdamai dengan masa lalunya. "Katakan benar, kalau itu benar, salah kalau itu salah," jelas dia.

Meski begitu, Luhut menegaskan, negara tidak akan meminta maaf terkait tragedi tersebut. Sebab, banyak kesimpangsiuran sejarah mengenai pihak yang menjadi korban dan pelakunya.

"Pemerintah tidak pernah terpikir akan minta maaf. Mau minta maaf kepada siapa? Korban mana?" ungkap Luhut.

Tujuan rekonsiliasi, bukan menentukan pihak yang benar dan salah dalam peristiwa ini, tetapi memberikan suatu penyelesaian bagi korban dan keluarganya. Selain itu, mencegah peristiwa serupa terjadi di masa mendatang.

"Mungkin boarding-nya akan datang, penyelesaian mendalam terhadap peristiwa lalu, yang jadi sejarah kelam bangsa ini, dan kita berharap ini tak terulang lagi di masa mendatang," kata dia.

Selain pejabat negara seperti Jaksa Agung HM Prasetyo, Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, simposium ini juga dihadiri 200 orang korban peristiwa 1965.

Pengakuan para saksi

Pada simposium ini, Mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan menyebut jumlah korban saat operasi militer di Jawa Tengah dan Yogyakarta, usai peristiwa 30 September 1965, tak sampai ratusan ribu orang.

"Ada mahasiswa yang ribut jumlah korban, di mana mayatnya, di mana kuburannya, kok sampai 100 ribu?" ujar Sintong saat menjadi pembicara, Senin 18 April 2016.

Saat itu, Sintong sebagai perwira pertama RPKAD, cikal bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), diketahui menerima tugas operasi pemulihan keamanan dan ketertiban di Jawa Tengah. 

Sintong memimpin Peleton 1 di bawah koordinasi Feisal Tanjung (mantan Panglima ABRI pada 1993-1998). Pasukannya beroperasi memberantas pendukung PKI di Semarang, Demak, Blora, Kudus, Cepu, Salatiga, Boyolali, Yogyakarta, hingga lereng Gunung Merapi.

"Kita menangkap PKI, dibawa ke pos komando, dan interogasi. Hanya tokoh-tokohnya saja, di mana ratusan ribu? Pembohongan, karena itu berhubungan dengan harga diri kami sebagai RPKAD," jelas dia.

Di sisi lain, para mantan tahanan politik juga mengungkapkan kisah pilu mereka, karena harus mendekam di balik jeruji penjara, tanpa proses pengadilan, dan tidak bisa membela diri dari tuduhan yang disampaikan pada mereka.

Abdul Rasyid, anggota Pemuda Rakyat, organisasi pemuda onderbouw PKI, mengaku ditahan sejak berusia 18 tahun dan baru dilepas, setelah menghabiskan waktu 12 tahun di Pulau Buru, kamp konsentrasi untuk tahanan politik.

"Saya ditahan di Pulau Buru tujuh tahun. Di Pare-pare lima tahun, Saya ditahan saja, tetapi tidak dihukum, dan saya sama sekali tidak diberikan alasan penahanan," katanya Selasa 19 April 2016.

Hal serupa juga diungkapkan Kusnendar, seorang Pegawai Negeri Sipil di Departemen Perindrustrian. Kini, di usianya ke-83, dia menceritakan kembali pengalamannya 50 tahun silam. Saat itu, pemerintah menugaskannya mengelola Akademi Pimpinan Perusahaan (APP).

"Pas saat pulang kantor, Di situlah terjadi pergolakan, yang saya sama sekali tidak paham. Tiba-tiba jam 4 sore datang TNI bawa truk, saya diangkut, enggaka tahu dibawa kemana," tuturnya, Selasa 19 April 2016.

Setelah sampai di Rutan Salemba, Jakarta, Kusnendar langsung digeledah dan dipukuli. Dia pun dituduh membunuh para jenderal. Mulai 10 Oktober 1965, dia dimasukkan ke sel tahanan. Kemudian pada 1969, Kusnendar dipindah ke Pulau Buru, untuk berkumpul bersama tahanan politik lainnya di masa itu.

Namun, bukan penyiksaan saat menjadi tahanan yang membuat Kusnendar menderita. Setelah dibebaskan sekitar 1979, tudingan keterlibatannya dalam PKI dan pembunuhan jenderal masih melekat. Stigma itu pun berimbas pada keluarganya. 

"Saya terpaksa bercerai dengan istr, karena bekas tahanan. Akhirnya, kita bikin perjanjian cerai, supaya anak saya bisa bekerja," katanya.

Dia pun berharap, agar penyelesaian yang dijanjikan pemerintah memberikan solusi pada korban. Sebab, eks tahanan politik '65 sampai sekarang masih mendapatkan perlakuan diskriminatif.

Permintaan maaf negara

Meski sepakat memberikan penyelesaian terhadap peristiwa '65, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Hasyim Muzadi menolak setuju dengan arah rekonsiliasi yang disiapkan melalui simposium ini. Hasyim tetap mendesak Presiden Joko Widodo, atas nama negara, meminta maaf kepada para korban.

Menurut Pengasuh Pesantren Al-Hikam ini, pihak yang bisa dianggap bertanggung jawab mengenai suatu peristiwa sejarah adalah rezim penguasa pemerintahan kala itu. Meski begitu, karena negara bersifat permanen, sedangkan rezim hanya sementara, maka Presiden perlu mengucapkan permintaan maafnya mewakili kesalahan yang terjadi di masa lalu.

“Kalau dikembalikan ke zaman Pak Harto, sekarang ini sudah banyak yang wafat, juga demikian korban '65,” ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). LSM ini menilai, pelaksanaan simposium justru mengaburkan fakta pelanggaran HAM. 

Koordinator Kontras, Haris Azhar mengungkapkan, simposium ini seolah-olah menjadi ajang 'cuci tangan' para pelaku atas peristiwa tersebut. 

Menurut Haris, dari sambutan Menkopolhukam dan paparan beberapa pelaku sejarah saat itu, sama sekali tidak ditemukan pengakuan secara jujur dan kesatria untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat ini secara adil dan bermartabat. 

"Jika demikian adanya, pernyataan Menkopolhukam menegaskan bahwa Simposium Nasional hanya formalitas semata," katanya, Senin 18 April 2016.

Usulan penyelesaian pelanggaran HAM

Ketua panitia pengarah acara, sekaligus Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Agus Widjojo berharap, simposium dapat menghadirkan suatu fakta berbeda dari sejarah versi rezim Orde Baru yang selama ini tertulis. 

Selain itu, memberikan ruang bagi para keluarga korban untuk mengungkap kebenaran yang mereka alami.

"Ini lebih banyak belajar mendengarkan, bahwa orang punya kebenaran berbeda dari yang ditulis," ujar Agus di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin 18 April 2016.

Sementara itu, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Sidarto Danusubroto berharap, simposium dapat memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat Indonesia ke depan. Misalnya, dengan menghasilkan sebuah payung hukum bagi korban dari tragedi 1965 tersebut.

"Saya pribadi mengharapkan adanya rekomendasi, legal umbrella (payung hukum). Bisa rehabilitasi umum bagi korban. Bangsa yang besar tidak perlu malu membaca masa kelam sejarahnya," katanya.

Sidarto juga berharap, para korban tragedi 1965 dan keluarganya mendapat perlakuan yang sama dari negara. Termasuk, tidak dicap sebagai PKI, dengan stigma turut terlibat penculikan para jenderal di Jakarta.

Dalam simposium ini, Ketua Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) Kamala Candrakirana, memberikan enam poin solusi penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang disebutnya sebagai Satya Pilar. 

"Saya menyuguhkan sebuah konsep penyelesaian. Ini kerja yang sangat keras dan konsisten oleh masyarakat sipil beserta korban masa lalu," katanya, saat menjadi narasumber, Selasa 19 April 2016.

Satya Pilar itu terdiri dari penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum, mengungkap kebenaran dan pengakuan, serta penanganan khusus untuk pemulihan korban pelanggaran HAM. Hal ini meliputi kebijakan sosial tentang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.

Kemudian, rekonsiliasi, pencegahan peristiwa, agar tidak terulang dengan mengedepankan reformasi institusi, serta partisipasi korban dalam upaya penyelesaian.

Satya Pilar ini dibuat berdasarkan penelitian yang dilakukan KKPK. "Dalam upaya satu tahun, kami mengumpulkan data yang dicatat oleh masyarakat sipil dan korban selama 40 tahun, dari 1965 sampai 2005. Kami telah mengumpulkan 1.300 kasus dan 3.150 korban 1965," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Nur Kholis mengungkapkan, Simposium Nasional ini merupakan salah satu langkah menuju penyelesaian dugaan pelanggaran HAM terkait peristiwa '65. 

Sebab, setelah simposium ini selesai, akan dibentuk sebuah tim kecil, untuk membahas usulan pada pemerintah mengenai rekonsiliasi. Tim ini akan bekerja merumuskan suatu rekomendasi, yang diambil berdasarkan paparan para pembicara di simposium.

"Dua hari ke depan, mulai besok. Ada rumusan dari steering commitee, terdiri dari unsur akademisi, representasi korban, pemerintah, kemudian kedua belah pihak," jelas Nur Kholis, saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa 19 April 2016.

Hal ini, termasuk mempertimbangkan penyelidikan yang sudah diselesaikan Komnas HAM terkait peristiwa ini. Dalam kesimpulannya, lembaga itu menilai penghukuman secara sistematis pada mereka yang diduga sebagai anggota, atau simpatisan PKI setelah peristiwa 30 September 1965, merupakan pelanggaran HAM berat.

"Itu poin krusial yang juga akan dirumuskan oleh tim," jelasnya.

Nur Kholis menegaskan, meski sudah ada kesimpulan untuk mengupayakan rekonsiliasi, bukan berarti hasil penyelidikan Komnas HAM akan dikesampingkan. "Belum ada kesimpulan, itu perlu dipikirkan," tambahnya.

Apalagi, kata dia, saat ini, Komnas HAM juga masih menunggu dokumen terkait peristiwa ini dari Amerika Serikat. "Penyelidikan itu sudah selesai, berkasnya sudah di Kejaksaan Agung. Seandainya ada penyidikan (dilanjutkan proses hukumnya), data itu mungkin bisa digunakan," ungkapnya. (asp)