Mengapa Filipina Susah Berantas Abu Sayyaf?
- www.worldbulletin.net
VIVA.co.id - Sepuluh warga negara Indonesia dan empat warga negara Malaysia hingga kini belum lepas dari sekapan kelompok militan Abu Sayyaf. Sebaliknya, 18 prajurit terbaik Filipina tewas sia-sia dalam sebuah penyergapan (ambush) di Tipo-tipo, Basilan, pada Sabtu lalu.
Naas. Begitulah kata yang tepat diucapkan. Namun apa daya, strategi gerilya kelompok yang dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyya (Harakatul Islamiyah) ini harus diakui lebih unggul ketimbang militer Filipina meskipun telah mendapat pelatihan antiteror dan pendanaan dari Amerika Serikat sejak 2001 era Presiden Gloria Macapagal Arroyo.
Sebegitu hebatkah Abu Sayyaf sampai-sampai Filipina seperti tak mampu memberangus kelompok yang mendiami wilayah Basilan, Filipina Selatan itu?
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Paramadina, Emil Radiansyah, mengatakan, Abu Sayyaf memiliki sejarah panjang untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam di negara mayoritas beragama Katholik itu.
Kelompok ini berdiri pada 1991 oleh Abdurajak Abubakar Janjalani, mantan anggota Front Nasional Pembebasan Moro (MNLF), yang kecewa lantaran tidak terwujudnya pemberian Otonomi Khusus Filipina Selatan oleh Manila (sebutan untuk Pemerintah Pusat Filipina).
Unggul strategi dan lokasi
Kelompok ini terdiri dari berbagai milisi Islam yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao.
"Sosok kelompok ini pun cukup disegani karena mereka selalu menggunakan teror dan kekerasan. Jadi, masyarakat menjadi takut untuk melapor ke pemerintah," kata Emil kepada VIVA.co.id, Kamis, 14 April 2016.
Pelafalan nama Abu Sayyaf diambil dari nama Profesor Abdul Rasul Sayyaf yang merupakan nama pejuang Mujahidin di Afganistan era pendudukan Uni Soviet.
Selain itu, Emil mengungkapkan, letak geografis juga menjadi keunggulan Abu Sayyaf dalam melakukan operasi. Pasalnya, Filipina dan Indonesia adalah negara kepulauan yang harus dijangkau oleh angkutan laut dan udara.
Apalagi, Filipina Selatan sangat dekat dengan Malaysia di Kalimantan Utara dan Pulau Sulawesi. Daerah ini merupakan perairan yang dikuasai Abu Sayyaf. Sebagai contoh, tertangkapnya 10 ABK WNI dan empat warga Malaysia karena melewati perairan tersebut.
"Mereka (Abu Sayyaf) sangat mengenai daerah kekuasaannya. Di mana harus berdiam diri, bergerak, menyergap lalu lari. Ini namanya taktik gerilya. Sulit untuk mendeteksi keberadaan mereka karena suka nomaden (berpindah-pindah), khususnya bagi militer Filipina," tutur dia.
Tak hanya strategi dan letak geografis, Abu Sayyaf juga memiliki persenjataan modern.
Menurut Ali Fauzi Manzi, pengamat terorisme dan mantan aktivis gerakan radikal asal Lamongan, Jawa Timur, walau tak se-update militer Filipina, Abu Sayyaf disebut-sebut memiliki banyak senjata granat antitank (rocket- propelled grenade/RPG), senapan serbu M-16 dan AK-47, juga tersedia dalam jumlah besar.
Ali, yang juga adik pelaku Bom Bali 2002 Amrozi, Ali Gufran, dan Ali Imran, mengetahui detail tersebut karena pernah mengikuti pelatihan militer di Mindanao saat bergabung dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF), sempalan MNLF.
Ia pun mengaku pernah "bersentuhan" dengan kelompok Abu Sayyaf pada 2002-2005.
"Mereka diajarkan memiliki kemampuan memodifikasi senjara, sehingga memiliki jarak tembak lebih jauh dan akurat. Apalagi memiliki pengalaman lama dalam pertempuran menghadapi Filipina. Jadinya sudah biasa," kata Ali Fauzi kepada VIVA.co.id.
Bahkan, mengutip situs Nytimes, terbunuhnya 18 tentara Filipina karena didukung oleh peluncur granat M203 dan pengerahan kekuatan dengan cepat hingga mencapai jumlah 100-150 orang. Tak pelak, situasi ini menyebabkan jatuh korban dalam jumlah yang besar dari militer Filipina.
Mafia China dan korupsi militer Filipina
Lantas, dari manakah Abu Sayyaf mendapatkan senjata? Emil mengatakan berasal dari perdagangan gelap atau small arms and light weapons (SALW) di wilayah segitiga emas yaitu Thailand, Malaysia dan Indonesia.
"Kita ketahui, di Thailand Selatan dan Poso, Sulawesi Tengah adalah wilayah konflik yang saat ini masih bergolak. Wilayah ini memang sudah lama menjadi tempat transaksi senjata gelap," katanya.
Selain itu, lanjut Emil, sekarang ini sedang marak pula transaksi senjata gelap di tengah laut. Ia pun menengarai penyelundupan senjata ini dipelopori oleh mafia China.
"Memang belum ada bukti. Tapi kita tahu juga kalau Filipina sedang bermasalah dengan China soal Laut China Selatan. Saya melihat di sini China bermain dan ini taktiknya agar Filipina fokus ke dalam negeri ketimbang memikirkan wilayah yang disengketakan itu," tegas Emil.
Soal jumlah anggota, menurut peta organisasi militan yang dibuat Stanford University, jumlah pejuang kelompok berideologi Salafi-Sunni itu berkisar 500 orang.
Itu pun pada Mei 2015. Angka ini sama dengan 2008 namun turun di 2010 yang jumlahnya hanya 445 orang.
Stanford juga menjelaskan, pada 2005, Pemerintah Filipina pernah mengeluarkan taksiran mengenai perlengkapan militer Abu Sayyaf.
Hasilnya cukup mengagetkan di mana kelompok itu memiliki peralatan untuk menembus kegelapan (night vision), sensor panas tubuh serta perahu cepat.
Tak hanya itu. Abu Sayyaf diperkirakan mendapatkan senjata dari kelompok Infante - sindikat penjualan obat bius dan senjata yang pemimpinnya dibekuk pada 2003, serta Viktor Bout, pedagang senjata gelap internasional yang turut memasok persenjataan Al-Qaeda dan Hizbullah sebelum tertangkap pada 2008.
Namun, yang mengagetkannya lagi, sejumlah perlengkapan canggih ini diduga dipasok oleh Angkatan Bersenjata Filipina.
Hal ini mengindikasikan kuat masalah korupsi akut yang menggerogoti militer.
Memang, Presiden Filipina Beningno Aquino III berjanji akan memberangus korupsi di tubuh militer Filipina di mana terjadi kesenjangan gaji antara perwira dengan prajurit. Termasuk investigasi tewasnya 18 prajurit Filipina.
Dalam dua dekade terakhir pula, korupsi memantik pemberontakan tentara Filipina, dan salah satu tokoh militernya adalah Kolonel Gregorio "Gringo" Honasan.
Korupsi skala luas di tubuh angkatan bersenjata itu melibatkan sejumlah pensiunan jenderal yang ditemukan memiliki properti di Amerika Serikat serta memindahkan dana militer untuk latihan dan gaji prajurit ke rekening bank pribadi mereka. Demikian seperti dikutip dari situs Spacewar.
(ren)