Desa Wisata, Cara Terakhir Dongkrak Wisatawan?
- ANTARA/Nyoman Budhiana
VIVA.co.id - "Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman."
Sepenggal bait lagu dari band legendaris Koes Plus berjudul Kolam Susu, yang nge-hits tahun 1970-an tersebut terasa enak didengar dan mudah dihapal, namun memiliki makna yang dalam. Satu kalimat sederhana yang memberi gambaran begitu kaya, subur, dan indahnya alam negeri ini.
Sebuah negeri kepulauan terbesar di dunia, yang terletak di dua benua Asia dan Australia dan dua samudera Pasifik dan Hindia, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini menawarkan keanekaragaman kekayaan dan keindahan alam, budaya, tradisi dan agama.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, ada sembilan portofolio produk pariwisata Indonesia, terbagi ke dalam tiga segmen yang dikembangkan. Cultural atau budaya sebanyak 60 persen, nature atau alam sekitar 35 persen, dan manmade atau buatan manusia 5 persen.
“Dari culture yang 60 persen itu, 20 persen wisata warisan budaya dan sejarah. Lalu 45 persen wisata kuliner, dan sisanya 35 persen wisata kota atau desa,” katanya.
Belum lagi keramahtamahan yang dikenal masyarakat dunia, membuat negeri berjuluk Zamrud Khatulistiwa memiliki begitu banyak keistimewaan yang tidak dimiliki negara lain dan bisa dinikmati oleh lebih dari 250 juta penghuni negeri, dan masyarakat dunia.
Potensi Wisata
Potensi wisata yang berlimpah membuat pemerintah, swasta dan warga berlomba-lomba 'membangunkan' sektor yang sempat lesu, karena menyadari sektor ini memiliki multiplier effect alias dampak berganda. Tidak hanya menyumbang devisa bagi negara, tapi juga banyak menyerap tenaga kerja dibanding sektor lain, bahkan yang selama ini menjadi jawara pemberi devisa ke kas negara, yakni minyak dan gas (migas).
Melihat potensi migas yang menipis, pemerintah melirik potensi alam yang tak akan habis,pariwisata. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata (Kemenpar) tak segan menggerek dana untuk sektor ini hingga Rp5 triliun tahun ini.
Meningkatnya anggaran berkorelasi pada naiknya target wisatawan mancanegara (wisman) menjadi 12 juta dan 260 juta wisatawan lokal. Akibatnya, pemerintah merangkul swasta dan penduduk lokal membangun desa wisata, yakni kawasan pedesaan yang memiliki karakteristik khusus untuk dijadikan daerah tujuan wisata.
Asisten Deputi Tata Kelola Destinasi dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Oneng Setya Harini menilai, masyarakat perlu menjadi tuan rumah bagi keberlangsungan pariwisata di Tanah Air.
"Bagaimana masyarakat bisa menciptakan kondisi yang kondusif dalam destinasi pariwisata agar pembangunan pariwisata bisa berjalan baik, sehingga masyarakat bisa mendapatkan manfaat ekonomi," katanya.
Namun, setelah ada Undang-undang (UU) Desa, fokus pengembangan desa wisata dilakukan desa itu sendiri. Pemerintah mendorong pengelola desa wisata dalam salah satu program anggaran dari dana desa, atau melalui anggaran pendapatan dan belanja desa (APBDes). Meski demikian, Kemenpar tetap melakukan pendampingan dengan peningkatan kapasitas dan memberikan bimbingan teknis kepada masyarakat desa.
Beragam Desa Wisata
Salah satu provinsi yang sukses membangun desa wisata adalah Pulau Dewata, Bali. Setelah tahun lalu berhasil membangun 53 desa wisata, Dinas Pariwisata Bali kembali 'ketagihan' mempersiapkan 11 desa wisata pada tahun ini. Sejumlah atraksi ditonjolkan, seperti atraksi adat, tradisi dan budaya khas.
”Agar tidak membosankan, pariwisata Bali harus menemukan inovasi baru. Desa wisata inilah jawabannya,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bali (Kadispar) AA Gede Yuniartha Putra.
Wisata yang bisa dieksplorasi d Bali tidak hanya terpusat di Bali Selatan dan Tenggara, namun akan merata di sana. Ini dimaksudkan agar wisawatan lokal maupun mancanegara tidak bosan berkunjung ke Bali, sehingga desa wisata terbaru memiliki karakater yang berbeda dengan desa wisata yang lebih dulu ada.
Menurutnya, terpenting dari program desa wisata adalah penyebaran objek wisatawan, sehingga menjadi lebih luas. Dengan begitu, ekonomi masyarakat akan menyebar. Bali menargetkan, 100 desa di wilayahnya mengalami peningkatan pada 2 tahun mendatang.
Desa lainnya yang bertransformasi menjadi desa wisata, yakni Desa Suluk, yang berlokasi di Kecamatan Dolopo, sekitar 17 kilometer (km) dari Madiun. Di desa ini, wisatawan bisa menikmati durian yang langsung dipetik dari pohon.
Bergeser ke Yogyakarta, ada desa gersang dan tandus yang berhasil disulap menjadi destinasi wisata alam dan agro. Desa yang berjarak 4 km dari ibukota kecamatan Patuk, 20 km dari ibu kota kabupaten Gunung Kidul, dan 25 km dari ibu kota provinsi Yogyakarta ini bernama Desa Ngalanggeran.
Masih di Kota Pelajar, ada Desa Wisata Mangir di Kabupaten Bantul. Suasana alam pedesaan yang masih alami dan sisa situs Keraton Mangir menjadi daya tarik wisatanya.
Selain itu, ada Kampung Dukuh di Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Di kampung ini, masyarakatnya masih menganut kepercayaan nenek moyang dan mereka anti memakai listrik maupun barang elektronik.
Masih banyak desa wisata lain, dengan suguhan unik dan menarik sebagai magnet penarik minat wisatawan, mengingat Indonesia memiliki 34 provinsi.
Dan melihat keanekaragaman Indonesia, yang bisa dieksplorasi, kita perlu berbangga, karena tak semua negeri di bumi ini memiliki keragaman sebanyak Indonesia.
Namun, yang menjadi pertanyaan, seberapa efektifkah menjamurnya desa wisata ini mendongkrak jumlah wisatawan? Sebab, tidak hanya sekadar mengembangkan desa wisata, ada faktor lain yang perlu diperhatikan. Misalnya, fasilitas dan infrastrukturnya.
Selain itu, masyarakat juga perlu menjaga keamanan, ketertiban, kebersihan, hingga keramahan destinasi wisata agar aktivitas pariwisata di sebuah destinasi akan berkembang lebih baik. Ini juga tidak menutup kemungkinan, jumlah wisman Indonesia bisa menyalip Malaysia dan Thailand.