DPR Menjawab Kritik Jokowi

Rapat paripurna DPR
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVA.co.id – Di tengah gencarnya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komaruddin memecut produktivitas parlemen memproduksi undang-undang, Presiden Joko Widodo melontarkan kritik tajam. Jokowi mengkritik bahwa parlemen terlalu fokus pada kuantitas undang-undang yang dibuat, sehingga mutunya dianggapnya tak terjamin.

Jokowi menyoroti banyak undang-undang, --sebenarnya produk bersama antara DPR dan pemerintah-- yang menghambat investasi. Jokowi menyarankan, DPR tak perlu menggenjot kuantitas. Tak apa-apa bikin sedikit undang-undang asalkan hasilnya berkualitas prima.

Sentilan Jokowi ini menjadi kontroversi, karena baru-baru ini, Ketua DPR, Ade Komarudin memangkas masa reses dan kunjungan ke luar negeri demi mengejar target pembahasan Rancangan Undang-Undang. Ade berharap, dari 40 RUU yang ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas), legislatif bisa menyelesaikan hingga 37 RUU.

Pada 27 Januari 2016, Ade mengumumkan bahwa masa reses dikurangi dari sebelumnya lima pekan menjadi 17 hari. Kunjungan ke luar negeri dikurangi setahun sekali, kecuali Komisi I (membidangi urusan luar negeri, Komisi VIII (membidangi urusan agama yang di dalamnya haji), dan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP).

Rupanya, DPR yang terlalu bersemangat membuat undang-undang itu justru membuat Jokowi tak tahan untuk melontarkan kritik. Jokowi menilai DPR tidak perlu menargetkan membuat puluhan undang-undang dalam setahun.

***

Pemerintah yang Usul RUU

Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, pun menjawab  kritikan Jokowi. Dia menyesalkan pernyataan Jokowi meminta wakil rakyat tidak terlalu banyak membuat undang-undang.

Sebab, justru mayoritas produk legislasi berasal dari usulan pemerintah yang notabene Jokowi berada di dalamnya.

"Jangan DPR sudah mau berbenah diri sebagai pembentuk undang-undang lalu disoroti lagi. Ini tidak boleh. Ini kan undang-undang kita bahas bersama," kata Supratman saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 31 Maret 2016.

Supratman mengingatkan, pembuatan undang-undang bukan hanya usulan DPR semata. Pembuatan undang-undang juga berangkat dari usulan pemerintah, yang kemudian dibahas bersama.

"Jadi, DPR sudah susun long list bersama pemerintah. Jadi, kalau Presiden nyatakan begitu, kalau dilihat komposisinya pemerintah dan DPR seimbang mengusulkannya," ujarnya.

Politisi Partai Gerindra itu mengatakan, Jokowi bisa saja menolak atau menunda, meski daftar rencana pembuatan undang-undang sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional.

"Kalau pemerintah tidak mau memperbanyak, ya silakan. Kalau tidak mau, pemerintah tidak usah usulkan saja. Tapi kan tidak seperti itu," ujarnya.

Supratman menegaskan bahwa DPR terus berbenah memperbaiki diri dengan mempercepat pembuatan undang-undang berkualitas. Jokowi tak perlu membatasi pembuatan undang-undang demi pembangunan masyarakat.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo, juga mengimbau pemerintah melaksanakan kritikan dari Jokowi tersebut.

"Pemerintah juga sama harus mengendalikan. Menyusun undang-undang itu berdua. Kewenangannya ada di DPR, tapi harus dibahas bersama Presiden," kata Firman.

Firman meminta pemerintah tidak selalu menyalahkan DPR dalam berbagai hal termasuk pembuatan undang-undang. "Jangan seolah pemerintah pusat itu yang paling suci," ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu menuntut pemerintah konsisten bila memang Jokowi ingin membatasi pembuatan undang-undang. Dia berpandangan, jangan sampai dibatasi pembuatan undang-undang, tapi nantinya pemerintah sendiri justru yang banyak mengusulkan pembuatan undang-undang.

"Kalau fungsi legislasi dibatasi, nanti DPR kerja apa? Itu kan kekuasaan yang diberikan UUD 1945. DPR pembuat undang-undang. Ukurannya bagaimana respons kebutuhan masyarakat," tuturnya.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, justru sepakat dengan pernyataan Presiden Jokowi yang meminta para wakil rakyat tidak mengutamakan kuantitas, namun kualitas terkait undang-undang. Menurut dia, tidak semua patokan keberhasilan legislasi berdasar kuantitas.

"Maka saya sepakat dengan Presiden. Tapi kualitas seperti apa?" kata Fadli di Gedung DPR, Jakarta, Kamis, 31 Maret 2016.

Menurut dia, apa yang disebut sebagai kualitas oleh Presiden Jokowi tidak jelas. Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011, tata cara pembentukan undang-undang DPR harus bersama dengan pemerintah baik menentukan long list maupun prioritas.

"Ini harus dibicarakan bersama dan selama ini tidak ada pembicaraan dari pemerintah soal ini, ujuk-ujuk pemerintah mengatakan ini. Jangan-jangan Presiden tidak membaca apa yang ditandatanganinya," dia menambahkan.

Politisi Partai Gerindra itu meminta pemerintah melakukan introspeksi terkait pengajuan rancangan-undang-undang. Upaya itu diharapkan menghasilkan kualitas undang-undang yang diinginkan bisa direalisasikan.

"DPR ini bukan sekadar pabrik undang-undang. Apalagi jika tidak sesuai dengan kepentingan nasional. Bahkan, ada rumor bahwa ada rancangan undang-undang titipan kepentingan asing, ini bahaya juga. Kami ingin melindungi kepentingan nasional dan kesejahteraan umum," ujarnya.

Fadli mengungkapkan, dari 40 undang-undang yang masuk Program Legislasi Nasional prioritas 2016, 13 rancangan adalah inisiatif dari pemerintah dan telah disepakati oleh DPR serta pemerintah.

***

Awal Polemik

Jokowi mengkritik DPR dalam sambutannya di acara “Dialog Publik Bersama Presiden Republik Indonesia, Membangun Ekonomi Indonesia yang Berdaya Saing”, di Balai Kartini, Jakarta, Rabu 30 Maret 2016.

"DPR tidak usahlah produksi undang-undang terlalu banyak. Tiga setahun cukup, lima cukup, tapi kualitasnya yang betul-betul baik," katanya.

Jokowi beranggapan, membuat aturan perundang-undangan yang terlalu banyak juga tidak berguna. Kadang, hambatan dalam investasi dan usaha juga terhadang oleh aturan dan undang-undang.

"Bukan kuantitasnya, jumlah 40, 50 untuk apa. Saya tahu saja, kenapa DPR senang banget (membuat UU)," kata Jokowi, tanpa memberi tahu alasan itu.

Dia mengeluhkan, banyak regulasi yang justru menjadi penghambat. Baik itu Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, hingga UU.