Membebaskan WNI dari Cengkeraman Abu Sayyaf

Komando Pasukan Katak (Kopaska) bisa diandalkan untuk operasi penyelamatan sandera.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana

VIVA.co.id - Aparat keamanan Indonesia sudah sepatutnya bereaksi cepat atas pembajakan dua kapal berbendera Indonesia – yaitu kapal tugboat Brahma 12 dan kapal tongkang Anand 12 yang membawa 7.000 ton batubara - dan penyanderaan 10 orang awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Diduga kuat pelakunya adalah kelompok militan Abu Sayyaf di perairan Filipina.

Bergerak cepat, namun harus dengan perhitungan matang. Bila benar pelakunya Abu Sayyaf, maka Indonesia menghadapi kelompok profesional yang memang salah satu profesi mereka adalah menculik orang demi mendapat tebusan – bahkan tak segan-segan bertindak brutal bila permintaan mereka tidak dituruti. Maka operasi penyelamatan para WNI ini tidak saja butuh keahlian dan kesigapan pasukan elite, namun juga negosiator yang andal dan analis intelijen yang paham akan kondisi di lapangan. 

Abu Sayyaf merupakan salah satu kelompok sempalan dari gerakan separatis Fron Pembebasan Nasional Moro (MNLF) di Mindanao, Filipina. Kelompok Abu Sayyaf terdiri dari milisi yang berbasis di sekitar kepulauan selatan Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao.

Kelompok yang memiliki afiliasi dengan Al Qaeda itu bertanggung jawab terhadap aksi-aksi pengeboman, pembunuhan, penculikan, dan pemerasan dalam upaya mendirikan negara Muslim di sebelah barat Mindanao dan Kepulauan Sulu.

Kapal Motor Brahma 12 yang dinakhodai Peter itu diduga dibajak kelompok Abu Sayyaf di perairan Laguyan, Tawi-Tawi, Mindanao Selatan. Saat ditemukan warga setempat, 10 kru dari kapal dengan call sign YDB-4731 itu sudah tidak berada di kapal. Mereka diduga sudah dibawa anggota kelompok Abu Sayyaf.

Berikut 10 nama kru kapal yang disandera di .

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nassir mengatakan, pihaknya pada hari Senin kemarin, 28 Maret 2016, menerima informasi awal mengenai adanya dua kapal berbendera Indonesia yang dibajak, serta 10 WNI awak kapal yang disandera di perairan Filipina.

Saat dibajak kedua kapal dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas (Fililina Selatan), dan tidak diketahui persis kapan kapal dibajak. Pihak pemilik kapal baru mengetahui terjadi pembajakan pada tanggal 26 Maret 2016, pada saat menerima telepon dari seseorang yang mengaku dari kelompok Abu Sayyaf.

"Kapal Brahma 12 sudah dilepaskan dan saat ini sudah di tangan otoritas Filipina. Sementara itu kapal Anand 12 dan 10 orang awak kapal masih berada di tangan pembajak, namun belum diketahui persis posisinya," ujar Arrmanatha dalam keterangan persnya, Selasa, 29 Maret 2016.

Dalam komunikasi melalui telepon kepada perusahaan pemilik kapal, para penyandera menyampaikan tuntutan sejumlah uang tebusan sebesar 50 juta peso atau sekitar Rp14,2 miliar. Mereka memberikan batas waktu uang tebusan lima hari, terhitung sejak Sabtu 26 Maret 2016 lalu.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, kini pemerintah sedang mengupayakan koordinasi dengan kelompok milisi Abu Sayyaf, agar segera membebaskan para sandera.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, juga sudah diperintahkan mengumpulkan data-data terkait peristiwa ini. Termasuk berkoordinasi dengan otoritas Filipina menyangkut upaya pembebasan yang sedang dilakukan.

"Dan kami juga berkoordinasi dengan pihak kepolisian dan aparat TNI untuk membantu agar proses pembebasan penyanderaan ini bisa segera dilakukan," kata Pramono di kantornya, Selasa 29 Maret 2016.   
   
Misi Pembebasan


Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Padjaitan memastikan, 10 WNI awak buah kapal Brahma 12 yang disandera di perairan Filipina oleh kelompok milisi Abu Sayyaf, hingga saat ini masih dalam kondisi hidup.

Adapun langkah pemerintah guna membebaskan WNI yang disandera masih menunggu proses negoisasi pihak perusahaan dengan kelompok Abu Sayyaf yang saat ini masih berlangsung.

Namun Luhut memastikan operasi penyelamatan sandera telah disiapkan.  Pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah untuk membebaskan sandera yang merupakan WNI bila proses negosiasi buntu. "Tapi apa langkah kami, kan tidak mungkin saya beberkan sekarang," tegas Luhut.

Komandan Pangkalan Utama TNI AL XIII Tarakan, Kalimantan Utara, Laksamana Pertama Wahyudi H Dwiyono mengatakan Tarakan akan menjadi pangkalan operasi gabungan untuk pembebasan 10 WNI di Filipina. Seluruh unsur TNI, Angkatan Darat, Laut dan Udara akan berkumpul di Tarakan menjalankan misi pembebasan sandera.

"Yang jelas, ini (operasi) gabungan melibatkan 159 pasukan, kemungkinan nanti berkembang, ada AD, AL dan AU," kata Laksamana Pertama Wahyudi di Lantamal XIII Tarakan, Selasa, 29 Maret 2016.

Sebanyak lima kapal perang RI (KRI) akan dikerahkan ke perairan Filipina untuk operasi pembebasan sandera. Selain lima KRI, helikopter TNI dan Sea Rider atau kapal cepat juga disiagakan untuk melakukan pengejaran target. Tarakan dijadikan pangkalan operasi, karena jaraknya tak jauh dari lokasi penyanderaan.

"Kurang lebih 180 nautical mile," ujar Wahyudi sembari menyebutkan lima KRI yang dikerahkan, KRI Surabaya, KRI Ajak, KRI Badik, KRI Mandau dan KRI Ahmad Yani.

Markas Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) TNI AL di Surabaya, Jawa Timur, juga telah bersiap. Sejumlah personel pasukan elite TNI AL, Komando Pasukan Katak (Kopaska), pun dilibatkan dalam operasi tersebut. Berapa jumlah pasukan elite yang akan menerobos markas Abu Sayyaf masih dirahasiakan.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) juga telah menyiapkan timnya untuk bergabung dalam tim negosiator 10 WNI yang disandera oleh milisi Abu Sayyaf di Filipina.

Informasi itu menyebutkan, tim yang terdiri dari 10 orang itu telah berkumpul di Markas Detasemen Khusus 81 (Satuan Penanggulangan) di komplek Mako Kopassus di Cijantung, Jakarta Timur, Selasa pagi.

Persiapan keberangkatan tim elite Kopassus itu langsung dicek oleh Danjen Kopassus Mayor Jenderal M Herindra. Setelah itu, mereka akan terbang ke Filipina dan bergabung dengan tim Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI untuk melakukan negosiasi.

Kepala Dinas Penerangan Kopassus Letkol Inf Joko Tri Hadimantoyo, saat dikonfirmasi mengenai kesiapan Kopassus dalam operasi pembebasan sandera, mengakui jika prajurit Kopassus selalu siap kapan pun diperintahkan.

Joko mengatakan, saat ini Kopassus hanya menunggu perintah karena seluruh kewenangan ada pada pemerintah sebagai pengambil keputusan.

"Persiapan personel. Disiapkan saja. Setiap waktu diminta siap," kata Kepala Penerangan Kopassus Letkol Infanteri Joko Tri Hadimantoyo, Selasa 29 maret 2016.

Meski demikian, Menlu RI Retno LP Marsudi, menekankan pemerintah akan mengutamakan keselamatan para WNI korban sandera Abu Sayyaf di Filipina. Pihak perusahaan pelayaran sejauh ini telah menyampaikan informasi tersebut kepada keluarga 10 awak kapal yang disandera.

"Kita akan terus bekerja dengan keras dan berkoordinasi untuk menyelamatkan semuanya," kata Retno, di Gedung Kemlu RI, Jakarta, Selasa, 29 Maret 2016.


[Baca juga: ]

Jalur Rawan

Wakil Ketua Komisi I DPR RI TB Hasanuddin menyoroti wilayah perairan tempat 10 WNI disandera milisi Abu Sayyaf. Menurut Hasanuddin, wilayah pembajakan kapal dan penyanderaan itu memang rawan tindak kejahatan.

"Wilayah sekitar laut Sulawesi sampai dengan pantai Cotabato atau Mindanao selatan memang merupakan daerah rawan dari kegiatan penyelundupan dan perompakan," kata TB dalam pesan tertulisnya, Selasa 29 Maret 2016.

Hasanuddin menerangkan di sekitar wilayah Mindanao itu memang banyak faksi-faksi perjuangan. Ia menyebut kelompok National People Army, Moro National Liberation Front (MNLF), Moro Islamic Liberation Front (MILF), dan juga kelompok bersenjata Abu Sayyaf.

"Semua kelompok ini punya teritorial dengan tujuan masing-masing dan sulit dikontrol oleh Angkatan Perang Filipina," ujar pensiunan jenderal bintang dua TNI AD ini.

Untuk pencarian dan penyelamatan 10 WNI tersebut, politikus PDIP ini menyarankan agar pemerintah melakukan upaya lain, yaitu melalui pendekatan lunak. "Lewat koordinasi dengan aparat intelijen setempat atau melalui tokoh warga negara Indonesia yang sudah tahunan berada di wilayah tersebut sebagai pelintas tradisional," terang dia.

Politikus PDIP itu mengakui kelompok Abu Sayyaf merupakan kelompok garis keras. Berdasarkan pengalamannya yang pernah bertugas di wilayah Mindanao, kelompok Abu Sayyaf dikuasai oleh empat kelompok, yang masing-masing punya tujuan berbeda.

"Abu Sayyaf itu garis keras, pasukannya cukup banyak, daerah itu memang sangat rawan. Untuk membebaskan WNI yang disandera ada dua cara, melalui diplomasi dan mengerahkan intelijen. Yang penting selamatkanlah, kalau soal tebusan itu dirembukkan," katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menilai penyanderaan ini menunjukan rasa frustrasi kelompok Abu Sayyaf. "Kelompok Abu Sayyaf saat ini makin terdesak dan kesulitan pendanaan. Mereka lakukan cara-cara pemerasan antara lain melalui penyanderaan," kata Ketua Komisi I Mahfudz Siddiq ketika dihubungi, Selasa 29 Maret 2016.

Para penyandera dikabarkan meminta sejumlah uang tebusan. Mereka meminta tebusan sebanyak 50 juta Peso, atau sekitar Rp15 miliar Rupiah. "Pemerintah tidak perlu memenuhi permintaan tersebut," ujar Mahfudz.

Menurut politikus PKS ini, yang terpenting dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah membangun koordinasi dengan pemerintah Filipina. "Koordinasi dengan pemerintah Filipina untuk pembebasan sandera WNI," tegas dia.

[]

(ren)