Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan, Layakkah?
Senin, 14 Maret 2016 - 05:36 WIB
Sumber :
- Antara/ Lucky R
VIVA.co.id - Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016, yang merupakan perubahan kedua atas Perpres Nomor 12 tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan telah dikeluarkan.
Aturan ini merupakan dasar hukum bagi kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dikenakan kepada masyarakat yang telah menjadi peserta.
Dikutip VIVA.co.id, Minggu 13 Maret 2016, dari Perpres tersebut ayat 16 F, ayat 1, kenaikan iuran BPJS kesehatan berlaku untuk semua golongan, yaitu golongan satu hingga tiga. Sementara rincian kenaikan tarif bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja:
Iuran kelas III perorangan dinaikan dari Rp25.500 per bulan, menjadi Rp30.ribu. Iuran kelas II perorangan naik dari Rp42.500 per bulan, menjadi Rp51 ribu per bulan. Iuran kelas I perorangan naik dari Rp59.500 per bulan, menjadi Rp80 ribu per bulan.
Berdasarkan Pasal 16F ayat 2, aturan tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 April 2016. Besaran iuran merupakan hasil akhir yang telah disepakati antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan BPJS Kesehatan itu sendiri. Atas dasar antara lain, penyesuaian tarif ditinjau dua tahun sekali dan berkaca dengan laporan keuangan 2015 yang mengalami defisit anggaran sebesar Rp5,85 triliun.
Ketika berbincang dengan VIVA.co.id, Minggu malam, 13 Maret 2016, Kepala Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi mengatakan, penentuan besaran iuran baru tersebut bukanlah kewenangannya. Angka tersebut merupakan pertimbangan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang berkoordinasi dengan instansi terkait di pemerintahan. "Artinya itu buka kewenangan kami," ujarnya.
Terkait dengan defisit anggaran BPJS Kesehatan tahun ini, dia menjelaskan, risiko tersebut tidak bisa dihindari. Sebab, meskipun iuran dinaikan, tapi tetap saja belum sesuai dengan perhitungan DJSN.
Dia mencontohkan, untuk iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI), pada tahun ini ditetapkan sebesar Rp23 ribu per peserta dari sebelumnya Rp19.500. Padahal, DJSM merekomendasikan naik menjadi Rp36 ribu.
Selain itu, menurutnya, ada beberapa peraturan baru yang diberlakukan tidak penuh satu tahun anggaran.
"Defisit belum bisa bisa dipastikan, karena kan berlaku April (kenaikan iuran), denda juga baru Juli diterapkan, jadi berapa defisitnya belum bisa di sampaikan," ungkapnya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kebijakan kenaikan iuran tersebut tidak rasional. Ada beberapa pertimbangan yang mendasari penilaian itu. Wakil Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menganggap, pemerintah tidak kreatif jika menyetujui kenaikan karena BPJS kesehatan mengalami defisit anggaran.
Defisit bisa ditekan apabila operasional BPJS dapat lebih efisien. "Kalau menutup defisit dengan menaikan iuran semua bisa, pemerintah harus bisa pengelola BPJS," ujarnya kepada VIVA.co.id.
Kedua, BPJS kesehatan harus bisa lebih transparan dalam mempublikasikan laporan keuanganannya. Dengan pengertian bahwa, peserta PBI harus benar-benar divalidasi dan terferifikasi penyalurannya.
Karena dari sisi konsumen, beban kenaikan yang lebih besar dirasakan oleh peserta non PBI. Jangan sampai beban iuran PBI yang secara tidak langsung juga disubsidi oleh peserta non PBI tidak tersalurkan sesuai dengan daftar yang telah dibuat.
"Ini tidak fair, selama ini mandiri (Non PBI) tidak pernah tahu, apakah yang dicover PBI itu benar-benar ada," tambahnya.
Baca Juga :
Pertimbangan ketiga, peningkatan iuran tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pelayanan dan jangkauan kesehatan yang di fasilitasi BPJS Kesehatan. "Kalau itu (peningkatan layanan) tidak dipenuhi, kenaikan ini tidak relevan," ujarnya.
Dalam kesempatan ini dia pun menyayangkan, kebijakan ini tidak diputuskan melalui konsultasi publik yang luas. Sehingga, tidak heran jika menuai pertentangan dari banyak pihak."Sejauh ini saya tidak melihat (Konsultasi publik)," tegasnya.
Apa kata pekerja?
Dari sisi buruh dan pekerja, tegas menolak keras kebijakan ini. Apalagi aturan dikeluarkan di tengah penurunan daya beli masyarakat, karena standar pengupahan yang tidak sesuai.
"Kenaikan iuran tersebut memberatkan buruh," tegas Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, ketika berbincang dengan VIVA.co.id.
Senada dengan YLKI, serikat buruh pun belum melihat BPJS Kesehatan optimal dalam menjalankan peran dan fungsi yang diamanatkan pemerintah. Hal itu tercermin dengan masih buruknya layanan yang diberikan kepada peserta.
"Buruh harus menambah biaya obat, belum lagi provider rumah sakit dan klinik swasta yang terbatas, dan belum jelasnya penerapan COB (Coordination of benefit). Jadi belum layak iuran BPJS dinaikan," tambahnya.
Dia pun menegaskan, menolak keras adanya wacana perubahan komposisi iuran pekerja dan pengusaha menjadi dua persen pekerja dan tiga persen pengusaha. Karena hal tersebut tidak sesuai dengan komitmen awal pemerintah memberikan fasilitas jaminan kesehatan yang penuh bagi masyarakat.
Terkait dengan defisit anggaran BPJS Kesehatan, dia juga menekankan, tidak adil bagi peserta, jika harus menanggung beban itu, khususnya bagi peserta non PBI. Terlebih lagi, implementasi kebijakan ini secara adil dan tidak memberatkan rakyat merupakan salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo.
"Seharusnya dilakukan pemerintah dengan adanya defisit anggaran BPJS per tahun Rp5 triliun adalah dengan menaikan anggaran PBI menjadi Rp30 triliun per tahun seperti janji kampanye," tegasnya.
Mengenai pembagian porsi iuran bagi peserta non PBI, BPJS Kesehatan menegaskan perubahan itu hanya berlaku bagi peserta yang statusnya Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan, bagi pekerja atau buruh swasta tetap menggunakan persentasi kebijakan sebelumnya.
"Buat swasta itu dan buruh itu tetap empat persen (Pengusaha)- satu persen (Pekerja), persentase itu tidak berubah," tegasnya.