Industri Otomotif Gonjang-ganjing, RI Tak Perlu Panik

IIMS 2015
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id - 2015 diakui banyak pihak sebagai masa suram bagi para pelaku industri, termasuk di dalamnya produk-produk otomotif seperti mobil dan motor. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS disebut-sebut menjadi salah satu penyebab lesunya penjualan.

Jelang pergantian tahun, beberapa produsen otomotif mulai menaruh harapan besar akan membaiknya daya beli masyarakat. Hal ini makin diperkuat dengan tercapainya target penjualan kendaraan roda empat sebesar lebih dari satu juta unit pada 2015 lalu.

Namun, ada juga yang menilai, ekonomi masih akan stagnan hingga paruh kedua 2016. Hal ini disebabkan kondisi nilai tukar rupiah masih belum menunjukkan angka yang stabil. Padahal, tahun ini bisa dibilang tidak ada agenda politik berskala besar.

“Tahun ini kami melihat pasar menunjukkan angka yang cukup positif. Karena tidak ada Pilkada atau Pemilu, jadi seharusnya perekonomian stabil,” kata Sales and After Sales Service Director PT Honda Prospect Motor (HPM), Jonfis Fandy, beberapa waktu lalu.

Namun, hal berbeda disampaikan Johannes Loman, wakil ketua I Asosiasi Industri Sepedamotor Indonesia atau AISI. Menurutnya, asosiasi memproyeksi industri otomotif 2016 akan flat seperti tahun ini. Dilihat dari indikator ekonomi, ia belum melihat ada sesuatu perubahan yang signifikan.

Pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan, harga komoditas seperti karet, minyak sawit mentah, dan batu bara masih turun, serta kurs rupiah yang masih naik turun adalah penyebab industri otomotif kemungkinan tidak mengalami kenaikan pada 2016.

“Yang paling memengaruhi adalah harga komoditas karena komoditas yang menggerakkan ekonomi,” ujarnya.

Selanjutnya....ramai-ramai angkat kaki

Salah satu pabrikan mobil yang memiliki basis produksi di Indonesia rupanya harus menyerah menghadapi masa sulit di 2015. PT General Motors Indonesia, pemegang merek Chevrolet di Tanah Air, memutuskan untuk menutup pabrik mereka di Bekasi.

Pabrik itu tadinya digunakan untuk memproduksi mobil multi purpose vehicle (MPV) Chevrolet Spin. Namun karena mereka merasa kalah saing dengan merek-merek asal Jepang, akhirnya diputuskan untuk dihentikan produksinya.

Di Awal 2016, berita duka juga datang dari PT Ford Motor Indonesia. Pabrikan asal Amerika Serikat ini memilih untuk menutup semua diler mereka yang ada di Indonesia dan Jepang mulai paruh kedua 2016.

Nantinya, semua impor dan penjualan mobil akan dihentikan. Pihak Ford hingga saat ini belum memutuskan, apa nasib pada pemilik mobil buatan mereka nantinya. Dukungan servis dan suku cadang untuk sementara hanya tersedia hingga akhir 2016.

Dan kemarin, satu agen pemegang merek motor gede (moge) dikabarkan akan berhenti berjualan. PT Mabua Harley-Davidson dan PT Mabua Motor Indonesia, terhitung mulai 31 Desember 2015, tak lagi menjadi agen tunggal Harley-Davidson di Indonesia.

Kabar pertama kali mencuat berdasarkan dokumen internal yang bocor di kalangan wartawan. Surat itu tercatat dikeluarkan langsung oleh Presiden Direktur PT Mabua Harley-Davidson Djonnie Rahmat.

Meski pihak Mabua belum mau berkomentar mengenai hal tersebut, salah seorang sumber yang sangat dekat dengan permasalahan ini menuturkan kepada VIVA.co.id, jika kabar tersebut benar adanya. Keagenan Harley-Davidson yang selama ini dipegang Mabua akan dilepas.

"Itu benar. Kami semua sangat prihatin dengan kabar ini. Itu surat memang dari Pak Djonnie (Direktur Utama PT Mabua Motor Indonesia Djonnie Rahmat), 10 Februari nanti akan dijelaskan semuanya. Yang pasti, keagenan akan dilepas Mabua," kata sumber yang enggan disebut namanya saat dihubungi, Jumat 5 Februari 2016.

Selanjutnya....ketatnya persaingan pasar otomotif

Dalam surat tersebut, disebutkan alasan Mabua untuk tidak lagi memperpanjang kontrak dengan Harley-Davidson. Untuk bisa memasukkan kendaraan secara utuh (completely built up atau CBU), agen harus membayar sejumlah bea masuk dan pajak.

Berikut isi surat tersebut:

Selama beberapa tahun terakhir, iklim usaha pada sektor otomotif, khususnya di bidang motor besar, mengalami berbagai kendala, antara lain yaitu:

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang US Dollar, yang dimulai sejak pertengahan tahun 2013 dan berlanjut sampai dengan saat ini mencapai lebih kurang 40 persen.

Kebijakan pemerintah Republik Indonesia mengenai tarif bea masuk serta pajak yang terkait dengan importasi dan penjualan motor besar, antara lain:

a. PMK No 175/PMK.011/2013 tentang kenaikan tarif PPh 22 import dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen.

b. PP no 22 tahun 2014 tentang kenaikan pajak penjualan barang mewah dari 75 persen menjadi 125 persen.

c. PMK No 90/PMK.03/2015 tentang penetapan tarif PPh 22 Barang Mewah untuk motor besar dengan kapasitas mesin di atas 500 cc dari 0 persen menjadi 5 persen.

d. PMK no 132/PMK.010/2015 tentang kenaikan tarif bea masuk motor besar dari semula 30 persen menjadi 40 persen.

Total keseluruhan pajak untuk importasi motor besar mencapai hampir 300 persen, tidak termasuk bea balik nama dan lainnya.

Pengenaan pajak yang tinggi memang dilakukan pemerintah RI agar pabrikan mau menanamkan investasi di dalam negeri. Jika mereka mau membuka pabrik perakitan, maka pajak yang harus ditanggung bisa berkurang.

Selain itu, perusahaan juga bisa menggunakan komponen buatan dalam negeri, agar harga jual kendaraan bisa kompetitif dengan merek lain.

Seperti Mabua, Ford Motor Indonesia juga mengakui sulitnya bersaing dengan merek-merek lain, terutama dari Jepang. Banyak pabrikan asal Jepang yang sudah lama ada di Indonesia, dan mereka menanamkan modal yang begitu besar.

Selanjutnya...nasib pelaku industri otomotif lainnya

Dengan adanya kasus ini, muncul pertanyaan, bagaimana dengan para pelaku industri otomotif lainnya yang ada di Indonesia?

Menurut pengamat otomotif Bebin Juwana, potensi pasar Indonesia sudah diprediksi jauh-jauh hari oleh para produsen otomotif, terutama yang berasal dari Jepang, yang saat ini usia keberadaannya lebih dari 30-40 tahun.

“Mereka memiliki reputasi yang sudah terbentuk, sehingga masyarakat percaya akan produk, purna jual dan jaringan diler,” jelas Bebin saat berbincang dengan VIVA.co.id, Jumat 5 Februari 2016.

Sebaliknya, lanjut Bebin, kehadiran produsen otomotif yang tampil belakangan di Indonesia memang tidak akan langsung memetik manisnya potensi pasar.

Masyarakat dinilai lebih percaya akan reputasi perusahaan yang sudah lama tertanam. “Jadi, berat untuk para pemain baru,” jelasnya.

Meski demikian, bukan berarti pabrikan Jepang ‘kebal’ dengan adanya kelesuan pasar. Beberapa hari lalu, beredar informasi bahwa PT Astra Honda Motor (AHM) telah melakukan pengurangan karyawan, dengan alasan efisiensi.

"AHM lebih ke komponen motor Honda-nya. Sekarang banyak karyawan kontrak yang tidak diperpanjang masa kerjanya, karena itu dilakukan PHK," ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal.

Said menjelaskan, pengurangan jumlah karyawan kontrak itu juga menyasar kompetitor Honda, yakni Yamaha. Diungkapkannya, Yamaha tengah melakukan pengurangan karyawan secara bertahap.

Menanggapi hal tersebut, Deputy Head Corporate Communication AHM, Ahmad Muhibuddin (Muhib), ikut angkat bicara.

“Memang ada, tapi tidak ada PHK. Jadi sebenarnya karyawan kontrak yang habis masanya dan itupun sudah tersubstitusi oleh kontrak baru yang jumlahnya sama,” ungkap Muhib.

Ia juga menyatakan, dalam kondisi ekonomi yang sulit dan berdampak pada penjualan motor secara domestik, pihaknya berusaha keras untuk melakukan efisiensi.

“Kendati demikian kami menghindari sekali PHK. Kami yakin upaya efisiensi dengan tetap memperhatikan kesejahteraan karyawan akan bermanfaat dan di sisi lain. Kami punya harapan besar, market akan rebound," jelasnya.

Selanjutnya...Toyota akuisisi Daihatsu

Langkah efisiensi juga diterapkan oleh pabrikan mobil terbesar di dunia, Toyota Motor Corporation (TMC). Beberapa hari lalu, TMC mengumumkan resmi bahwa mereka membeli semua saham Daihatsu.

Proses pembelian ini rencananya akan rampung pada 1 Agustus 2016 mendatang. Nantinya, Toyota dan Daihatsu akan berbagi semua hal, mulai dari teknologi hingga efisiensi.

Soal efisiensi, Toyota akan belajar banyak dari Daihatsu, mulai dari bagaimana membuat mobil dengan biaya yang lebih rendah hingga mengubah manajemen agar lebih efektif dalam hal pendanaan.

Meski seolah-olah Toyota sedang melebarkan sayapnya, namun langkah ini juga terlihat sebagai salah satu cara mereka untuk mengurangi biaya operasional, demi bisa tetap kompetitif di pasar global.

Apalagi, raksasa otomotif dunia itu juga baru 'menyuntik mati' salah satu merek mobilnya, yakni Scion.

Merek Scion sengaja dibuat TMC pada 2002 dan ditargetkan mengambil pasar di kawasan Amerika Utrara.

Hanya saja, setelah 13 tahun terjun dalam kancah otomotif dengan mengincar konsumen anak muda, merek Scion penjualannya justru mengalami penurunan.

"Ini bukan langkah mundur untuk Scion, tapi itu lompatan ke depan untuk Toyota. Scion telah memungkinkan kita untuk membuat ide-ide di jalur yang cepat dan menantang untuk menguji melalui jaringan Toyota,” kata pendiri Scion, Jim Lentz, dilansir dari Carscoops. (ren)