Merancang Premium Hengkang dari Ibukota
- Antara/Fanny Octavianus
VIVA.co.id - Rencana Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menghapus bahan bakar minyak jenis premium dari Jakarta menuai reaksi sejumlah kalangan. Protes paling keras disampaikan sopir-sopir angkutan kota.
Mereka berpikir sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta, Ahok terlalu egois, dan tidak memikirkan nasib mereka.
Dedi, sopir angkot, misalnya. Pria 55 tahun ini tak setuju dengan rencana itu. Sopir angkutan kota (angkot) jurusan Kampung Melayu-Pasar Minggu itu meminta Ahok, sapaan Basuki, untuk mempertimbangkan kembali rencana tersebut.
"Pak Ahok (sapaan Basuki) harusnya jangan egois dong, pikirin nasib kami juga," ujarnya saat ditemui VIVA.co.id, di Jakarta, Kamis, 4 Februari 2016.
Penolakan Dedi bukan tanpa alasan. Dengan dihapusnya premium, menurut Dedi, itu berarti dia harus mengalihkan pemakaian premiumnya ke jenis bahan bakar yang lain seperti pertalite atau pertamax.
Namun, harga dua jenis BBM tersebut yang lebih mahal, yaitu pertamax Rp 8.500 per liter dan pertalite Rp7.900 per liter daripada premium Rp7.050 per liter, dapat berimbas pada kenaikan tarif angkutan. "Kalau tarif naik penumpang sepi, nanti makin rugi saja kami," ujarnya.
Segendang sepenarian. Hasan (44), karyawan swasta, juga tidak setuju jika premium dihapuskan dari Jakarta. "Sekarang mayoritas pengendara pakai premium. Jika itu dihapuskan, nantinya malah menyusahkan masyarakat," ujarnya.
Ahok punya alasan berbeda soal usulannya itu. Menurut dia, rencana ini malah akan meringankan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Selama ini, subsidi BBM dianggapnya kurang tepat sasaran untuk Ibukota. Subsidi itu justru mendorong masyarakat menjadi konsumtif.
Dengan menghapus premium dari Jakarta, subsidi yang semula diberikan untuk bahan bakar tersebut bisa dialihkan ke fasilitas umum, seperti transportasi massal. "Model (subsidi) seperti itulah yang akan terus kami lakukan. Kalau rakyat enggak punya uang, minimal kami berikan mereka
transportasi untuk bekerja," ujarnya.
"Model subsidi seperti ini juga yang akan membantu menstabilkan angka inflasi kita," Ahok menambahkan.
Tak hanya itu tujuannya. Bak sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, rencana Ahok itu juga untuk mengurangi polusi di Jakarta. Kadar oktan premium yang rendah membuat konsumsi bahan bakar ini tak ramah bagi lingkungan.
Penghapusan premium pun untuk memaksa para pengusaha angkutan umum beralih ke bahan bakar gas (BBG). Sejak 2005, Pemerintah Provinsi DKI telah berupaya menerapkan Peraturan Daerah (Perda) DKI Nomor 2 Tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Pada Pasal 20 Perda, yang disahkan pada masa kepemimpinan Gubernur DKI Sutiyoso, itu mengatur agar setiap angkutan umum tak lagi menggunakan BBM tapi BBG.
Namun para pengusaha angkutan bergeming. Mereka kerap beralasan pemerintah belum menyediakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) dengan jumlah yang mencukupi.
Demi menyelesaikan masalah itu, DKI lantas mengorbankan beberapa taman untuk dijadikan tempat penyimpanan Mobile Refuelling Unit (MRU). Adalah Perusahaan Gas Negara (PGN) yang mengoperasikan MRU tersebut.
Dengan begitu, para pengusaha angkutan tak lagi memiliki alasan untuk menolak mengganti bahan bakarnya ke BBG. "Enggak ada alasan. Converter kit sudah kita siapkan. Saya bilang Anda harus ganti gas. Kalau Anda bandel, ya saya setop (peredaran) premium," kata Ahok.
Rencana penghapusan premium yang dilontarkan Ahok pada Selasa, 2 Februari 2016, itu telah dikoordinasikan ke Pertamina. Pemerintah Provinsi DKI lantas melayangkan usulan secara formal atas wacana tersebut.
Gayung bersambut. PT Pertamina (persero) memberi lampu hijau terhadap keinginan Ahok. Isyarat itu antara lain dilandasi faktor pemakaian BBM di Jakarta.
"Jakarta itu provinsi yang konsumsi BBM paling besar. Dia (Jakarta) itu lebih dari 20 persen dari seluruh Indonesia. Kalau itu berkurang, enak banget bagi Pertamina," kata Direktur Pemasaran PT Pertamina Ahmad Bambang.
Adapun untuk konsumsi premium nasional mencapai 75 ribu kilo liter per hari. "Kalau di DKI Jakarta itu per hari itu sekitar 4.150 kilo liter per hari, tapi variatif," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro saat ditemui di Kompleks DPR RI, Kamis, 4 Februari 2016.
Menurut Wianda, Ahok telah mengirimkan surat usulan tersebut ke Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Surat itu pun ditembuskan ke Direktur Utama Pertamina. Nantinya, usulan Ahok itu akan dibahas bersama. "Aspirasinya seperti apa, mekanismenya seperti apa, dan apakah ini bisa dilakukan dalam waktu dekat," ujarnya.
Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menilai, rencana Ahok itu terkesan terburu-buru. Menurut dia, usulan tersebut perlu dikaji secara menyeluruh lebih dulu.
Banyak faktor yang harus dilihat sebelum diputuskan untuk menghapus premium. Masalah kesiapan Pertamina hingga daya beli masyarakat, misalnya. "Ini memerlukan suatu keputusan yang tidak terburu-buru," katanya.