Pemerintah dan DPR Sepakat Revisi UU KPK, Upaya Pelemahan?

Gedung Baru KPK
Sumber :
  • ANTARA/Hafidz Mubarak

VIVA.co.id – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bersepakat untuk merevisi undang-undang yang mengatur Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UU Nomor 30/2002 tentang KPK, atau biasa disebut UU KPK. Ini bukan percobaan pertama, tetapi upaya kali ini langkahnya telah cukup jauh.

Kesepakatan tersebut, masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR tahun 2016. Masuk dalam kesepakatan antara pemerintah dan parlemen itu adalah, Revisi UU KPK menjadi usul inisiatif DPR. Kini, Badan Legislasi DPR yang mendapatkan tugas merumuskan draf revisi UU tersebut.

Awal pekan ini, Baleg DPR memulai tahapan awal pengharmonisan konsepsi RUU perubahan atas UU 30/2002 tentang KPK. Terungkap dalam rapat perdana itu, empat poin utama yang diusulkan masuk dalam revisi tersebut. Yakni, izin dan mekanisme penyadapan, Dewan Pengawas KPK, Penyelidik dan Penyidik KPK, serta penambahan kewenangan KPK untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah penghentian Penyidikan) dalam perkara tindak pidana korupsi.

Rencana revisi UU tersebut mendapatkan penolakan kalangan masyarakat sipil. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 12 Januari 2016, menunjukkan publik tidak setuju adanya revisi UU KPK dengan empat poin utama tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif SMRC, Djayadi Hanan, dari seluruh responden hanya 26 persen yang mengikuti isu soal revisi UU KPK. Dari angka tersebut, terdapat 61 persen responden yang berpendapat revisi UU KPK akan memperlemah KPK. Lalu, sebanyak 29 persen revisi tersebut akan memperkuat KPK dan selebihnya menjawab tidak tahu.

Kalangan masyarakat sipil mencurigai bahwa revisi ini untuk melemahkan KPK. Penolakan demi penolakan telah disampaikan dalam berbagai kesempatan, baik melalui pernyataan sikap, forum diskusi, hingga aksi unjuk rasa.

Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, menilai adanya potensi konflik kepentingan di DPR, dalam melakukan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Salah satunya, terindikasi dari keberadaan Sareh Wiyono selaku Ketua Badan Legislasi DPR.
 
"Ketua Baleg, Pak Sareh Wiyono adalah orang yang pernah punya masalah dengan KPK dalam kasus Bansos di Bandung. Jadi, ada potensi COI (Conflict Of lnterest). Ini perlu diklarifikasi, agar tidak menimbulkan syak wasangka tentang motif dan kepentingan revisi," kata Bambang dalam pesan singkatnya, Selasa 2 Februari 2016.
 
Menurutnya, sikap ngotot anggota dewan yang notabene wakil rakyat dalam melakukan revisi juga menjadi pertanyaan. Kata Bambang, sikap rakyat yang tercermin dalam petisi di situs Change.org, justru menunjukkan adanya upaya masyarakat menolak revisi. "Jadi, kepentingan siapa yang diwakili agar dilakukan perubahan," ujar dia.
 
Bambang juga menyoroti tidak adanya naskah akademik yang bisa dijadikan dasar rujukan, serta alasan dan argumen atas pasal-pasal yang akan direvisi. Dia menjelaskan, jika tidak terdapat naskah akademik, revisi dilakukan lewat proses yang cacat secara prosedural, karena melanggar tata cara pembuatan undang-undang.
 
Bambang menyoroti, poin-poin yang diusulkan untuk revisi merupakan isu yang sangat rawan dan berpotensi mengintervensi independensi KPK. "Sehingga, akuntabilitas lembaga bisa kehilangan marwah dan legitimasinya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya," ujarnya.

***

Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fahri Hamzah meminta kali ini DPR jangan buru-buru dipojokkan soal revisi tersebut. "Revisi UU KPK itu kami ini sudah agak diam, kami capek disalahpahami. Yang mengungkit ini kan pemerintah. Jangan lempar bola ke DPR," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Selasa.

Menurutnya, DPR merupakan pihak yang pasif dan mendapatkan lobi dari pemerintah yang mengajukan dan menginginkan adanya perubahan di Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 itu. "Pemerintah yang pengen. Pemerintah sehari-hari dapat keluhan dari polisi dan jaksa. Kami mengawasi," ujar Fahri.

Pemerintah dan Parlemen sehati

Pemerintah dan DPR sudah sehati dalam melakukan revisi terhadap Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada empat poin yang menjadi kesepakatan bersama untuk merevisi UU KPK tersebut. Yakni penyidik independen, penyadapan, Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3, dan Dewan Pengawas KPK.

"Dibahas ya, kita tunggu waktunya. Poinnya empat itu saja. Saya lihat teman-teman DPR kelihatanya hampir sama," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan, di Istana Negara, Jakarta, Senin 1 Februari 2016.

Senada, Ketua DPR Ade Komaruddin, mengatakan perkembangan revisi UU KPK kini sudah masuk pada pembahasan panitia kerja, atau panja. Dia menjamin, koridor pembahasan revisi UU KPK hanya di sekitar empat hal itu.

Ade menjamin, tidak akan ada hal lain yang direvisi di luar itu. "Itu hasil komitmen bersama, tujuannya untuk menguatkan KPK," kata Politisi Partai Golkar itu.

***

Pro dan kontra revisi

Meski telah menjadi kesepakatan bahwa revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi usul inisiatif DPR, sejumlah fraksi keras menyampaikan penolakan. Fraksi Gerindra menolak revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.

Anggota dewan asal Partai Gerindra, yang juga Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon mengatakan, penolakan itu adalah bentuk konsistensi partainya dalam mendukung keberadaan lembaga antirasuah itu.

"Saya sendiri belum melihat draf itu. Sikap fraksi kami tetap menolak, karena dapat melemahkan KPK," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Selasa 2 Februari 2016.

Menurutnya, potensi pelemahan KPK tetap ada dalam rencana perubahan atas produk legislasi tersebut. Dia mencontohkan, upaya itu bisa masuk melalui usul adanya Dewan Pengawas yang didesain sedemikian rupa, sehingga ada yang bermain di sisi prosedur.

"Bisa saja di Dewan Pengawas, karena akan terlalu lama prosedurnya. Tetapi, pada prinsipnya memang harus ada yang mengawasi. Tetapi, jangan kewenangan diambil alih oleh Dewan Pengawas yang nanti akan melemahkan KPK," ujarnya.

Partai Gerindra berencana menolak revisi UU tersebut melalui mekanisme pemungutan suara. "Penolakan itu kan harus rasional. Itu sikap politik dari Fraksi Gerindra. Kalau pun harus diputuskan, kami minta voting," katanya.

Sementara itu, Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) merupakan fraksi yang terus mendesak adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Bahkan, ada usulan, usia KPK dibatasi sampai 12 tahun, setelah revisi diundangkan.

Namun, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, revisi UU KPK jangan lagi ditarik sebagai usulan per fraksi. "Ini kan, bukan lagi menjadi persoalan per fraksi. Tetapi, usulan secara keseluruhan," kata Pramono di Istana Negara, Jakarta, Selasa 2 Februari 2016.

Menurut dia, karena sudah menjadi keputusan DPR, maka tanggung jawabnya menjadi kelembagaan. Untuk itu, karena parlemen sebagai inisiatornya, maka pemerintah menunggu Daftar Isian Masalah (DIM) yang diusulkan.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristianto mengatakan, revisi dilakukan untuk bagaimana adanya sistem pengawasan di dalam KPK sendiri.

"UU 1945 saja telah kita lakukan perubahan. Kemudian, kalau kita ingin mengubah UU KPK jangan diartikan semangat yang berlawanan dengan pemberantasan korupsi," ujar Hasto usai Diskusi Rakernas PDIP di DPP PDIP di Jakarta, Senin 4 Januari 2016.

Menurut Hasto, kewenangan besar KPK seperti penyadapan harus diatur, agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik. Berkaca pada kasus yang lalu, seperti bocornya surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum dianggap sebagai bagian dari kepentingan politik pihak tertentu.

"Yang saya lihat sendiri dari yang saya alami, bocornya Sprindik Anas, itu juga tidak terlepas dari kepentingan politik," katanya.

Karena itu, untuk mencegah terjadinya kejadian serupa, DPR mengusulkan revisi UU KPK. "Kami tidak punya niat untuk memperlemah KPK, yang kami dorong adalah bagaimana sinergi antar penegak hukum," kata Hasto.

Sementara itu, pimpinan KPK menyatakan akan menolak usulan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, jika justru akan melemahkan lembaga itu. "Spirit (semangat) dari kami berlima dan KPK secara keseluruhan, kalau revisi ini akan melemahkan KPK, pasti kami tolak," kata Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarief, di kantornya, Jakarta, Senin 1 Februari 2016.

Sedangkan Ketua KPK, Agus Rahardjo, mengaku tengah mempelajari naskah usulan revisi Undang-undang KPK dari DPR. Agus baru saja menerima draf itu.
 
"Kami sudah menerima drafnya. Nanti, kami akan tentukan pasal-pasal mana yang sebaiknya tidak disentuh dan pasal-pasal yang perlu disempurnakan, supaya cita-citanya adalah memperkuat KPK," kata Agus.
 
KPK juga siap memenuhi undangan DPR untuk memberikan masukan mengenai revisi undang-undang itu. Pimpinan dijadwalkan menghadiri undangan rapat dengan DPR pada Kamis besok, 4 Februari 2016. (asp)