Diplomasi RI Demi Kedamaian Iran dan Saudi
- REUTERS/Raheb Homavandi
VIVA.co.id - Ditengah pergolakan politik Iran dan Saudi, Indonesia memilih menghampiri. Berharap damai kembali terwujud di negeri para nabi.
Awal tahun 2016, wilayah Timur Tengah ‘mendidih.’ Bermula pada Sabtu, 2 Januari 2016, ketika Arab Saudi mengumumkan telah mengeksekusi 47 orang yang dianggap terlibat dalam aksi ekstremisme dan penyebaran ideologi jihad di negaranya. Salah satu yang dieksekusi oleh Saudi adalah Nimr al Nimr, ulama terkemuka di Iran.
Keputusan Saudi untuk mengeksekusi al Nimr menuai kemarahan warga Iran. Hanya hitungan jam setelah Saudi menyampaikan pengumuman, ratusan warga Iran melakukan demonstrasi di Kedubes Saudi di Teheran. Massa yang marah melemparkan berbagai benda ke kantor kedubes. Puncaknya, mereka membakar kantor kedubes. Beruntung, saat itu kantor kedubes kosong sehingga tak mencelakai siapa pun.
Kerajaan Saudi marah. Mereka memanggil pulang seluruh staf diplomatnya. Puncaknya, Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Saudi juga meminta seluruh staf diplomatik Iran untuk meninggalkan Saudi dalam waktu 48 jam.
Melalui pengumuman resmi yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Saudi Adel al Jubeir, Saudi resmi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran. "Kerajaan mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Iran. Tak hanya itu, kami juga meminta, agar semua delegasi pergi dari sini dalam waktu 48 jam. Duta besar juga telah kami panggil untuk memberitahu mereka," ujar Jubeir, seperti dikutip dari Reuters, Senin, 4 Januari 2016.
Iran menganggap tindakan Saudi berlebihan. "Iran sangat komit untuk melindungi diplomat berdasarkan perjanjian internasional. Namun Saudi Arabia, mengembangkan ketegangan, dengan menggunakan masalah ini sebagai bahan bakar untuk menaikkan tensi," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Hossein Jaberi Ansari, seperti dikutip dari Reuters, 4 Januari 2016.
Keputusan Saudi dibalas Iran dengan memutuskan hubungan ekonomi. Seluruh kontrak investasi dan perdagangan dengan Saudi dikurangi secara drastis. Begitu pun Saudi. Kedua negara ini menyeret diri mereka dalam konflik politik dan ekonomi.
Ketegangan dua negara yang sama-sama memiliki pengaruh kuat ini menimbulkan kekhawatiran di berbagai belahan dunia. Iran dan Saudi sama-sama produsen minyak terbesar di Timur Tengah, keduanya juga sama-sama mengklaim sebagai pengusung dua aliran besar dalam Islam, Suni dan Syiah. Saudi direpresentasikan sebagai Suni, dan Iran sebagai Syiah. Keduanya sama-sama memiliki negara yang mendukung. Jika konflik militer pecah diantara mereka, maka negara di seluruh dunia akan merasakan imbas yang luar biasa.
"Pecahnya hubungan diplomatik antara Saudi dan Iran bisa meluas dan tak terkontrol," komentar Fawaz Gerges, ketua Studi Timur Tengah Kontemporer di London School of Economic, Inggris. Menurut Gerges, konflik keduanya sudah lama hidup dan terjadi sebelum Saudi memutuskan hubungan diplomatik. "Konflik mereka terus menguasai Arab selama beberapa waktu," kata Gerges, seperti dikutip dari CNN, Senin, 4 Januari 2016.
"Situasi ini secara ekstrem menarik jarak antara dua kekuatan besar di Teluk. Suni yang didominasi Saudi Arabia, dan Syiah yang didominasi Iran. Mereka tak hanya perang pernyataan, namun juga perang kuasa. Ini sangat mungkin membuat situasi menjadi sangat buruk dan berbahaya dalam beberapa pekan ke depan, juga beberapa bulan ke depan," kata Gerges.
"Apa yang tampak saat ini bukanlah perang pernyataan, namun ini adalah dasar untuk membagi perang besar. Perang jabatan, Perang Dingin telah berpindah, kini antara Iran dan Saudi Arabia. Ini adalah perang tentang geopolitik. Ini tentang kekuasaan. Ini tentang pengaruh," katanya menambahkan.
Gerges juga menegaskan untuk melupakan konflik yang saat ini terjadi di Suriah dan Yaman. "Lupakan Yaman dan Suriah. Saat ini, kita sedang melihat dua negara Islam yang memiliki kekuatan seimbang dan berada tepat di pusat Timur Tengah, dan kini mulai mengarah pada konfrontasi langsung, bukan lagi perang pengaruh. Jadi, kita harus berhati-hati untuk menjaga eskalasi ini agar tak terus mengarah pada konfrontasi," kata Gerges.
Reaksi Dunia
Hampir seluruh negara di dunia kemudian meminta Iran dan Arab Saudi untuk meredakan eskalasi yang terus meningkat. "Kami prihatin dengan keputusan Kerajaan Saudi yang memerintahkan penutupan Kedubes Iran di kerajaan tersebut," kata pernyataan resmi pemerintah Amerika. "Kami yakin, ikatan diplomatik dan pertemuan langsung sangat penting untuk mengatasi perbedaan yang terjadi dan kami akan terus mendesak seluruh pemimpin di wilayah tersebut untuk mengambil langkah afirmatif untuk meredakan ketegangan," kata pernyataan itu lebih lanjut.
Tak hanya Amerika Serikat yang meminta kedua negara meredakan ketegangan. Uni Eropa, Jepang, Australia, dan Indonesia juga meminta agar Irak dan Saudi sama-sama menahan diri. Tak cukup menyatakan keprihatinan, pemerintah Indonesia memilih berperan aktif untuk membantu menengahi. Presiden RI Joko Widodo di akun Twitter @jokowi, Senin, 11 Januari 2016, menulis "Kita serius mencari solusi untuk mengatasi ketegangan Arab Saudi dengan Iran. Saya utus Menlu untuk menjalankan tugas itu."
Wujud keseriusan tersebut dilakukan Jokowi dengan mengutus Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ke kedua negara. Retno berangkat pada Selasa, 12 Januari 2016, dengan membawa surat dari Jokowi untuk pemimpin Arab Saudi dan pemimpin Iran. Langkah Jokowi mengutus Menlu dianggap sebagai tindakan yang tepat oleh pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Indonesia, M.Riza. Saat diwawancara oleh VIVA.co.id, Rabu, 13 Januari 2016, Riza menganggap langkah pemerintah Indonesia sudah tepat. “Langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia sudah benar. Dengan sikap politik luar negeri yang bebas dan aktif, maka Indonesia sudah menjalankan perannya,” katanya.
Namun Riza tak terlalu yakin bahwa cara ini akan efektif. Menurutnya, kedua negara berkuasa itu sedang berada dalam titik terendah hubungan mereka. “Setelah pemutusan hubungan diplomatik, keduanya juga mengurangi semua hubungan ekonomi. Ini suatu hal yang tak biasa,” katanya. Biasanya, pemutusan hubungan diplomatik hanya sebatas itu, tak ada embel-embel pengurangan hubungan dagang dan investasi. Namun dalam konflik ini, situasi tersebut terjadi.
Berbeda dengan Riza yang mendukung langkah pemerintah Indonesia, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon malah menganggap pemerintah Indonesia tak seharusnya campur tangan terlalu jauh. "Saya kira itu usulan bagus, tapi enggak usah jauh-jauhlah menangani konflik di sana. Karena urusan negara sendiri saja belum beres," kata Fadli, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat, 8 Januari 2015. “kita harus tahu diri agar konflik di dalam selesai, kadang konflik di dalam saja enggak teratasi. Mengatur menteri saja enggak bisa, masa mau ngatur Arab Saudi-Iran," kata Fadli menambahkan.
Menurut Riza, selain mendatangi kedua negara, Indonesia juga bisa mengajak negara lain yang netral untuk ikut serta mendamaikan Iran dan Saudi. “Sekarang ini susah mencari negara Islam yang netral. Di Timur Tengah, mereka sudah pasti memilih, ikut Saudi atau ikut Iran,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, Riza mengakui, merekatkan kembali hubungan kedua negara membutuhkan upaya yang sangat besar. Apa lagi Indonesia bukan negara yang memiliki investasi besar di sana. “Jadi posisi Indonesia untuk melakukan tekanan tak terlalu kuat. Akan lebih baik kalau Indonesia tidak sendirian. Indonesia bisa mengajak negara dengan penduduk mayoritas Muslim dan netral untuk ikut terlibat, atau mengajak negara lain yang netral, seperti Jepang,” katanya menyarankan.
Ternyata Menlu Retno Marsudi sudah melangkah. Tak hanya menghubungi kedua negara yang bertikai, Menlu juga menghubungi Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri Uni Eropa (setara Menlu), Federica Mogherini. Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Kemlu pada Rabu, 13 Januari 2013, mengatakan Menlu Retno dan Mogherini saling berbagi pandangan bahwa ketegangan yang ada saat ini dapat menghasilkan konsekuensi yang sangat negatif, tidak hanya dalam hubungan bilateral namun juga terhadap wilayah Timur Tengah.
"Ketegangan juga akan berpengaruh terhadap proses penyelesaian konflik di Suriah, hingga terhadap seluruh komunitas Islam di seluruh dunia dari Asia hingga ke Eropa. Itu sebabnya keduanya sepakat untuk melanjutkan usaha mendamaikan situasi di Timur Tengah,” demikian pernyataan tersebut.
Jika Indonesia berhasil mengajak keduanya kembali berdamai, maka secara politis, posisi Indonesia juga akan semakin strategis, seperti yang terjadi pada tahun 1988-1989, di mana Indonesia pernah menjadi tuan rumah Jakarta Informal Meeting (JIM) untuk menyelesaikan konflik antara Kamboja dan Vietnam. Juga saat Indonesia menjadi fasilitator antara pemerintah Filipina dan kelompok pemberontak Moro National Liberation Front (MNLF). Kali ini, pemerintah RI memilih untuk melakukan persuasi, dan tak menunggu ‘diajak’ oleh negara besar untuk meredakan ketegangan di sana.
Usaha pemerintah RI memang belum menunjukan hasil, juga belum pasti akan berhasil. Namun sikap aktif RI untuk meredakan bara yang tengah memerah di Timur Tengah tetap layak di apresiasi.