Gerai CD Berguguran, Saatnya Era Digital?

Disc Tarra
Sumber :
  • VIVA / Ichsan
VIVA.co.id - Jika bicara toko kaset dan CD (compact disc)
yang berjaya pada tahun 1990-an dan awal 2000-an, maka tak bisa melewatkan nama Disc Tarra. Ia adalah jaringan toko kaset, CD, VCD, yang bisa dibilang terbesar di negara ini.

Bahkan, mereka memajang tagline: The Largest Retail Chains Shop for Home Entertainment in Indonesia. Wajar jika Disc Tarra memakai slogan tersebut, karena pada kenyataannya, mereka memang benar-benar berjaya.

Namun, itu dulu. Karena, di malam pergantian tahun baru 2016, tepatnya 31 Desember 2015, Disc Tarra secara resmi menyatakan tutup beroperasi. Mulai tahun 2009 hingga 2013, toko CD yang tak kalah raksasa, Aquarius sudah lebih dulu lempar handuk, tanda menyerah. 

Pada hari terakhir toko itu buka, VIVA.co.id datang ke salah satu mal besar di Jakarta. Saat berbincang panjang lebar dengan seorang karyawan Disc Tarra, yang menolak memberikan nama, dengan tegas, ia mengatakan bahwa benar, malam itu adalah hari terahir Disc Tarra buka di mal tersebut.

"Secara nasional, hari ini kami tutup serempak se-Indonesia. Di Surabaya sekarang tinggal ada dua outlet, Bandung dua outlet, dalam kota tinggal di Mal Bintaro, Pondok Indah Mall, Mal Kelapa Gading, Mal Kota Kasablanka, itu pun toko-toko kecil," kata sang pegawai.

Toko CD Disc Tarra saat masih beroperasi. Foto:Dok Cloudsmerahmuda.

Dari pantauan VIVA.co.id, terlihat toko musik itu tampak kosong, hanya tersisa satu rak CD. Sementara itu, di kaca toko, terpampang tulisan diskon 70 persen. "Malam ini kami resmi tutup," ungkapnya dengan wajah sedih.

"Banyak pelanggan menangis, sejauh ini kami berusaha fight. Tapi, kalau akhirnya tetap tutup, semua kembali pada keputusan pemilik," ujarnya.

Ia menambahkan, seluruh pegawai sudah mengetahui kalau toko CD itu akan tutup sejak 25 Desember 2015.

***

Optimistis akan bangkit


Disc Tarra berdiri pada 1986 di bawah naungan bendera PT Naramitra Tarra. Ia sempat berjaya hingga memiliki sekitar 100 gerai toko CD yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia.

Disc Tarra pertama hadir di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta. Tak hanya menjual Compact Disc, Audio Cassette, Video CD, dan DVD, mereka juga menyediakan aksesori musik seperti headphone dan microphones.

Beberapa waktu lalu, pihak Disc Tarra sempat menjelaskan, mereka akan mempertahankan delapan gerai yang ada. Di antaranya yang berada di Mal Kota Kasablanka. Namun, berdasarkan pantauan VIVA.co.id pada Jumat, 1 Januari 2016, outlet Disc Tarra di mal itu telah tutup.

Kemerosotan penjualan CD sebenarnya sudah terasa sejak 2010. Disc Tarra patut diacungi jempol, karena mampu bertahan meski bisnis CD musik mulai lesu ketika itu.

Kabar mengenai Disc Tarra tutup, menggelitik pengamat musik Bens Leo untuk angkat bicara. "Tak akan ada penjualan fisik (CD musik) yang bagus, kalau toko kasetnya tidak bagus. Salah satunya Disc Tarra (yang bagus). Dia punya banyak outlet di daerah, ditambah, dia tidak hanya menjual album fisik dari label tertentu," katanya.

Bens Leo, pengamat musik.

Bens mengaku terkejut melihat kenyataan Disc Tarra tidak mampu bertahan dan akhirnya tutup. Padahal, beberapa hari lalu, ia masih sempat mengunjungi salah satu gerai Disc Tarra yang ada di Pondok Indah. Kala itu, Disc Tarra menggelar diskon besar-besaran. Cara itu ia nilai ampuh menarik pembeli datang, tapi entah kenapa, Disc Tarra kini memilih tutup.

"Lumayan kaget dengarnya, soalnya kemarin masih main ke tokonya yang di Pondok Indah. Saat itu ramai, karena ada diskon besar, dan memang saat itu, ada produk musik yang saya cari," katanya, Jumat, 1 Januari 2016.

Namun, Bens optimistis, ini bukan akhir dari Disc Tarra. Ia percaya, suatu saat toko CD itu akan bangkit kembali. Ia bahkan sempat membaca dalam website resmi Disc Tarra bahwa mereka akan menjalankan toko yang lebih aktif, sehingga bukan lagi menjual CD semata.

"Saya yakin mereka kembali. Saya pernah baca mereka akan buat hal lain yang lebih ke arah lifestyle," ujarnya.

Jadi, dia menambahkan, mereka akan menyediakan seperti salon atau kafe. Nantinya, pembeli bisa melakukan aktivitas lain, bukan hanya membeli CD. "Tapi, sudah terlaksana atau belum, saya kurang tahu," tuturnya.

Sayangnya, saat kami cek per 1 Januari 2016, ternyata situs resmi milik Disc Tarra sudah tidak bisa diakses.

Bens yakin, mati surinya Disc Tarra dan toko ritel musik lain, bukan tanda rontoknya penjualan album fisik. "Tidak akan hilang penjualan album fisik, karena itu identitas dan kebanggaan musisi," ujar mantan wartawan musik itu.

Ia kurang sepakat kalau dikatakan penjualan musik digital yang menjadi penyebab matinya toko-toko CD. Menurut dia, masing-masing platform memiliki penggemar sendiri.

***

Perlu aturan tegas

Piyu, gitaris band Padi, ikut meyayangkan tutupnya Disc Tarra. Menurut dia, kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Tapi, telah menjadi fenomena di negara lain, perlahan tapi pasti, toko-toko CD mulai gulung tikar.

"Menyayangkan, soalnya saya ini termasuk kolektor, tapi kemarin di Singapura, di sepanjang jalan Orchard, saya lihat juga sudah tidak ada toko CD buka," kata Piyu.

Jika dikatakan saat ini negara menuju penjualan musik secara digital, Piyu melihat Indonesia belum siap memasuki era itu. Ada banyak faktor yang membuat pria Surabaya ini berkata demikian.

Di antaranya, masalah pembajakan yang tak kunjung usai, dan kurangnya penegakan hukum yang tegas dari pemerintah.

"Tak bisa dipungkiri, pergantian era fisik ke musik digital tak bisa dilawan. Masalahnya, kalau penjualan secara digital menjadi industri, Indonesia belum siap, penegakan hukumnya kurang. Apalagi, masih banyak website yang memberi download lagu secara gratis," ujarnya.

Musisi gondrong itu menuntut adanya peran aktif pemerintah mengatasi hal ini. Transisi dalam dunia musik kerap terjadi, jika suatu saat nanti, cara menjual lagu seluruhnya via digital, lalu apa jaminan lagu yang sudah menjadi digital, tidak seenaknya diunduh orang tanpa membayar? Piyu berharap, ada hukum tegas agar hak musisi terlindungi.

"Dulu awalnya piringan hitam, terus berubah menjadi kaset. Kaset juga kemudian menjadi CD, sekarang di era digital, bagaimana cara pemerintah melindungi kami?" katanya.

Penjualan album fisik harus ada


Senada dengan Piyu, Abdee gitaris Slank mengaku prihatin dengan tutupnya gerai-gerai CD. Namun, ia melihat, kondisi ini sebagai cermin perubahan zaman.

Abdee justru ingin mendorong pelaku industri musik ikut berubah selaras dengan kemajuan teknologi. "Teknologi baru memang akan selalu menganggu teknologi lama," kata Abdee, diwawancara di hari pertama tahun 2016.

Menurut dia, harus ada cara lain agar penjualan album fisik tetap diminati. "Saya yakin, kondisi ini membuka inovasi dan banyak kesempatan lain. Kalau yang digital, kan sekarang sudah ada beli lagu secara download atau live streaming," katanya.

Abdee Slank.

Sebagai musisi, Abdee berharap teman-temannya tetap semangat menghasilkan karya. Karena, dengan karya bagus, kemasan menarik, dan mengikuti perkembangan zaman, musik akan hidup abadi tak tergerus zaman. "Tinggal kita mengemas kontennya, karena sekarang saingannya bukan lagi di Indonesia, tapi sudah dunia," katanya.

Arnie, bassist band wanita SHE asal Bandung menjelaskan, album musik berbentuk CD adalah karya yang bisa disentuh secara kasat mata. Meski, kini orang bisa membeli lagu secara digital, namun penjualan album dalam bentuk fisik jangan sampai hilang.

“Kalau CD itu kan bisa dikoleksi, kalau musik digital hanya tersimpan di gadget. Selain itu, kalau beli CD, kita juga jadi bisa melihat foto sang penyanyi di bagian sampul,” ujarnya, sambil menjelaskan bahwa hal-hal semacam itu, yang menjadikan album fisik terasa lebih personal buat fans.

Meski diakui menjual musik secara digital terkesan lebih praktis, sebagai seniman, ia merasa kepuasan yang lebih maksimal, jika karya musiknya terwujud dalam bentuk album fisik. Arnie bahkan menggambarkan, menjual musik secara digital itu seperti punya album tapi tidak riil.

“Indonesia harusnya punya badan yang mengurusi karya musisi. Kalau di luar negeri, mereka bisa go-international, karena badan hukumnya kuat dan mendukung seniman. Sementara, di Indonesia, belum ada yang seperti itu. Pembajakan saja terkesan dibiarkan oleh pemerintah,” ujarnya memberi saran.

***

Mencari model bisnis lain

Sony Music Indonesia, sebagai salah satu label musik besar di negara ini, tentunya menyayangkan toko-toko CD mulai berguguran. Namun demikian, mereka tetap optimistis bahwa karya musik anak bangsa tidak boleh mengendur akibat kejadian tersebut. 

Kiki Amelia, Marketing Communication dari Sony Music Indonesia menjelaskan, saat ini untuk penjualan fisik, pihaknya masih menjalin kerja sama dengan toko-toko CD yang tetap beroperasi, sperti Musik Plus, Sangaji, dan Harika.

Sementara itu, untuk menjual secara digital, mereka bekerja sama dengan Melon, iTunes, Langit Musik, Guvera, Joox, dan Deezer.

Diakui Kiki, saat ini kuantitas pembuatan CD memang dikurangi, karena model penjualan lagu terasa lebih mudah via digital. Namun begitu, Sony Music Indonesia terus berkomitmen mendukung penjualan album artis-artisnya dalam format apa pun.

“Kami selalu carikan jalan terbaik untuk penyanyi. Contohnya, untuk CD Isyana Sarasvati, kami jualkan via Tokopedia, dan hasilnya luar biasa. Yang pesan banyak banget. Setelah pemesan melakukan pembayaran, kami kirim CD Isyana lewat kurir. Selain CD Isyana, model penjualan serupa juga kami lakukan untuk CD milik One Direction,” ujarnya.

Dijelaskan, pihak Sony Music juga sedang mempertimbangkan untuk menjual CD artis-artis mereka via ojek online. Karena, beberapa waktu lalu, penyanyi Kunto Aji, telah lebih dulu melakukan penjualan semacam itu dan hasilnya bagus.

Saat ini, pihaknya sedang menghitung plus-minus dari model penjualan via ojek online, dan sedang menjajaki pembicaraan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam model bisnis tersebut. (art)