Setelah Gerombolan Din Minimi 'Menyerah'

Sumber :
  • Istimewa

VIVA.co.id - Setelah bertahun-tahun keluar masuk hutan, mengangkat senjata, mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka Din Minimi akhirnya menyudahi perlawanannya terhadap Pemerintah setempat. Pria bernama lengkap Nurdin Bin Ismail itu bersama kelompoknya melucuti senjata, walau tak mau disebut menyerah.

(Baca: )

Senin, 28 Desember 2015, malam, Din memilih turun gunung dan kembali ke rumah ibunya di desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur. Berita menyerahnya orang yang paling diburu saat ini di Aceh itu pun segera disiarkan oleh sejumlah media lokal.

Sejumlah sumber seperti kepala desa asal kampung Din mengaku melihat pimpinan kelompok bersenjata itu kembali ke rumah ibunya.

"Betul, Bang Din sudah kembali ke rumahnya di Gampong Ladang Baro, seusai Magrib tadi," ujar Kepala Desa, Yusri.

Kabar tersebut juga dibenarkan oleh Ketua Aceh Human Foundation (AHF), Abdul Hadi. Pria yang akrab disapa Adi Maros tersebut membenarkan Din sudah berada di rumah ibunya.

Adi Maros beberapa hari lalu sempat bertemu dan mediasi dengan Din. Ia sangat bangga akhirnya Din yang selama ini mengangkat senjata melawan Pemerintah Aceh, akhirnya mau berdamai.

"Sekarang Bang Din sudah kembali ke keluarga. Bang Din dan kelompoknya saat ini sudah berada di rumah ibunda Din Minimi," kata dia.

Bersama Din, dikabarkan juga ada seratusan anak buahnya yang ikut menyerahkan diri. Selain itu, Din dan kelompoknya juga menyerahkan sebanyak 15 pucuk senjata beserta satu karung amunisi.

Penyerahan diri Din itu ternyata tak bisa dilepaskan dari langkah Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Letjen Purn Sutiyoso. Mantan Panglima Kodam Jaya itu melobi Din agar mau berdamai. (Baca:

Selama dua bulan, Sutiyoso berkomunikasi dengan Din . Tak sia-sia, usaha itu akhirnya berhasil. Ia akhirnya bisa bertemu langsung dengan yang bersangkutan dan mengakhiri kisah perlawanan Din.

Sutiyoso bersama rombongannya dilaporkan tiba di rumah ibu Din sejak pukul 19.00 WIB, Senin kemarin. Ia telah berada di Aceh sejak Senin pagi. Ia tiba melalui Bandara Malikussaleh, Aceh Utara.

Sempat melakukan rapat tertutup dengan jajaran Polda dan Pangdam Iskandar Muda, di Hotel Lidograha Lhokseumawe, kemudian Sutiyoso bertolak ke rumah ibu Din Minimi di Aceh Timur. Ia ikut menjemput Din dan mengantarkannya ke rumah orang tuanya.

"Saya ke tempat mereka kira-kira tiga sampai empat jam saya sampai di sana. Saya bicara panjang lebar dengan Din Minimi, lalu saya lanjutkan ke rumah dia. Bersama rombongan sampai di sana, termasuk secara simbolik saya kembalikan Din Minimi kepada keluarganya," cerita Sutiyoso dalam konferensi pers di Lhokseumawe, Aceh, Selasa, 29 Desember 2015

Menurut Sutiyoso, saat sampai di rumah Din, keluarga bekas kombatan Gerakan Aceh Merdeka itu menangis terharu melihat Din turun gunung.

"Mereka tangis-tangisan. Saya tidur bersama mereka, tapi sebenarnya kita tidak tidur, kita bicara terus sepanjang malam," katanya.

Selain bermalam di rumah Din, Sutiyoso juga ikut menikmati hidangan kuah beulangong bersama Din dan pengikutnya. Kuah beulangong adalah masakan khas Aceh berbahan dasar daging sapi atau daging kambing yang dimasak dengan rempah-rempah.

"Semalam Bang Yos (Sutiyoso) tidur di rumah Bang Din. Kami beli daging sapi dan makan kuah beulangong. Bang Yos (Sutiyoso) sangat suka kuah beulangong," ujar Ketua Aceh Human Foundation, Abdul Hadi, yang ikut bermalam bersama Sutiyoso di rumah Din.

Abdul Hadi mengaku menyaksikan momen penyerahan diri Din. Dia menuturkan, Din menangis saat menyerahkan senjatanya. Din dan anggotanya menyerahkan semua senjata yang mereka miliki kepada aparat BIN.

"Waktu penyerahan senjata terakhir, Bang Din (Din Minimi) menangis. Ia memeluk Pak Sutiyoso dan mengatakan, 'Pak Sutiyoso, jangan tinggalkan saya, Pak'," ujar Abdul Hadi, yang akrab disapa Adi Maros, usai konferensi pers di Lhokseumawe, kemarin.

Sutiyoso, kata Adi Maros, juga terlihat sangat iba kepada Din. Sutiyoso meminta Adi Maros menyampaikan bahwa dia sangat tersentuh dengan kerelaan Din menyerahkan diri.

"Saya betul-betul ikhlas, dan saya hari ini datang ke sini betul-betul ikhlas untuk Din Minimi," kata Adi Maros mengulang pernyataan Sutiyoso.

Tak berhenti di situ, Sutiyoso pun berencana mengundang Din ke rumahnya. Ia berniat menjamu Din.

"Ya, rencananya Bang Din diajak ke rumah Bang Yos di Jakarta. Mungkin bulan depan," ujar Ketua Aceh Human Foundation (AHF), Abdul Hadi.

Menurut Abdul Hadi, undangan itu diberikan karena Bang Yos sangat dekat dengan Din. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menganggap orangtua Din seperti keluarganya.

"Bahkan Bang Yos sudah menganggap mamak Bang Din itu seperti mamaknya," kata dia.

Bukan Pemberontak

Sutiyoso memberikan pembelaan pada Din Minimi dan kelompoknya dalam kasus penembakan dua anggota TNI di Aceh Utara pada Maret 2015. Ia mengatakan bahwa kemungkinan ada kelompok lain yang mengatasnamakan kelompok Din.

"Saya sudah tanya, Din Minimi mengaku sama saya, bukan kelompoknya yang melakukan (penembakan anggota TNI)," ujar Sutiyoso.

Sutiyoso menjelaskan, pelaku penembakan TNI itu adalah kelompok lain yang kemudian mengatasnamakan kelompok Din. "Bisa jadi kelompok lain yang mengatasnamakan Din Minimi," kata Sutiyoso.

Din tidak dihadirkan dalam konferensi pers itu. Menurut Sutiyoso, Din tidak ditangkap tetapi menyerahkan diri. Din cs dikembalikan ke rumah orang tuanya masing-masing.

"Saat ini, Din Minimi ada di rumah keluarganya," kata Sutiyoso.

Sutiyoso mengatakan bahwa Din dan pengikutnya bukan kelompok pemberontak. Kelompok bersenjata itu hanya dianggap sebagai kelompok yang kecewa terhadap kinerja pemerintah daerah.

"Di mata saya, Din Minimi dan kelompoknya ini bukanlah seorang pemberontak yang ingin memisahkan diri dari Republik (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Dia juga bukan seorang rampok yang menyusahkan masyarakat. Tidak pernah dia lakukan itu," ujar Sutiyoso dalam konferensi pers di Lhokseumawe, Aceh.

Sutiyoso meyakini, kelompok Din ini bukan kelompok separatis. Mereka hanya tidak puas dengan pimpinan atau elite GAM yang sekarang dapat kesempatan (menjabat) di pemerintahan.

"Mereka merasa ditelantarkan," katanya.

Pengakuan Din kepada Kepala BIN itu berbeda dengan keterangan beberapa anggotanya yang sebelumnya ditangkap dan ditahan polisi.

Faisal alias Komeng, yang mengaku sebagai orang ketiga di kelompok Din, mengatakan bahwa Din Cs adalah pelaku penembakan dua anggota intelijen TNI di Nisam Antara, Aceh Utara, pada Maret 2015.

Enam Tuntutan

Sutiyoso membeberkan enam tuntutan Din sebagai syarat penyerahan diri kepada aparat. Menurutnya, permintaan Din itu masuk akal dan dapat dipenuhi.

"Pertama, mereka minta reintegrasi sesuai perjanjian (MoU) Helsinky dilanjutkan; kedua, dia minta agar yatim piatu, terutama keluarga GAM, diperdulikan; ketiga, juga para inoeng balee atau janda-janda GAM diperhatikan kesejahteraannya," kata Sutiyoso saat konferensi pers di Lhokseumawe, Aceh, Selasa, 29 Desember 2015.

Selain itu, Din juga minta Komisi Pemberantasan Korupsi turun ke Aceh. Din melihat ada praktik korupsi di sana.

"Artinya ini adalah sebuah kritik bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam pengelolaan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh)," ujar Sutiyoso.

(Baca: )

Din juga meminta agar ada peninjau independen saat penyelenggaraan Pilkada Aceh 2017. Menurut Sutiyoso, usulan itu karena Din tak ingin ada intimidasi dari orang-orang tertentu terhadap masyarakat.

"Satu lagi, mereka juga minta amnesti (pengampunan) untuk Din Minimi dan kelompoknya. Semua ada 120 orang yang di lapangan. Lalu ada 30 orang yang sudah dipenjara. Sekali lagi, ini juga sesuatu yang wajar," katanya menambahkan.

Sutiyoso mengaku sudah berkoordiansi dengan Presiden, Menteri Hukum dan HAM, serta Komisi III DPR. Ia juga telah berkomunikasi dengan Hafidz Abbas, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Semua, kata Sutiyoso, tidak mempersoalkan permintaan Din itu.

"Jadi semua pihak sudah enggak ada masalah tentang amnesti ini. Namun sekali lagi ini butuh proses."

Sangkal Menyerah

Din Minimi menyangkal dia dan anggotanya telah menyerah. Kepada awak media, Din mengatakan, apa yang dilakukannya bukan menyerah, namun hanya untuk menghindari anggapan negatif masyarakat terhadap kelompok bersenjata yang dipimpinnya.

"Sudah lima tahun saya dalam hutan. Jadi saya hari ini bukan menyerah, tapi kami hari ini kembali kepada masyarakat untuk membersihkan diri," kata Din, di kediaman ibunya di desa Ladang Baro, Kecamatan Julok, Aceh Timur, Selasa, 29 Desember 2015.

Setelah bernegosiasi dengan Kepala BIN, Sutiyoso, Din bersama 120 anak buahnya sepakat untuk turun gunung. Hal tersebut dianggapnya bukan untuk menyerah, karena katanya cita-cita awal ketika memulai pemberontakan masih diperjuangkan.

Saat ini, Din berada di rumah ibunya. Din sudah tidak lagi memiliki senjata.

Sebanyak 15 pucuk senjata yang dimiliki Din dan anggotanya telah diserahkan kepada BIN. Meski sudah turun gunung, Din sama sekali tidak ditangkap oleh polisi.

Namun demikian, Din menolak dibawa ke Jakarta atau Banda Aceh. Dia bertekad bertahan di rumahnya di Aceh Timur sebelum bertemu Muzakir Manaf, mantan Panglima GAM yang kini menjadi Wakil Gubernur Aceh.

"Saat ini Din Minimi menunggu dijemput oleh Muzakir Manaf. Saat ini Din Minimi masih di rumahnya bersama keluarga," kata Teungku Abdul Muthalid, seorang penghubung Din Minimi dengan pemerintah pusat, saat dihubungi VIVA.co.id.

Menurut Teungku Abdul Muthalid, alasan Din memilih turun gunung dan menyerahkan diri kepada aparat setelah ada kesepakatan dengan pemerintah pusat dan pemerintah Aceh. Din meminta keringanan hukuman terhadap anggotanya yang telah ditangkap kepolisian Aceh.

"Semua sudah ada perjanjian, salah satunya anggotanya diberikan keringanan hukum dan anggota yang sudah turun gunung bebas hukuman," kata Teungku Abdul Muthalid.

Selain itu, kata Teungku Abdul Muthalid, Din meminta bertemu langsung dengan pejabat Pemerintah Aceh, yakni Muzakir Manaf. Muzakir, yang akrab disapa Mualem di kalangan GAM dan Partai Aceh, salah satu tokoh GAM yang masih sangat disegani oleh mantan kombatan.

Selain menjabat Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf juga Ketua Partai Aceh. Partai itu didirikan para elite dan mantan kombatan GAM, juga Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA).

"Din Minimi masih sayang kepada Muzakir Manaf, sehingga dia bersama anggotanya turun gunung," kata Teungku Abdul Muthalid.

Kapolri Berbeda Sikap

Sikap berbeda ditunjukkan oleh Markas Besar Polri. Mereka memastikan akan tetap memproses secara hukum pemimpin kelompok bersenjata Aceh itu bersama dengan seluruh anggotanya.

Pengampunan terhadap Din tidak mungkin telah diberikan. Karena amnesti adalah hak Presiden Joko Widodo.

"Yang memberikan amensti siapa, dasarnya apa. Kan yang bicara UU (Undang Undang) itu, amnesti itu ketentuan UU, dan Presiden yang mempunyai kewenangan," kata Kapolri Jenderal Badrodin Haiti di Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 29 Desember 2015.

Mantan Kapolda Banten itu menuturkan, pemberian amnesti dapat diberikan setelah proses hukum dijalankan. Karena itu, permintaan Din Minimi sebagai syarat penyerahan diri tidak mungkin diterima, padahal dia baru saja menyerahkan diri.

"Mekanismenya seperti apa dulu, kan amnesti itu diberikan kalau sudah ada proses hukum," ujarnya.

Badrodin juga menegaskan bahwa status Din hingga saat ini masih menjadi buronon atau masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Itu selama dia tidak menyerahkan diri ke Polri.

"Ya kalau dari prespektif polisi kalau dia belum diserahkan ke polisi dia masih pelaku belum tertangkap," kata Badrodin.

Namun, mantan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri itu enggan menjelaskan berapa personil kelompok Din yang sudah menyerahkan diri kepada BIN.

"Saya enggak tahu kelompok Din Minimi itu berapa yang menyerahkan diri, karena setahu saya mereka jumlahnya 17 sampai 20 orang," katanya.

Badrodin berharap kepada semua kelompok Din harap menyerahkan kepada pihak yang berwenang.

"Ya tentu kita harapkan semuanya menyerahkan," ujarnya.

Badrodin juga menegaskan bahwa proses hukum tetap jalan meskipun Din menyerahkan diri kepada BIN.

"Tentu dalam perspektif polisi, apapun yang dilakukan penyerahan diri, tetap dilakukan proses hukum," kata Badrodin.

Alasannya, Din dikabarkan telah melakukan penembakan terhadap dua anggota TNI di Aceh Utara pada Maret 2015. Bahkan, diduga kelompok Din Minimi sempat menculik tiga warga di Desa Seuneubok Bayu, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur.

Ketiga korban adalah Murtala (28 tahun), Basri (30 tahun) dan M Kadar (18 tahun). Mereka bekerja bagunan.

"Ada pembunuhan anggota TNI, pembunuhan masyarakat, perampokan, banyak ada 9 laporan polisi," katanya.

Badrodin menuturkan, kemungkinan baiknya adalah Din bersama kelompoknya bisa mendapatkan keringan hukuman. Namun, proses hukum tetap harus berjalan.

"Tidak ada toleransi," katanya.

Ia juga menyebutkan, kelompok bersenjata Din tidak menjadi ancaman serius secara nasional. Sebab, kelompok tersebut hanya berada di wilayah Aceh.

"Kalau nasional tidak, hanya lokal. Kami bisa lakukan operasi," ujarnya.

Suara Istana

Atas perbedaan pandangan antara Badrodin dan Sutiyoso soal rencana pemberian amnesti terhadap Din, Istana pun angkat suara. Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, cenderung mengakomodir langkah Sutiyoso.

"Tentunya kalau memang Kepala BIN mengusulkan adanya amnesti sebenarnya ini sudah ada yurispudensinya ketika pemerintah pada waktu itu dengan Kepres No.22 tahun 2005," ujar Pramono di kantornya, Jakarta, Rabu, 30 Desember 2015.

Saat itu, jelas Pramono, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan amnesti dan abolisi kepada GAM. Kepres ini keluar, setelah adanya penandatanganan damai antara GAM dan Pemerintah yang dikenal dengan perjanjian Helsinki.

"Sedangkan apa yang menjadi pandangan Kapolri mengenai hal tersebut tentunya tak sepenuhnya salah," kata Pramono.

Alasan Kapolri untuk mempertanyakan usulan amnesti, menurut Pramono juga benar. Mengingat, ada persoalan-persoalan hukum yang terjadi saat Din Minimi dan kelompoknya masih melawan, seperti kontak senjata dengan aparat yang menewaskan anggota TNI, hingga dugaan melakukan perampokan. Namun, Istana menginginkan persoalan di Aceh ini bisa diselesaikan secara menyeluruh.

"Sehingga dengan demikian kalau memang diberikan amnesti umum dan abolisi tentunya dengan berbagai pertimbangan agar persoalan Aceh ini segera selesai secara menyeluruh," kata Pramono menjelaskan.

Adapun yurisprudensi dalam Kepres Nomor 22 tahun 2005 itu, lanjut Pramono, sudah diatur juga bahwa pihak itu turun, sudah bisa diberikan amnesti.

"Maka dengan demikian para pengikutnya sudah turun dan mereka berkomunikasi dengan Kepala BIN, apalagi diusulkan mendapakan amnesti umum dan abolisi tentunya pertimbangan itu akan dilakukan."

Sementara itu, pengamat terorisme Al Chaidar mengapresiasi langkah BIN yang melakukan negosiasi langsung dengan pimpinan kelompok bersenjata Din Minimi. Menurutnya, langkah tersebut menunjukkan bahwa peran intelijen tak bisa dikesampingkan.

"Ya, penyerahan diri menunjukkan bahwa peran intelijen sangat penting dalam mengatasi konflik dan kebuntuan politik," ujar Al Chaidar kepada VIVA.co.id, Rabu, 30 Desember 2015.

Meski begitu, Al Chaidar mengkritisi rencana negara yang akan memenuhi tuntutan Din untuk memberikan amnesti atau pengampunan pada kelompok bersenjata tersebut. Dia berpendapat, bisa saja Din diberikan amnesti namun Din Cs harus diproses hukum terlebih dahulu.

"Kelompok Din Minimi dan juga kemlompok bersenjata lain harus diproses hukum dulu, baru kemudian diberikan grasi atau amnesti," katanya lagi.

Saat ditanya terkait bebasnya Din setelah bertemu Sutiyoso atau setelah turun gunung, Al Chaidar mengatakan, seharusnya aparat keamanan menangkap yang bersangkutan dan diproses secara hukum.

"Harus ditangkap dan diproses hukum, proses politik menyusul kemudian," ujarnya.

Sedangkan, pengamat politik dan keamanan Aceh, Aryos Nivada, mengatakan permintaan amnesti Din Cs tidak masuk akal. Menurutnya, tidak ada alasan bagi Presiden untuk memberikan amnesti atau pengampunan pada kelompok bersenjata tersebut.

"Menurutku (amnesti) itu di luar logika penegakan hukum. Orang yang jelas bersalah mana mungkin diberikan pengampunan," ujar Aryos Nivada, kepada VIVA.co.id, Selasa, 29 Desember 2015.

Aryos berpendapat, jika negara memberikan amnesti kepada Din, maka akan banyak muncul kelompok bersenjata lainnya di Aceh. Nantinya, kata dia, kelompok tersebut melakukan kriminal lalu semua akan berakhir tanpa proses hukum.

"Di mana hadirnya negara dan kepolisian jika proses itu tidak dilakukan. Bubarkan saja (lembaga kepolisian) kalau begitu," kata Aryos.

Penulis buku 'Wajah Politik dan Keamanan Aceh' tersebut juga menilai, Din Cs tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk diberikan amnesti.

"Apa dasarnya sehingga Din Minimi akan diberikan amnesti, tidak ada dasar sama sekali, itu argumen yang tidak rasional," katanya.

(Baca: )

Selain itu, Aryos tidak percaya pengakuan Din yang mengatakan tidak melakukan perbuatan kriminal. Sebab, Polda Aceh memiliki catatan terkait kejahatan Din Minimi. Menurutnya, data yang dimiliki Polda tidak mungkin salah. (ren)