Jangan Biarkan Ratusan Bahasa di Nusantara Punah
- VIVAnews/Ramon Epu
VIVA.co.id - Nasib bahasa etnis di Indonesia tengah terancam. Hasil penelitian Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan fakta bahasa etnis yang dimiliki Indonesia mulai terancam punah.
Temuannya cukup mencegangkan, ada ratusan bahasa etnis yang disebutkan bisa punah sewaktu-waktu. Padahal Indonesia punya 746 bahasa di penjuru tanah air dan ini yang menempatkan RI menempati posisi kedua dalam laboratorium bahasa terbesar di dunia.
LIPI menyebutkan bahasa etnis yang paling terancam punah berada di kawasan Indonesia bagian timur. Ketua LIPI, Iskandar Zulkarnain mengatakan sebagain besar bahasa daerah di wilayah itu sudah menunjukkan kepunahan, hampir punah dan bahkan ada yang sudah punah.
Sangat disayangkan bahasa etnis yang punah bila melihat fungsinya. Iskandar menyebutkan banyak fungsi yang diemban bahasa etnis, misalnya lambang kebanggan daerah, lambang identitas daerah, wahana komunikasi di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
"Serta wahana mentransmisikan tradisi lisan nusantara yang sarat dengan kearifan lokal," kata dia.
Soal jumlah bahasa etnis yang terancam punah data menunjukkan ada ratusan bahasa di Indonesia yang terancam punah. Ahli bahasa Universitas Udayana, Bali, I Wayan Arka, mengatakan setidaknya ada 188 bahasa etnis di Indonesia yang masuk kategori terancam punah tersebut. Ratusan bahasa itu diambil berdasarkan dari kelompok kecil atau suku yang tersebar di berbagai daerah di Tanah Air.
Sementara data lain, dalam artikelnya di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, mengutip tulisan Christopher Moseley dalam buku Atlas of the World’s Languages in Danger, Adi Budiwiyanto menuliskan ada 146 bahasa yang terancam punah dan 12 bahasa yang telah punah. Data itu menemukan bahasa yang terancam itu umumnya berada di bagian timur Indonesia.
Menurut buku tersebut, bahasa yang teridentifikasi telah punah adalah Hukumina, Kayeli, Liliali, Moksela, Naka’ela, Nila, Palumata, Piru, dan Te’un di Maluku, Mapia dan Tandia di Papua, serta Tobada’ di Sulawesi.
I Wayan mengatakan penyebab terancamnya ratusan bahasa etnis itu karena adanya 'serangan dari berbagai sudut'. Salah satunya, ia menyebutkan absennya pelestarian bahasa yang dilakukan oleh masyarakat penuturnya hingga munculnya agama modern.
Dia menjelaskan bahasa etnis itu hilang karena masyarakat tidak sadar bahwa kalau bahasanya sudah mulai punah. Kemudian 'serangan' agama modern berupa anjuran ajaran agama tersebut untuk tidak menggunakan bahasa ritual.
"Penyebab lainnya tidak ada yang mentransmisikan bahasa tersebut kepada generasi selanjutnya," ujar I Wayan yang juga mengajar di Australia National University.
Dia menyampaikan 188 bahasa yang terancam punah tersebut tersebar di seluruh nusantara, namun yang paling banyak ada di Indonesia bagian timur, sesuai dengan temuan LIPI dan temuan buku Atlas of the World’s Languages in Danger.
Kategori punah
Soal kategori terancam punah, buku Ethnologue: Language of the World, Eighteenth edition, yang ditulis M. Paul Lewis dan kawan-kawan, seperti yang dikutip Adi BUdiwiyanto, menulsikan yaitu ada dua dimensi kategori bahasa yang terancam.
Dua dimensi itu adalah jumlah penutur yang menggunakan bahasanya serta jumlah dan sifat penggunaan atau fungsi penggunaan bahasa.
Suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya dan, oleh karena itu, bahasa itu tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka.
Selain itu, suatu bahasa dikategorikan terancam punah jika bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam kegiatan sehari-hari sehingga kehilangan fungsi sosial atau komunikatifnya. Semakin kecil ranah penggunaan bahasa dalam masyarakat, cenderung akan memengaruhi persepsi pengguna bahasa atas kesesuaian penggunaan bahasa dalam fungsi yang lebih luas.
Jika ratusan bahasa etnis sedang terancam punah, 'beruntung' bagi bahasa dengan penuturnya yang besar seperti bahasa Jawa dan Bali. Menurut I Wayan, dua bahasa itu kuat dalam penggunaan keseharian. Untuk itu, dia berani menjamin bahwa dua bahasa itu tak akan punah.
Lalu, berdasarkan pengalaman yang dialaminya, terutama di Bali, pemerintahnya sangat kuat untuk menyokong penggunaan bahasa daerah, baik itu di daerah hingga perkotaan.
"Di kota juga mereka sering pakai Bahasa Bali. Pemerintahnya juga kuat, ada uang banyak untuk buat program," jelasnya.
Pemerintah cuek
Melihat mirisnya nasib ratusan bahasa etnis tersebut, I Wayan menyayangkan sikap pemerintah Indonesia yang menurutnya terkesan tak peduli terhadap pelestarian bahasa etnis.
"Pemerintah sekarang itu tidak melek budaya. Padahal budaya lokal bagian dari kekayaan Indonesia," ucapnya saat ditemui di Auditorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, Rabu, 25 November 2015.
Tudingan I Wayan itu bukan bualan semata. Dia menyontohkan dari pengalamannya, yaitu apabila akan menggelar acara untuk pelestarian bahasa etnis, pemerintah memandang dengan skeptis.
"Nanti (dikira) untuk memisahkan diri atau memerdekan wilayah. Padahal kan enggak. Banyak dilihat dari unsur politisnya," ujarnya menambahkan.
Hal itu lah yang dianggap sebagai 'pemerintah masih belum berbudaya'. Padahal, negara lain, kata dia, pemerintahnya justru mendukung penuh dalam pemberdayaan kebudayaan. Salah satunya soal bahasa lokal.
"Seperti di Papua, bahasa etnisnya semakin berkurang. Itu perlu didukung bahasa-bahasa etnis. Seperti pendidikan jadinya. Biar akurat pelestarian bahasa-bahasa tersebut," ucapnya.
Praktis, kata I Wayan, bahasa etnis bertahan dengan cara sendiri, yaitu mengandalkan upaya alamiah dari para petinggi adat. Tapi sayangnya, banyak masyarakat yang disebutnya kurang mengerti cara mentransfer bahasa tersebut agar tetap terjaga dan tidak punah di kemudian hari.
"Bahasa etnis harus ditransmisikan ke anak dan juga didukung oleh lingkungan sekitar, kalau tidak (bahasa) untuk generasi-generasi berikutnya bisa punah," ujar dia.
Maka dari itu, ia berharap pemerintah dapat segera mendokumentasi salah satu kekayaan budaya ini. Sebab, dengan dokumentasi, maka generasi selanjutnya dapat mempelajarinya dan menerapkannya.
Dokumentasi
LIPI pun menyadari ancaman besar atas bahasa etnis tersebut. Makanya badan peneliti itu mulai melirik pemanfaatan teknologi untuk dokumentasi bahasa yang terancam tersebut. Media digital yang disoroti LIPI yaitu konten visual.
Bagi peneliti, konten visual bisa menjadi penolong keberlangsungan riset di Indonesia. Bahkan media visual bisa menolong bahasa daerah yang kian terancam punah.
"Saat ini cenderung (ada) kepunahan bahasa daerah. Itu (bahasa daerah) perlu divisualisasikan. Misalnya mimik wajah itu perlu (divisualisasikan)," kata Bambang Subianto, Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI, di kantornya, Jakarta, Selasa, 1 September 2015.
Tapi sayangnya, Bambang melihat upaya penyelamatan potensi kepunahan bahasa daerah itu justru dilakukan peneliti asing. Bambang prihatin keterlibatan peneliti lokal dalam bahasa daerah kalah dengan peneliti luar negeri.
"Celakanya, yang senang penelitian bahasa itu adalah orang asing," ujar dia.
Untuk itu, dalam konteks ini gagasan penyatuan data penelitian dalam satu pintu menjadi sangat penting. Satu pintu penelitian akan mengamankan kepentingan nasional. Bambang mengatakan, dengan kondisi data penelitian masih tersebar di berbagai lembaga di Tanah Air menjadi pintu bagi peneliti asing untuk turun ke daerah-daerah.
"Peneliti luar harusnya bisa akses ke pusat (data penelitian secara nasional), tapi karena data yang dibutuhkan tidak ada, dia datang ke daerah. Apalagi pengolahan data di universitas juga lebih longgar," ujar Bambang.
Pelestarian bahasa yang dilabeli posisi terancam itu tentu tidak mudah. Sebab kondisi bahasa perlu mendapatkan penanganan yang berbeda sesuai kompleksitas bahasa tersebut.
Kepala P2KK LIPI, Sri Sunarti Purwaningsih, mengatakan hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan daya tahan bahasa etnis yang kurang baik diperlukan langkah-langkah penyelamatan yang tepat. Langkah ini berupa intervensi khusus agar bahasa-bahasa tersebut dapat diselamatkan.
"Intervensi yang diperlukan berbeda-beda dari satu bahasa dengan bahasa yang lain. Hal itu tergantung dari ekologi bahasa yang mendukung hidup matinya bahasa tersebut," ujar Sri.
Soal kenapa banyaknya bahasa terancam punah ada di Indonesia bagian timur, Sri menyebutkan lantaran banyak di area itu banyak suku kecil yang menuturnya sedikit. Hal ini berbeda dengan Indonesia wilayah barat yang mana ditinggali suku besar dengan penuturan bahasa yang kuat, yaitu bahasa melayu.
Upaya pemerintah
Dalam dokumentasi bahasa terancam punah di Indonesia, sebenarnya bukan tanpa upaya. Dalam artikelnya, Adi Budiwiyanto menuliskan upaya dokumentasi bahasa terancam punah di Indonesia mulai gencar dilakukan pada tahun 2000-an.
Upaya dokumentasi itu umumnya dilakukan oleh yayasan, institusi, atau perguruan tinggi, baik dari dalam maupun luar negeri.
Misalnya Hans Rausing Endangered Languages Project yang didanai oleh Arcadia dan DoBeS (Dokumentation Bedrohter Sprachen) Project yang disponsori oleh Volkswagen Foundation adalah beberapa contoh prakarsa pendokumentasian bahasa hampir punah di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Sementara dari Kemendikbud melalui Badan Bahasa, telah mendokumentasikan bahasa terancam dengan menginvetarisasi bahasa daerah di Tanah Air. Kegiatan ini disebutkan masih terus berlangsung.
Adi Budiwiyanto menambahkan banyak tantangan seputar dokumentasi bahasa. Misalnya Untuk dapat bertemu dengan penutur asli bahasa tertentu, pendokumentasi harus bekerja ekstra keras. Sebab secara geografis, penutur bahasa yang terancam punah susah dicapai, di pedalaman dan area terpencil.
Selain itu, waktu dokumentasi yang terbilang tidak singkat. Bentuk dokumentasi bahasa daerah yang terancam punah yang dihasilkan oleh Badan Bahasa pada umumnya baru sebatas kamus.
Terkait strategi dokumentasi pelestarian bahasa terancam punah, Sri Sunarti mengatakan setuju perlu memanfaatkan teknologi. Tujuannya, kata dia, pertama mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat dan selanjutnya dengan pengemasan yang lebih baik, akan menarik masyarakat untuk mempelajari da melestariksannya.
"Menurut saya yang penting pendekatannya ya. Kalau ada buku cerita, sandiwara dengan cara dan kemasan yang tidak konvensional, kan membuat orang tertarik mempelajarinya," kata dia.
Soal pengemasan, Sri Sunarti bisa menyontohkan media film seperti Ipin Upin yang mana pengaruhnya sudah terlihat di masyarakat.
"Bahasa itu kan ditiru anak-anak kan, dialeknya diikutin," ujar dia.
Pengemasan yang menarik ini juga menurutnya perlu dipertimbangkan dalam kurikulum pendidikan di sekolah di Tanah Air.
Dia mengatakan LIPI bersama lembaga bahasa, peneliti bahasa, dan Kemdikbud selama ini berkolaborasi untuk mengidentifikasi bahasa yang terancam punah. Dia mengatakan beberapa hasil kolaborasi itu di antara sudah membuat kamus bahasa tertentu, membuat film singkat tentang penuturan bahasa masyarakat tertentu.
"Kami sudah hasilkan kamus bahasa Owirata, bahasa Gamkonora, itu dibuat film juga dan masuk buku pelajaran," kata dia. (ren)