Tarik Ulur Gelar Kepahlawanan Soeharto
- Buku 'Pak Harto, The Untold Stories'
VIVA.co.id - Pemerintah Indonesia telah menyetujui penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Jenderal (Purn) HM Soeharto dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kedua nama tokoh tersebut telah diusulkan Tim Peneliti, Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) ke Dewan Gelar.
Soeharto merupakan Presiden RI kedua yang menjabat sejak 1968 hingga 1998. Sementara itu, KH Abdurrahman Wahid merupakan Presiden RI keempat yang menjabat pada periode 20 Oktober 1999–23 Juli 2001.
Namun, usulan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto dan Gus Dur kembali menyeruak jelang peringatan Hari Pahlawan, yang diperingati setiap 10 November.
Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, mengatakan, usulan gelar pahlawan bagi Soeharto dan Gus Dur dalam proses pengendapan, karena masih diusulkan oleh pihak TP2GP kepada Dewan Gelar. Adapun keputusan pengukuhan gelar pahlawan nasional bagi kedua tokoh itu tergantung rekomendasi Dewan Gelar.
"Hanya saja, untuk pembahasannya masih ditunda dulu," kata Khofifah usai memberikan kuliah umum di Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Senin, 9 November 2015.
Menurut Khofifah, penundaan proses pembahasan gelar pahlawan Soeharto dan Gus Dur oleh Dewan Gelar ini dilakukan karena menunggu waktu yang tepat, sambil memastikan tidak ada lagi hal-hal yang menjadi pemberat dalam keputusan penganugerahan gelar pahlawan nasional.
"Ini masuk dalam satu paket pertimbangan Dewan Gelar yang menyebutkan proses gelar pahlawan nasional masih diendapkan menunggu saat yang tepat," ujar dia.
Khofifah menegaskan, penganugerahan gelar kepahlawanan nasional untuk Soeharto dan Gus Dur sebenarnya tinggal selangkah lagi. Sebab, prosesnya masih menunggu Keputusan Presiden (Kepres), namun untuk mengeluarkan Kepres, juga harus melihat catatan Dewan Gelar.
Untuk mempercepat proses itu, Mensos tahun depan berencana mengingatkan Dewan Gelar untuk melanjutkan proses tersebut sampai dengan keluarnya Keputusan Presiden. "Sesungguhnya hanya menunggu waktu catatan dari Dewan Gelar, jadi diharap sabar untuk menunggu keputusan tersebut," ucapnya.
Selain nama Gus Dur dan Soeharto, sejumlah nama terdaftar sebagai calon penerima gelar pahlawan nasional. Salah satunya adalah mantan Komandan Jenderal Kopassus Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo. Khofifah menyebutkan, Sarwo Edhie salah satu yang sudah mendapat rekomendasi dari Dewan Gelar Pahlawan Nasional.
"Sudah memiliki Keppres, hanya tinggal proses penganugerahan saja," ujarnya.
Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, yang juga Menteri Pertahanan RI, Ryamizard Ryacudu, juga mengakui proses penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dan Gus Dur masih ditunda. Meski demikian, pemberian gelar pahlawan nasional bagi dua Presiden RI ini, sudah disetujui.
"Nama-nama seperti mantan Presiden Gus Dur dan Soeharto sudah masuk dalam pengukuhan gelar pahlawan," kata Ryamizard.
Selanjutnya....Tunggu 2016
Tunggu 2016
Ryamizard menegaskan, pemerintah Indonesia sangat menghargai jasa-jasa para pahlawan, orang-orang yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia, serta mengisi kemerdekaan dengan segenap jiwa raganya.
Adapun terkait ditundanya pemberian Soeharto dan Gus Dur gelar pahlawan nasional, Ryamizard membantah anggapan pemerintah sengaja mengulur. Menurut dia, gelar pahlawan bagi dua mantan pemimpin RI ini masih ditunda karena masih ada pihak yang pro dan kontra terkait keputusan ini.
"Bukannya dilambat-lambatkan (penganugerahan gelar pahlawan nasional). Sebenarnya kita menginginkan semua yang sudah diajukan menyandang gelar pahlawan nasional itu lolos. Tetapi kan ada yang tidak suka. Ya, kita hindarilah," ujar Ryamizard.
Mantan kepala staf TNI Angkatan Darat ini memastikan bahwa penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada mantan kepala negara itu dapat dilakukan pada 2016. "Pada intinya akan diumumkan, tidak tahun ini ya tahun depan. Yang pasti saya sudah lapor ke Presiden terkait ini," kata purnawirawan jenderal ini.
Terlepas dari adanya pro dan kontra terkait penganugerahan Soeharto dan Gus Dur sebagai pahlawan nasional, Ryamizard tetap menganggap kedua tokoh tersebut layak mendapat gelar pahlawan. Bagi dia, baik Soeharto maupun Gus Dur, dengan segala kekurangannya, telah meletakkan dasar-dasar yang kuat untuk negara ini.
"Ingat, negara ini begini karena dulu," tutur dia.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Menurut dia, wacana pemberian gelar ini sangat memprihatinkan, karena pemerintah seolah mengabaikan fakta yang terjadi di masa lalu.
Haris menilai, wacana pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto selalu dimunculkan di tengah ratusan ribu korban dan keluarga korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di era Soeharto, yang hingga saat ini belum mendapatkan keadilan dan kejelasan hukum atas pelanggaran tersebut.
"Soeharto nggak bisa jadi pahlawan selama belum ada tindakan konkret dari negara bagi para korban pelanggaran HAM yang terjadi di zaman orde baru," kata Haris kepada VIVA.co.id, Selasa, 10 November 2015.
Sementara itu, usulan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Gus Dur, Haris justru sangat mendukungnya. Sebab kata dia, meski masa jabatannya sebagai presiden tergolong singkat, namun Gus Dur telah mendorong banyak perubahan positif di era transisi demokrasi.
"Dia (Gus Dur) yang mendorong sejumlah perubahan menuju demokrasi," ujarnya.
Selanjutnya...Layak Jadi Pahlawan
Layak Jadi Pahlawan
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menjelaskan, pemberian gelar pahlawan bukan semata-mata karena citra dari seorang tokoh, melainkan karena ada fakta dukungan yang luas dari masyarakat. Karena itu, pengusulannya tidak bisa langsung dari pemerintah pusat.
Selain itu, kata dia, pengusulan penerima gelar pahlawan nasional harus melalui prosedur di suatu komite yang ada di Kementerian Sosial.
"Prosedur ini harus dihargai. Karena tidak boleh simbolisasi gelar itu diberikan oleh rezim pemerintah," kata Fahri ketika ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 10 November 2015.
Sementara itu, terkait kontroversi pengajuan gelar pahlawan nasional kepada dua Presiden RI, Soeharto dan Abdurrahman Wahid, Fahri minta semua pihak melihat secara objektif. Sebab, kedua tokoh tersebut pernah menjadi pemimpin bangsa dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
"Kedua-duanya (Soeharto dan Gus Dur) sudah meninggal dunia dan kita mengingat segala kebaikannya serta mendoakan supaya kelemahannya itu tidak menjadi dosa baginya. Itu lah sebab yang menjadikan mereka pahlawan kita dan itu tidak masalah," ujarnya.
Karena itulah, Fahri menginginkan Presiden yang mengumumkan ketika nanti Soeharto dan Gus Dur diberikan gelar pahlawan. Presiden menyampaikan sesuatu sebagai platform rekonsiliasi nasional secara lebih luas kepada bangsa ini.
"Kita tahu, antara Pak Harto dan Gus Dur dulu juga ada konflik, karena Gus Dur dengan gerakan-gerakan pro demokrasi waktu itu cukup menentang pemerintahan Soeharto. Tapi, jangan lupa bahwa Gus Dur sangat menghormati Pak Harto, begitu pun sebaliknya," kata mantan aktivis 98 ini.
Senada dengan Fahri, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Sodik Mudjahid, menganggap sudah sepantasnya pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada HM Soeharto dan Gus Dur.
Meski Sodik mengakui ada catatan yang menjadi kontroversi. Ia berharap semua kontroversi tersebut dihentikan.
"Memang Soeharto dan Gus Dur ada catatan (kontroversi). Tapi, bangsa, negara yang besar dan dewasa harus mampu memandang secara objektif," tuturnya saat dihubungi, Selasa 10 November 2015.
Selanjutnya....Bapak Pembangunan
Bapak Pembangunan
Politisi Partai Gerindra ini menambahkan, pemberian gelar pahlawan pada keduanya bukan karena pernah menjabat sebagai presiden Republik Indonesia. Tapi, karena jasa-jasa mereka kepada bangsa dan negara. Seperti gelar "Bapak Bangsa" yang diberikan kepada Gus Dur.
"Sebagai pembela pluralisme, saya pikir cukup menjadi alasan untuk menjadikan Gus Dur sebagai pahlawan nasional," ujarnya.
Semasa hidupnya, Gus Dur dikenal tokoh yang memperjuangkan nilai-nilai pluralisme, menanamkan sikap toleran dan menghargai perbedaan. Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara, termasuk warga keturunan Tionghoa di Indonesia.
Gus Dur menghapuskan sekat-sekat antara kaum pribumi dengan Tionghoa di Indonesia, dan mengembalikannya pada kesetaraan, persamaan hak dan anti diskriminasi. Salah satu warisan pluralisme Gus Dur adalah dengan menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari besar nasional.
Selain itu, kata Sodik, Presiden kedua RI, Soeharto juga disebut "Bapak Pembangunan". Julukan ini dinilainya tidak berlebihan, sekalipun Soeharto berkuasa lebih tiga dekade. Bagi Sodik, salah satu jasa besar Soeharto adalah konsep Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang mampu membawa Indonesia menjadi "Macan Asia".
"Ini membuat pembangunan terarah. Beliau layak dianugerahi gelar pahlawan nasional," ungkapnya.
Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia pada 1984 mampu mengubah wajah Indonesia dari predikat negara terbesar pengimpor beras menjadi swasembada pangan. Lebih dari 3 juta ton padi dihasilkan setiap tahunnya dari tanah dan petani Indonesia.
Soeharto pun dinilai sebagai pemimpin yang mahir memotivasi para petani dan nelayan sebagai penggerak ekonomi bangsa. Tak segan, Soeharto kerap menyebut dirinya adalah anak seorang petani. Hal tersebut dilakukannya, untuk memotivasi dan meningkatkan harga diri petani.
Di tangan Soeharto, Indonesia sangat disegani negara-negara sekitar, bahkan sempat dijuluki sebagai "Macan Asia". Negera jiran, seperti Malaysia dan Singapura tak berani terang-terangan mengganggu teritorial Indonesia. Soeharto dikenal piawai menjaga kawasan, baik di Asia Tenggara maupun Asia.
Namun di balik jasa-jasa Soeharto, sosoknya dianggap kontroversial. Sebab, semasa kepemimpinannya selama lebih dari 30 tahun itu, Soeharto dituding tokoh di balik kasus pelanggaran HAM di masa orde baru. Soeharto selama menjabat juga dituding melanggengkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Di balik berbagai kontroversi Soeharto, Sodik, mengingatkan ada kerinduan dari sebagian masyarakat akan sosok Presiden kedua RI itu. "Pola pembangunan beliau dirindukan," kata Sodik.