Kerikil Tajam Target Realistis Pembangunan Rumah Murah

Kompleks perumahan.
Sumber :
  • Rumahku.com
VIVA.co.id - Program rumah murah pemerintah dipertanyakan? Upaya pemerintah dalam memperkecil jarak antara ketersediaan rumah dibandingkan kebutuhan masyarakat ( backlog
) dinilai kurang efektif, bahkan justru akan memperlebar jarak tersebut. 

Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo, mengatakan hingga kini, rumah murah yang dibangun baru mencapai 78 ribu unit. Bahkan, hingga akhir tahun, diprediksi hanya mampu menyuplai 120 ribu hingga 130 ribu unit, atau kurang dari 25 persennya. 

Padahal, kebutuhan rumah per tahun mencapai 800 ribu unit. Berdasarkan data tersebut, menurutnya, kebutuhan rumah per tahun malah berisiko untuk melebar, atau minus sekitar 670 ribu unit rumah. Artinya, backlog yang saat ini diperkirakan mencapai 15 juta unit rumah, berisiko akan terus bertambah. 

"Kalau pemerintah konsisten, saya yakin backlog dapat teratasi. Tetapi, yang terjadi sekarang tidak demikian," ujar dia. 

Eddy mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal yang membuat pembangunan rumah murah sulit untuk dilakukan. Yaitu, masalah perizinan yang lambat dan ketidakmampuan pemerintah mengontrol harga tanah. Sehingga, saat ini melambung tinggi. Termasuk, untuk kepentingan pembangunan rumah murah. 

Permasalahan lain, menurut dia, adalah mengenai kebijakan PT PLN yang mewajibkan pemasangan listrik minimal 1.300 watt. Padahal, untuk rumah murah tidak perlu listrik sebesar itu, karena 900 watt saja dinilai sudah cukup.

Sikap pesimistis tersebut, juga didukung oleh data kinerja para anggota Apersi. Data itu mengungkapkan, pembangunan rumah murah belum merata dan hanya di daerah tertentu saja pembangunannya dapat terealisasi dengan baik. 

Dia memaparkan, saat ini, Jawa Barat menjadi suplier rumah murah terbanyak jika dibandingkan dengan regional lain. Daerah tersebut, menyumbang rata-rata 40 ribu unit rumah per tahunnya, diikuti Banten 10-15 ribu per tahun, Jawa Timur kurang dari 10 ribu, dan Jawa Tengah kurang dari 10 ribu unit. 

Sementara itu, regional dengan sumbangan rumah murah terendah ada di Papua, dengan pasokan kurang dari 1.000 unit. Bahan material yang tergolong mahal, serta daya beli masyarakat yang masih rendah, menjadi kendala utama pengembangan di wilayah paling timur Indonesia itu.

***

Pemerintah tidak membela diri

Menanggapi hal ini, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono menegaskan, pemerintah tidak akan bersikap membela diri atas segala kritikan dari pihak mana pun. Bahkan, dia mengakui, pemerintah memang berjuang keras untuk dapat menekan angka backlog tersebut. 

"Gini ya, saya tidak bertahan, tidak juga membela diri," ujarnya, ketika berbincang dengan VIVA.co.id, Minggu 11 Oktober 2015. 

Dia mengatakan, program sejuta rumah per tahun merupakan angka yang paling realistis yang bisa dilakukan pemerintah. Meskipun, pemerintah menyadari tantangan untuk merealisasikannya sangat berat, dan angka tersebut tidak mencukupi untuk menekan backlog yang ada saat ini.

"Kami realistis. Melihat dari pengembangnya, apakah lahannya sudah ada, uangnya juga. Akhirnya, kita cuma bikin satu juta rumah," tambahnya. 

Basuki mengungkapkan, saat ini, backlog perumahan saat ini diperkirakan minimal 13 juta unit. Namun, berdasarkan survei Bappenas, backlog perumahan, termasuk rumah tidak layak huni mencapai 17,5 juta unit. 

"Di program satu juta rumah ini harus menyediakan 13,5 juta unit. Jadi, kalo satu juta saja, itu butuh 13 tahun," ungkapnya. 

Dalam program satu juta rumah yang diinisiasi Presiden Joko Widodo ini, menurutnya, pemerintah tidak hanya membangun rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sebab, backlog perumahan tersebut tidak hanya menyangkut MBR, tetapi juta masyarakat berpenghasilan menengah dan atas. 

Namun, porsi MBR jelas menjadi prioritas pemerintah, sehingga jumlahnya lebih besar, yaitu 603 unit rumah untuk MBR. Hingga bulan September kemarin, dia mengungkapkan, dari target tersebut sudah lebih dari 493 ribu lebih rumah MBR dibangun oleh pengembang. 

"397 ribu itu kalangan menengah ke atas, dari pengembang REI (Realestat Indonesia). Pemerintah urusannya untuk MBR," kata Basuki. 

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Umum REI, Eddy Hussy menyambut baik program pemerintah tersebut. Menurut dia, sejauh ini, pemerintah berkomitmen untuk mempermudah pengembang untuk dapat merealisasikan pembangunan perumahan bagi masyarakat. 

Apalagi, menurutnya, pelemahan ekonomi ini tidak hanya menghantam MBR, tetapi juga masyarakat kelas menengah dan atas. Sehingga, daya beli perumahan merosot tajam. 

"Pemerintah memberikan beberapa kemudahan ini. Mungkin belum bisa semuanya, tetapi sudah mulai. Dengan mulainya daya beli masyarakat meningkat. Kalau meningkat, kebutuhan rumah ke depan akan lebih baik," tambahnya. 

***

Obral insentif perumahan murah

Direktur Jenderal Penyediaan Rumah Kementerian PUPR, Syarif Burhanudin, menjelaskan alasan pemerintah fokus menekan backlog perumahan untuk MBR. Sebab, backlog perumahan saat ini didominasi oleh MBR. 

"Untuk itu, pemerintah berupaya agar harga rumah terjangkau dan masyarakat mampu membeli," ujarnya. 

Atas dasar itu, menurutnya, pemerintah tidak tanggung-tanggung mengobral insentif, baik dari sisi suplai, yaitu kepada pengembang. Maupun dari sisi perminta, yaitu MBR. Akhirnya, lahirlah skema 1/5/20, yaitu satu persen uang muka, lima persen suku bunga flat untuk cicilan, dan tenor kredit maksimal 20 tahun. 

"Bahkan, dengan bantuan uang tunai Rp4 juta per keluarga yang saat ini sudah realisasi untuk PNS (pegawai negeri sipil). Sedangkan untuk non PNS (MBR), masih menunggu peraturan menteri keuangan, dananya sudah siap," tegasnya. 

Soal perizinan, dia pun menegaskan, pihaknya terus berkoordinasi dengan pihak terkait untuk bisa menekan segala biaya yang membebani. Antara lain, khusus rumah MBR dibebaskan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) dan Pajak Penghasilan (PPH) penjualan rumah tersebut. 

"Dan, sebentar lagi diskon 95 persen untukk IMB (Izin Membangun Rumah) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan)," ungkapnya. 

Karena itu, Syarif mempertanyakan apa yang menjadi keluhan Apersi mengenai kesulitan membangun rumah murah tersebut. Sebab, obral insentif yang diberikan pemerintah tersebut sangat disambut bauk oleh para pengembagn lainnya. 

"Rumah murah tidak semata-mata dibangun oleh Apersi, bahkan jumlah rumah murah lebih banyak dibangun oleh anggota REI, dan oleh Perumnas dan assosiasi lain (di luar Apersi) dan pemerintah," kata dia.

Dia pun mengimbau para pengembang lainnya untuk memanfaatkan fasilitas ini. Sehingga, ketersediaan rumah bagi masyarakat, khususnya untuk MBR dapat terus meningkat. 

"Rumah murah bukan hanya domain Apersi saja, tetapi siapa pun pengembang bahkan masyarakat secara gotong royong bisa ikut menyediakan rumah murah," imbaunya. 

Terkait pembangunan MBR, Menteri Basuki menambahkan, dukungan dari pengembang kepada pemerintah terus berdatangan. Bahkan, dalam waktu dekat ada sejumlah pengembang besar yang akan melakukan pemancangan batu pertama proyek perumahan bagi MBR. 

Optimisme akan berjalannya program ini, dikatakannya, juga terus meningkat. Sebab, Presiden Joko Widodo memantau secara langsung setiap detail dari hulu hingga hilir implementasi program ini. 

"Presiden mau ngomong setelah pulang dari Amerika. November dan Desember mulai groundbreaking (pemasangan tiang pancang)," kata Basuki. (asp)