Rakyat Suriah Mengungsi, Eropa Kelabakan
Selasa, 8 September 2015 - 06:52 WIB
Sumber :
- REUTERS/Stringer
VIVA.co.id
- Eksodus pengungsi Suriah ke Benua Eropa dalam dua pekan terakhir membuat publik terbelalak. Menurut catatan dari pejabat di wilayah Bavaria, Jerman, menunjukkan lebih dari 100 ribu pengungsi dari Suriah dan Timur Tengah tiba di Jerman sepanjang bulan Agustus lalu. Ini menjadi arus migran terbesar yang pernah ada di Benua Eropa.
Para pengungsi rela menempuh perjalanan panjang dan berbahaya dari negara asal di Suriah, lalu menuju ke Turki dan dilanjutkan ke Yunani. Negara Dewa Zeus itu dipilih sebagai pintu masuk bagi para pengungsi untuk mewujudkan mimpi mereka demi memiliki kehidupan yang lebih baik.
Publik di seluruh dunia tersentak dan baru menyadari betapa mengkhawatirkannya isu ini ketika jasad bocah Aylan Kurdi ditemukan tak bernyawa di tepi pantai di Bodrum, Turki pada pekan lalu. Menurut pengakuan Ayah Aylan, Abdullah Kurdi, Aylan terlepas dari pegangannya ketika perahu kayu yang mereka tumpangi terbalik.
Kapten perahu yang diketahui seorang warga Turki panik ketika ombak tinggi menghantam perahu. Penumpang yang ada di perahu kemudian memutuskan lompat. Jaket penyelamat yang dibawa keluarga Kurdi hilang ketika kapal terbalik.
"Saya mengambil alih kapal ketika kapten panik. Tetapi, ombak begitu tinggi dan perahu pun terbalik," ujar Abdullah seperti dikutip harian The Independent.
Dia mengatakan telah berupaya memegang tangan istrinya, Rehan, serta kedua putera mereka, Aylan dan Galip.
"Semua orang berteriak dalam kegelapan malam," kata Abdullah ketika mengenang kembali peristiwa menyeramkan itu.
Abdullah dan keluarga memutuskan berangkat sendiri menuju ke Yunani usai dua kali upaya mereka dengan dibantu jasa penyelundup manusia untuk bisa ke Pulau Kos, gagal. Menurut keterangan seorang pejabat berwenang di Pelabuhan di Bodrum, perahu yang digunakan untuk menyeberang ke Yunani tidak layak.
"Itu seperti sebuah perahu untuk anak-anak, mainan. Mereka membelinya dari sebuah toko dengan mesin motor elektronik yang juga menyerupai seperti sebuah mainan juga. Setiap hari, peristiwa semacam ini menewaskan empat atau lima orang," ujar pejabat berwenang itu.
Maka, mimpi Abdullah untuk membangun kehidupan yang lebih baik di negeri orang pupus. Alih-alih menjemput impian, pria berusia 40 tahun itu malah terpaksa harus mengubur sendiri jasad tiga orang paling penting dalam kehidupannya pada Jumat pekan lalu di kampung halamannya, Kobani.
"Tidak ada yang bisa menggantikan mereka. Jika kalian memberikan saya seluruh dunia, maka itu tidak sebanding dengan hilangnya nyawa kedua putera saya. Yang saya butuhkan saat ini, adalah Tuhan memberikan saya kesabaran," ujar Abdullah ketika memakamkan kedua putera dan istrinya.
Dia pun turut berharap, apa yang menimpanya bisa memberikan dorongan kepada pemimpin negara-negara Islam di Teluk Arab, agar tergerak dan mendamaikan situasi peperangan di Suriah. Selama empat tahun terakhir, Suriah diselimuti amuk perang saudara.
Belum lagi dalam enam bulan terakhir, Suriah ikut diduduki oleh kelompok militan yang kejam, Islamic State of Iraq and al Sham (ISIS). Akibat kejadian itu, tercatat sebanyak 4 juta penduduk Suriah telah mengungsi. Salah satu negara yang paling banyak mereka tuju semula adalah Turki.
Tetapi, sebanyak 2 juta warga Suriah sudah berada di kamp pengungsi. Sebagian dari mereka bahkan berpikir dengan tetap di sana, tidak akan mengubah nasib mereka ke mana pun.
Maka mereka mencari tempat baru untuk membangun mimpi. Hanya satu negara yang mereka tuju yakni Jerman.
Negeri Impian
Bagi pengungsi Suriah, jalur untuk menuju ke Jerman tidak mudah. Berdasarkan pengakuan salah satu dari pengungsi Suriah yang berada di Pulau Lesbos, Yunani akhir Juli lalu kepada organisasi International Rescue Committee, mereka membutuhkan waktu dua bulan untuk tiba di Jerman.
Baca Juga :
Kebanyakan rute yang mereka tempuh ketika di Suriah, yakni jalur darat ke Turki, lalu dilanjutkan perjalanan lewat laut menuju ke Yunani. Ada dua titik masuk yang biasa mereka tempuh, yakni lewat Pulau Kos atau Pulau Lesbos. Jika berhasil tiba dengan selamat di Yunani, maka mereka bisa melanjutkan perjalanan lewat jalur darat. Dimulai dari Macedonia, Kosovo, Serbia, lalu ke Hungaria.
Permasalahan sempat muncul ketika mereka tiba di Budapest, Hungaria pada pekan lalu. Sebab, Pemerintah Hungaria sempat menolak kehadiran mereka. Bahkan, ketika kereta yang membawa pengungsi dari Suriah tiba di Budapest, mereka dipaksa keluar dan berniat untuk dipulangkan ke negara asal.
Ratusan pengungsi yang kadung sudah tiba menolak. Mereka pun berunjuk rasa di depan stasiun dan menunggu agar bisa diberangkatkan ke Austria dan Munich, Jerman. Bahkan, ada yang sengaja nekat berjalan kaki dari Budapest menuju ke dua negara tadi.
Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orban mengatakan, sengaja memukul mundur arus warga Suriah ke Eropa, lantaran menganggap mereka bukanlah pengungsi.
"Mereka hanya ingin hidup seperti yang kini kita miliki dan saya pahami hal itu. Tetapi, hal tersebut tidak masuk akal. Jika kita izinkan semua orang masuk, hal tersebut justru akan menghancurkan Eropa," tegas Orban.
Bahkan, partai politik terbesar ketiga di Hungaria, Jobbik, melakukan unjuk rasa. Pemimpin Partai Jobbik, Gabor Vona, mengatakan di hadapan 300 warga Hungaria, negara mereka milik warga lokal.
"Kami menyukai semua orang, kami menghormati siapa pun, tetapi kami tidak ingin siapa pun datang kemari," tegas Vona seperti dikutip harian Al-Arabiya.
Tetapi arus eksodus ke Wina dan Munich sudah tak bisa lagi dibendung. Hungaria akhirnya menyerah dan mengirim ratusan pendatang dengan menggunakan bus menuju ke Austria dan Jerman.
Sementara, pengungsi Suriah yang berhasil lolos dengan menggunakan kereta ke Wina justru mendapat sambutan yang hangat dari warga lokal. Begitu tiba dengan kereta pertama pada akhir pekan lalu, sekitar 400 pengungsi Suriah disambut dengan suka cita.
Para pekerja kemanusiaan menawarkan makanan, minum dan paket produk kebersihan untuk laki-laki dan perempuan. Bahkan, para pejalan kaki di Austria berteriak menyambut kedatangan para migran dengan kata-kata: "selamat datang!" dalam Bahasa Jerman dan Arab.
Perlakuan serupa ditunjukkan warga Jerman ketika menyambut kedatangan para pengungsi di kota Munich. Ratusan warga biasa bahkan sengaja mengambil cuti dan pergi ke stasiun kereta api. Mereka mendonasikan makanan dan pakaian kepada pengungsi. Bahkan, ada yang memberikan boneka teddy bear bagi pengungsi anak-anak.
Pemerintah Jerman memprediksi, tahun ini saja mereka akan menampung sekitar 800 ribu pencari suaka dari Suriah dan negara Timur Tengah lainnya. Bahkan, jika diharuskan menampung lebih banyak, mereka mengaku siap.
Pemerintah Jerman bahkan secara sepihak membatalkan aturan yang telah diputuskan Uni Eropa terkait dengan pengungsi. Dalam aturan itu, pengungsi harus mengajukan suaka ke negara pertama yang mereka datangi.
Jerman mengatakan akan tetap memproses pengajuan suaka para pengungsi tersebut. Berdasarkan data yang dikutip stasiun berita Al Jazeera, pada akhir pekan kemarin, Jerman telah menerima kedatangan 8.000 pengungsi.
Menteri Dalam Negeri Jerman, Harald Neymanns mengatakan keputusan Berlin untuk membuka area perbatasan bagi warga Suriah merupakan pengecualian atas alasan kemanusiaan.
"Aturan Dublin mengenai pencari suaka yang telah disepakati oleh Uni Eropa tetap berlaku dan kami berharap negara anggota UE lainnya tetap mematuhi aturan tersebut," kata Neymanns.
Sejak awal, Kanselir Angela Merkel, telah menegaskan, negaranya siap menampung pengungsi dari Suriah. Sikap ini bertolak belakang dari negara-negara UE lainnya yang justru menutup perbatasan mereka.
"Jerman akan siap membantu ketika dibutuhkan. Tidak ada toleransi bagi mereka yang mempertanyakan martabat bagi orang lain dan tidak ada toleransi bagi mereka yang tidak bersedia membantu, padahal bantuan kemanusiaan dan hukum dibutuhkan," tegas Merkel seperti dikutip harian The Telegraph.
Maka sosok Merkel yang terkesan seram bak monster dalam kebijakan pemberian bantuan keuangan bagi Yunani, tiba-tiba berubah menjadi malaikat penyelamat. Pengungsi Suriah yang masih terjebak di Hungaria bahkan berteriak dan mengunggah foto Merkel di Facebook dengan tulisan: "Wir lieben dich" (kami mencintai kamu).
Tetapi, yang menjadi pertanyaan kini, apakah bisa Austria dan Jerman menampung semua arus pengungsi dari Suriah? Sebab, menurut media di sana, butuh anggaran sebesar 10 miliar Euro untuk menampung sekitar 800 ribu pengungsi Suriah.
Sementara, Pemerintah Hungaria mengatakan siap membangun pagar tinggi pembatas agar tidak ada lagi migran yang bisa masuk ke wilayahnya. Menurut Hungaria, mereka tidak akan bersedia lagi untuk mengirim pengungsi ke Jerman atau Austria dengan menggunakan bus seperti akhir pekan kemarin.
Kritik Negara Arab
Di saat Jerman dan Austria bersedia menampung pengungsi Suriah, publik mulai bertanya, kenapa warga Suriah memilih kabur ke Eropa? Kenapa tak lari saja ke negara tetangga terdekat yang notabene Muslim?
Laporan BBC edisi akhir pekan melansir, warga Suriah memang mencari perlindungan ke Lebanon, Yordania dan Turki. Tetapi, mereka segan menjejakkan kaki masuk ke negara-negara Teluk Arab.
Alasan utama, untuk masuk ke negara seperti Arab Saudi, warga Suriah butuh visa. Selain itu, mereka sudah mengetahui ada aturan tidak tertulis, sebagian besar permohonan visa mereka pasti ditolak. Padahal, mereka telah mengeluarkan biaya yang tak sedikit.
Sementara, tanpa visa itu, warga Suriah tidak diizinkan masuk ke negara-negara Arab. Mereka hanya bisa masuk ke Aljazair, Mauritania, Sudan dan Yaman. Kondisi di beberapa negara itu pun tidak jauh lebih baik ketimbang di negara asalnya.
Negara-negara di Teluk Arab kian disorot, karena sebenarnya, mereka memiliki kemampuan dan sumber daya untuk menampung pengungsi Suriah. Tetapi, pada faktanya tidak dilakukan.
Kritikan itu ditepis oleh seorang pengajar ilmu politik dari Uni Emirat Arab (UEA), Abdulkhaleq Abdulla. Dia mengatakan, sejak tiga tahun lalu, negaranya elah menerima lebih dari 160 ribu pengungsi Suriah.
"Jika bukan karena negara-negara Teluk, jutaan orang itu akan berada dalam kondisi yang lebih menyedihkan dibandingkan saat ini. Kritik yang menyebut negara-negara Teluk tidak melakukan apa pun, tidak lah benar," tutur Abdulla seperti dilansir harian The New York Times.
Pengajar dari Universitas di Riyadh, Arab Saudi, Khalir al-Dakhil, justru menuding negara barat sebagai dalang utama di balik eksodus warga Suriah ke Benua Eropa. Penyebab utama mereka kabur dari negara asal karena perang saudara yang tidak juga berakhir sejak tahun 2011 lalu.
"Mengapa hanya ada pertanyaan mengenai posisi negara Teluk, bukan mengenai siapa yang berada di balik krisis ini, siapa yang menciptakan krisis?" tanya al-Dakhil. (ren)