Mobil Listrik Selo Diambil Alih Malaysia, Salah Siapa?

Ricky Elcon (kiri) dengan Dahlan Iskan (kanan) di depan mobil listrik
Sumber :
  • Facebook Ricky Elson.

VIVA.co.id - Kabar menyentak publik di Tanah Air kembali datang dari dunia otomotif. Kabar itu terdengar buruk dan membuat siapa saja yang mendengarnya geram. Bagaimana tidak, mobil listrik purwarupa karya anak bangsa, Selo, diambil alih Malaysia.

Tak habis pikir, alasannya terdengar sepele. Pendanaan yang kurang dan tidak adanya dukungan penuh dari pemerintah Indonesia.

Pinangan itu jelas membuat banyak masyarakat bertanya-tanya seputar kinerja pemerintah yang dianggap abai dan tak peduli dengan kreativitas anak bangsa. Padahal, hingga kini Indonesia belum juga punya mobil nasional.

Sementara itu, kebanyakan mobil di Tanah Air hanya diisi oleh kendaraan asal sejumlah negara, utamanya Jepang.

Kondisi tersebut, tentu berbeda dengan sejumlah negara yang telah memiliki mobil nasional yang bisa dibanggakan, serta dijual ke beberapa negara; seperti Malaysia, China, Rusia, Amerika, India, dan sejumlah negara lainnya.

Tak heran, jika kemudian publik beranggapan pemerintah menganak-emaskan produk-produk luar negeri, ketimbang negeri sendiri. Jauh dari jargon yang belakangan gencar disuarakan, "cintai produk Indonesia".

Bicara pucuk, kabar ini bermula dari postingan Ricky Elson, si periset mobil listrik Selo, beberapa hari lalu. Pemuda asal Padang, Sumatera Barat, itu menyampaikan ada pihak negara tetangga, Malaysia yang kepincut untuk mengembangkan mobil listrik karyanya.

Bukan sekadar isu, karena Ricky mengaku telah melakukan pertemuan dengan pihak tersebut delapan bulan lalu di Kuala Lumpur, Malaysia.

Puncaknya 30 Agustus 2015, saat pihak investor menghubunginya kembali hingga menyatakan bersikeras untuk mengembangkan Selo. Di tengah kegamangan pengembangan Selo, Ricky merasa tawaran ini merupakan oase, atau titik terang bagi dirinya untuk kembali berkarya. Ia pun kemudian memutuskan untuk menerima tawaran tersebut.

Selanjutnya >>> Tak dihargai di negeri sendiri...

***

Tak dihargai negeri sendiri

Dalam sebuah wawancara dengan VIVA.co.id, Ricky mengaku keputusan ini sudah bulat. Kata dia, kerja sama itu telah diputuskan, dan dia menegaskan jika kerja sama tersebut bukan kepada pihak pemerintah Malaysia.

“Memang benar nantinya akan bekerja sama, namun saya tegaskan bahwa saya bukan bekerja sama dengan Malaysia, melainkan lebih kepada individu warga Malaysia,” ujarnya saat dihubungi, Kamis 3 September 2015.

Meskipun demikian, pria yang kini tinggal di Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat, itu enggan mengungkapkan siapa identitas orang tersebut yang pernah ditemui delapan bulan lalu di Kuala Lumpur.

Ia hanya menegaskan, jika langkah itu dipilih, karena merasa tak dianggap di dalam negeri dan justru lebih dihargai negara lain, termasuk Malaysia. Padahal, sebelumnya Ricky terbilang cukup nyaman dengan karyanya di Jepang, dan memilih balik ke Indonesia untuk melakukan pengembangan.

Yang pasti, kata Ricky, bukan berarti dia tak cinta terhadap Indonesia dengan keputusan ini. Tetapi, ia hanya melakukan apa yang terbaik untuk menghidupkan mimpinya mengembangkan mobil listrik buatannya.

“Saya hanya rakyat, saya tidak mau bekomentar mengenai tanggapan orang lain, atau ke depannya seperti apa untuk mobil ini (Selo). Karena, saya sudah berjanji untuk tidak mengungkapkan apa pun mengenai perkembangan mobil ini,” katanya.

Kendati demikian, dia mengaku banjir kritikan dan dukungan dari masyarakat. Ia menegaskan, keputusan ini semata-mata demi pendanaan. Sebab, agak sukar jika mengharapkan dukungan pemerintah.

Mengingat, pengembangan sebuah mobil tentu membutuhkan pendanaan yang cukup besar. Meski dipinang Malaysia, Ricky mengaku mengajukan satu syarat. Dia ingin seluruh proses pengerjaan dilakukan di Tanah Air, dan itu disinyalirnya sesuai harapan.

“Proses Pembuatan tetap harus di Indonesia. Ini bukan soal menjual diri, tetapi kami harus terus berkarya. Insya Allah ini hanya (sebatas) persoalan sumber pendanaan. Tetap dibuat dengan tangan-tangan kita di negeri ini, hanya yang membeli dan memiliki mereka," kata Ricky.

Satu hal lain yang memantik Ricky untuk lebih memilih menerima tawaran dari pihak Malaysia, karena ancaman hukum. Sebab, rekannya sesama Putra Petir, Dasep Ahmadi, kini ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus proyek pengadaan mobil listrik oleh sejumlah Badan Usaha Milik Negara di era mantan Menteri Dahlan Iskan.

Dalam status di media sosialnya, Ricky bahkan mengaku telah dipanggil Kejaksaan Agung. Ia menyatakan akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus tersebut. "Ironi, berkarya di negeri sendiri terancam penjara," katanya.

Selanjutnya >>> Komodo juga sempat mau dicaplok Malaysia...

***

Komodo juga sempat mau 'dicaplok' Malaysia

Cerita miris mobil listrik Selo, rupanya juga sempat menghinggapi mobil buatan Cimahi, Komodo. Salah seorang investor asal Malaysia, rupanya juga sempat melirik mobil offroad penjelajah berbagai medan itu. Beruntung tidak terjadi, karena tak dikabulkan.

Hal itu diungkapkan langsung President Director PT Fin Komodo Teknologi, Ibnu Susilo, yang juga menciptakan mobil FIN Komodo. Ibnu bercerita, ketertarikan negeri tetangga untuk meminang hasil karyanya terjadi beberapa tahun lalu, sejak pertama kali Komodo didesain dan dirancang pada 2006, hingga akhirnya menjadi purwarupa pada 2008. Saat itu, Komodo langsung mampu menarik hati Malaysia.

“Tetapi, saya tidak mau. Sebab, saya ingin membangun industri otomotif nasional. Kami ingin menjadi industri yang berbudaya teknologi Indonesia,” kata Ibnu kepada VIVA.co.id.

Ibnu mengakui, jika menerima tawaran Malaysia, dia akan mendapatkan sejumlah fasilitas untuk pengembangan mobil. Termasuk, akan dibuat produksi massal. Bahkan, dia juga akan diberikan uang pengganti sejak melakukan riset sampai jadi purwarupa.

Namun, hal itu ditolak Ibnu. Kata dia, jika tawaran itu diterima, tentu saja tak ada lagi PT FIN Komodo Teknologi. Sebab, logo dan lainnya menjadi hak milik Malaysia, yang juga dijual kembali ke Indonesia.

Terkait apa yang diputuskan Ricky, Ibnu tak menyalahkan sikapnya. Sebab, dia menyadari kecilnya dukungan pemerintah terhadap mobil nasional. Sebenarnya, proyek mobil nasional dinilai merupakan tantangan yang perlu dijawab oleh pemerintah, mengingat daya beli masyarakat yang tinggi terhadap kendaraan. Namun, sayang porsi besar itu hanya dinikmati para produsen asing.

"Jika pemerintah hanya mendorong produsen otomotif asing untuk buka pabrik di sini (Indonesia), itu tidak akan menjawab persoalan. Kita tidak akan pernah punya mobil nasional," kata Ibnu.

Pemerintah, kata dia, seharusnya mendorong agar mobil nasional itu terus berdiri, tidak hanya di depan publik saja. Namun, sejalan dengan apa yang disampaikan. "Karena, saat ini terlihat setengah-setengah, dukungan gitu-gitu saja," ujar Ibnu.

Bila itu yang terus dilakukan, lanjut Ibnu, tidak akan mungkin embrio-embrio mobil nasional seperti halnya mobil Komodo, Selo, Gendhis, dan lainnya akan tumbuh. Terlebih, minat pasar sudah terbentuk dengan produk-produk mobil keluaran raksasa produsen otomotif yang ada saat ini.

Terlebih, lanjutnya, meski membuka pabrik sekali pun di Indonesia, produsen mobil asing tidak akan dinilai, tak bakal membiarkan Indonesia mempunyai mobil nasional. Sebab, hal itu tentu berpotensi mengancam keberlangsungan bisnis mereka.

"Maka itu, pemerintah harus membantu melakukan pengembangan industri otomotif yang mandiri. Sebab, teknologi asing apa pun tidak bisa ditransfer ke kita. Pemerintah harus budayakan teknologi, manfaatkan banyak insinyur-insinyur kita," ujarnya.

"Jangan bicara mahalnya biaya riset, pengembangan teknologi, dan sebagainya. Tetapi, bicara ke depannya. Ibarat istri, atau anak, apakah kita harus sayang dengan istri, atau anak orang lain, sedangkan keluarga kita belum terurus. Toh, tujuannya untuk membahagiakan mereka," kata Ibnu.

Selanjutnya >>> Komentar pemerintah...

***

Kemenristekdikti: Ricky tak komunikasi

Pernyataan yang disampaikan Ricky terkait tak adanya dukungan pemerintah dibantah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemristekdikti, Muhammad Dimyati, mengatakan Ricky Elson selama ini tidak membangun komunikasi yang cukup dengan pemerintah.

Artinya, riset yang dilakukan Ricky Elson dan timnya merupakan riset pribadi. Sehingga, Ricky Elson sebagai peneliti berhak melakukan kerja sama dengan pihak mana pun. "Respons seperti apa yang diminta (Ricky)? Apakah Ricky pernah mengomunikasikan penelitiannya itu kepada Kemenristekdikti?" kata Dimyati.

Menurut Dimyati, Ricky seharusnya membuka komunikasi dengan pemerintah dan tidak langsung gegabah untuk menerima tawaran yang datang kepadanya. "Kadang, itu (Ricky) ada rasa tidak sabar juga," katanya.

Sementara itu, Menristekdikti M. Nassir mengatakan, pihaknya akan mengutus tim untuk menjalin komunikasi dengan Ricky. Tim yang diutusnya akan menggali informasi seputar keperluan riset Selo.

Nasir mengatakan, secara kelembagaan riset mobil Selo karya Ricky itu tidak terkait dengan Kemenristekdikti. Sebab, dalam menjalankan risetnya, Ricky tidak mengatasnamakan program pemerintah maupun institusi pemerintahan. Menurut Nasir, pemerintah sejatinya terbuka untuk membangun kerja sama riset dengan perorangan, atau kelompok di luar institusi pemerintah.

Namun, kerja sama di bidang mobil listrik, diakuinya, masih belum masuk dalam prioritas kerja sama pemerintah-perorangan. Lantaran, kerja sama dengan periset perorangan masih fokus di bidang-bidang yang dinilai lebih strategis seperti bidang kesehatan, pangan, dan energi.

Di sisi lain, terlepas dari proyek riset mobil Selo oleh Ricky Elson, Nasir mengatakan, pemerintah sudah memiliki proyek mobil listrik nasional. Proyek ini digarap oleh sejumlah kampus negeri papan atas seperti Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung.

Nasir memastikan, proyek mobil listrik yang dimulai di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu tetap berlangsung hingga saat ini. (asp)