'Bebasnya' Tenaga Kerja Asing Kini di Indonesia

Tenaga Kerja Wanita di Jakarta
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy
VIVA.co.id - Pemerintah menghapus kewajiban tenaga kerja asing untuk memiliki kemampuan berbahasa Indonesia.

Ketentuan yang dulunya termaktub dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 12 tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan itu, kini direvisi dalam Permenakertrans Nomor 16 tahun 2015.

Tak diwajibkannya para tenaga kerja asing untuk mampu berbahasa Indonesia, didasari atas keluhan sejumlah investor baik lokal maupun dari luar negeri. 

Investor lokal misalnya, dengan adanya ketentuan itu jelas membuat mereka kesulitan, saat hendak menggunakan yang sesuai kebutuhan mereka.

"Aturan itu (kewajiban berbahasa Indonesia) merupakan penghalang (investasi) yang tidak perlu," ujar Direktur Kamar Dagang Amerika Indonesia Lin Neumann, belum lama ini.

'Penghalang tak perlu' ini sejatinya ditujukan sejak lama oleh pemerintah Indonesia, agar mempercepat alih ilmu dan teknologi dari tenaga kerja asing ke tenaga kerja dalam negeri.

Sekaligus untuk meminimalisir benturan budaya akibat kendala bahasa. "Ketentuan ini, sekaligus proteksi kepada tenaga kerja kita sendiri," ujar Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia Rieke Diah Pitaloka.

Genjot investasi

Keputusan penghilangan syarat berbahasa Indonesia bagi diakui memang instruksi dari Presiden Joko Widodo.

Kebijakan itu, lebih dimaksudkan untuk menghilangkan kekhawatiran para pekerja asing yang hendak masuk ke Indonesia. 

"Presiden ingin semua regulasi yang menjadi penghalang direvisi. Termasuk, penghilangan syarat berbahasa Indonesia," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Jumat lalu.

Jokowi meyakini, dengan peniadaan sejumlah 'penghalang tak perlu' yang senada di pikiran kaum investor, akan membuka keran investasi di Indonesia lebih baik. "Presiden ingin genjot investasi," kata Anung.

Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri tak menampik perubahan kebijakan tersebut. Meski pada Januari lalu, dia sempat bersikukuh akan memperjuangkan untuk mewajibkan pekerja asing bisa berbahasa Indonesia.

Baca:

Namun, sepertinya ia berubah haluan. Hanif menyepakati bahwa Permenakertrans memang harus direvisi. Salah satunya adalah menghilangkan syarat bisa berbahasa Indonesia.

"Regulasi sekarang ini untuk mempermudah pelayanan bagi para pekerja asing. Ini juga disesuaikan dengan arahan dari presiden," kata Hanif.

***

Ancaman tak terkendali

Kebijakan mencabut syarat penggunaan Bahasa Indonesia bagi , sejatinya memang sudah dibuat sejalan dengan kebijakan lain.

Salah satunya adalah dengan kebijakan mempermudah visa pekerja asing yang masuk kategori tenaga ahli dan dengan waktu kerja singkat.

Ketentuan itu telah disesuaikan dalam pelayanan terpadu satu pintu untuk investasi di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). "Jadi, sekarang semua supaya izin kerja tenaga asing itu dimudahkan untuk merangsang investor masuk," ujar Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly, beberapa waktu lalu.

Baca:

Kebijakan demi kebijakan yang disusun sitematis dengan visi menggenjot investasi inilah yang dikhawatirkan politisi PDIP Rieke Diah Pitaloka.

Sebab, secara perlahan proteksi terhadap tenaga kerja dalam negeri akan terkikis perlahan. Data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, secara keseluruhan total tenaga kerja asing di Indonesia sudah mencapai 68 ribu orang.

Jumlah ini memang relatif lebih kecil dibandingkan dengan sedikitnya 129 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia.

Namun, dengan kebijakan demi kebijakan itu, bukan tidak mungkin akan kondisi berbalik akan terjadi. Apalagi, ini diterapkan dalam jangka panjang.

"Bisa dibayangkan nanti seluruh tingkat lapangan kerja di Indonesia akan disesaki tenaga kerja asing," ujar Rieke.

Melanggar undang-undang

Keputusan pencabutan Bahasa Indonesia bagi pekerja asing, langsung menuai respons negatif dari sejumlah pihak khususnya selain investor.

Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf pun langsung mengingatkan Jokowi, agar berhati-hati atas keputusan tersebut. Apalagi, kebijakan itu berpotensi mengancam masalah sosial baru di tingkatan masyarakat.

Baca:

"Solusi untuk menggalang investasi tidak dengan melepas bahasa begitu saja. Ini (penghilangan bahasa Indonesia) akan menyebabkan gap sosial," ujar Dede.

Menurut Dede, sejatinya penggunaan bahasa Indonesia sudah merupakan kewajiban yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor24 tahun 2009.

Di mana dalam ketentuan itu, seluruh kontrak kerja baik untuk perusahaan negara, swasta dan sebagainya harus menggunakan bahasa Indonesia.

"(Karena itu) pemerintah melanggar undang-undang. Kalau tidak diatur ketentuan Bahasa Indonesia, maka kontrak kerja akan dibuat dengan bahasa semaunya," kata Dede.

Senada dengan Dede. Rieke Diah Pitaloka juga menyuarakan keluhannya atas kebijakan itu. Dalih pemerintah bahwa Bahasa Indonesia seolah ditempatkan sebagai penghambat investasi dinilai tak berdasar.

Sebab, menurut Rieke, masalah investasi di Indonesia dipicu oleh lemahnya penegakan hukum. Mafia investasi, bea cukai, dan pajak hingga ke mafia perizinan dan pungutan liar terlanjur mewabah di Indonesia.

"Problem masuknya investasi, atau problem industrialisasi bisa dipastikan bukan karena aturan tentang kewajiban berbahasa Indonesia, yang justru bagi saya seharusnya dipertahankan," kata Rieke.

***

Benahi tenaga kerja lokal

Di bagian lain. Kebijakan yang terlanjur sudah diputuskan demi menggenjot investasi ini, sedianya harus tetap dibarengi dengan penguatan kapasitas tenaga lokal.

Menurut Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Indonesia tidak mungkin mengelak dari aktivitas mobilitas sumber daya manusia antarnegara.

Karena itu, meski tenaga kerja asing kini dimudahkan. Pembekalan dan peningkatan standar kompetensi tenaga kerja lokal harus juga disegerakan.

Baca: 

"Nanti akan dijagam agar angka pengangguran tidak meningkat akibat persaingan antara tenaga kerja asing dengan tenaga kerja dalam negeri," kata Hanif.

Hingga kini, data Kementerian Tenaga Kerja untuk izin memperkerjakan tenaga kerja asing tercatat lebih dari 68,7 ribu pekerja asing ada di Indonesia.

Tiongkok tercatat sebanyak 16.328 orang, Jepang 10.838 orang, Korea Selatan 8.172 orang, India 4.981 orang, Malaysia 4.022 orang, Amerika Serikat 2.658 orang, Thailand 1.002 orang, Australia 2.664 orang, Inggris 2.227 orang ,dan Filipina sebanyak 2.670 orang.

"Keunggulan kompetitif suatu bangsa tidak ditentukan oleh kekayaan sumber daya alam, tetapi lebih banyak ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi," Hanif. (asp)