Ketika Konsumen Terbesar di Asia Mulai Khawatir
Kamis, 30 Juli 2015 - 05:59 WIB
Sumber :
- ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra
VIVA.co.id - Krisis ekonomi global semakin membuat Indonesia mengalami keterpurukan. Dipicu oleh sentimen negatif rencana kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, penurunan ekonomi China, dan diperparah dengan anjloknya harga komoditas internasional.
Baca Juga :
Semakin terintegerasinya dunia, membuat akumulasi permasalahan internasional tersebut terpaksa harus ikut menghempas ekonomi nasional. Di tengah masih rentannya podasi baru ekonomi dalam negeri yang dibangun pemerintahan Presiden Joko Widodo, yang belum genap satu tahun ini.
Hasilnya, mulai dari nilai ekspor Indonesia yang anjlok akibat harga komoditas andalan ekspor merosot tajam. Hingga, pertumbuhan ekonomi yang jauh di bawah target 5,7 persen di APBN-P 2015 menjadi hanya 4,7 persen di triwulan I tahun ini.
Rupiah pun terus berfluktuasi dan cenderung mengalami pelemahan di kisaran Rp13.400 per dolar AS, mendekati posisi resesi ekonomi terparah dialami Indonesia pada 1998 lalu.
Hal tersebut jelas berdampak sistemik dan akhirnya memicu gejolak pasar keuangan dan meninmbulkan kekhawatiran para investor keuangan, sehingga indeks harga saham gabungan (IHSG) pada pekan pertama setelah libur Lebaran tidak beranjak dari zona merah.
Di sisi ritel, pola konsumtif masyarakat Indonesia masih terus diandalkan pemerintahan untuk mengerek perekonomian minimal di posisi yang aman. Namun, hingga triwulan II tahun ini, tampaknya kepercayaan sekitar masyarakat Indonesia yang notabennya konsumen terbesar di kawasan Asia, terus tergerus oleh kondisi ekonomi yang semakin mengkhawatirkan.
Perusahaan survei konsumen Internasional, Nielsen melalui survei keyakinan konsumen yang baru dirilis, memotret kekhawatiran masyarakat Indonesia tersebut. Survei yang dilakukan kepada 30 ribu konsumen di 60 negara di dunia ini, menguak hasil yang seharusnya menjadi perhatian para pemimpin di negeri ini.
Dikutip VIVA.co.id, Rabu 29 Juli 2015, dari Nielsen Global Survey of Consumer Confidence and Spending Intentions, kekhawatiran konsumen Indonesia di seluruh aspek ekonomi semakin memburuk. Kekhawatiran tersebut, tampaknya sudah semakin nyata dan mengerogoti keuangan mereka.
Survei itu menjabarkan tingat kekhawatiran mengenai kondisi ekonomi Indonesia mengalami kenaikan dari 33 persen di triwulan I menjadi 37 persen. Kepanikan tersebut, juga mendorong kekawatiran mengenai mahalnya biaya kesehatan yang ikut naik dari 14 persen menjadi 17 persen pada periode yang sama.
Kondisi lainnya yang dikhawatirkan adalah keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan di Indonesia. Memburuknya kondisi ekonomi membuat aspek tersebut juga mengalami peningkatan dari 16 persen menjadi 17 persen.
Namun, ada yang menarik, di tengah memburuknya kondisi ekonomi saat ini, kekahwatiran mengenai tingkat kejahatan menurun cukup signifikan, dari 23 persen di triwulan I menjadi 15 persen di triwulan II.
Tingginya kekhawatiran tersebut, juga memengaruhi pola pengelolaan keuangan masyarakat. Tercatat, kebiasaan konsumen Indonesia menurun pada periode yang sama dari 74 persen menjadi 69 persen.
Keinginan untuk berinvestasi juga tergerus dari 35 persen menjadi 32 persen responden yang mengikuti survei tersebut. Bahkan, 45 persen konsumen sampai menggunakan uang cadangan mereka untuk berlibur.
Masih optimis
Meskipun mengalami penurunan, survei tersebut mencatat, konsumen di Indonesia masuk tiga besar dari 60 negara yang masih merasa optimistis bahwa perekonomian global, khususnya di negaranya akan segera kembali pulih dari keterpurukan.
"India masih menjadi negara yang paling optimis dengan skor indeks 131, diikuti dengan Filipina dengan skor 122," kata Managing Director Nielsen Indonesia Agus Nurudin di kantornya.
Skor indeks keyakinan konsumen Indonesia tercatat sebesar 120 poin pada triwulan II 2015, turun tiga poin dari triwulan sebelumnya. Posisi Indonesia pun digeser oleh Filipina, dengan 122 poin dan posisi pertama adalah konsumen di India sebesar 131 poin.
"Pertumbuhan Indonesia triwulan I itu 4,71 persen, sedangkan Filipina 5,2 persen. Lalu, proyeksi dari beberapa institusi finansial, masyarakat, dan lembaga merasa confident," kata dia.
Lalu, bagaimana pandangan konsumen tentang belanja, juga masih positif. Walaupun peringkatnya mengalami penurunan tiga persen, ada 53 persen konsumen yang melihat dalam waktu 12 bulan ke depan merupakan waktu yang baik untuk berbelanja barang yang mereka inginkan.
Khususnya, konsumen online di Indonesia masih berpandangan positif dan optimistis. "Kami yakin masih punya kepercayaan diri, atau keyakinan yang tinggi untuk jangka panjang," tambahnya.
Obral investasi ke asing
Berbagai cara di lakukan pemerintah untuk mengairahkan kembali perekonomian saat ini. Koordinasi dengan otoritas fiskal, moneter dan sektor rill terus diperkuat, sehingga bauran kebijakan baru yang dikeluarkan tidak malah menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis.
Dari sisi investasi, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, selama pemerintahan Jokowi ada ribuan investor mengajukan permohonan izin investasi di Indonesia.
Data BKPM menunjukkan semester I-2015, terdapat 5.032 proyek yang mendapatkan Izin Prinsip (IP) penanaman modal, dengan total sebesar Rp721,9 triliun.
Dari total tersebut, asing mendominasi terlihat dari Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp532,7 triliun, sedangkan Rp189,2 triliun adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Tidak mengherankan, data tersebut bisa jadi merupakan hasil dari upaya pemerintah, khususnya Jokowi yang gencar mempromosikan Indonesia ke investor asing.
Dalam beberapa kesempatan di ajang internasional, Jokowi dan para pembantunya terus menggaungkan daya tarik investasi yang ditawarkan pada masa pemerintahannya.
Seperti dalam kunjungannya ke Singapura, Selasa kemarin. Di hadapan para pengusaha Singapura, Jokowi mendorong agar investor asal Singapura tidak melewatkan kesempatan untuk membenamkan lebih dalam lagi dana di Indonesia.
"Sejarah membuktikan mereka yang berhasil menangkap (peluang), mereka yang datang lebih awal, akan menjadi pihak yang meraup keuntungan besar," ujarnya dalam kesempatan tersebut.
Kendati begitu, Jokowi memaklumi jika masih ada keraguan investor akan kemampuannya untuk bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apalagi, di saat yang sama, dia harus berjuang mengatasi perpecahan di dalam partai politik koalisinya, kemudian sengketa yang terjadi di antara sesama lembaga pemerintahan.
"Ya, memang benar, kami masih memiliki banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di Indonesia," kata dia di hadapan sekitar 200 CEO.
Namun, meskipun sarana dan prasarana investasi masih dirasa belum ideal, lagi-lagi besarnya konsumen menjadi tawaran mengiurkan bagi para investor.
Pasar yang mengiurkan
Besarnya jumlah penduduk di Indonesia sekitar 250 juta, dengan jiwa konsumtif yang akut, memang menjadi pasar yang menggiurkan bagi para produsen internasional. Tidak hanya sektor swasta, hal tersebut juga diakui oleh seluruh negara di dunia.
Director Hong Kong Trade Development Coucil (HKTDC) di Malaysia, Hoh Jee Eng ketika berbincang dengan VIVA.co.id, Rabu 29 Juli, mengakui hal tersebut. Meskipun ekonomi Indonesia sedang mengalami kemerosotan yang berdampak pada melemahnya daya beli konsumen, tidak menyurutkan niatan untuk mempromosikan produk Hong Kong di pasar dalam negeri.
"Kami tidak melihat saat ini, tetapi melihat potensinya di masa depan," ujarnya.
Hal tersebut, menurutnya, sudah terbukti dengan banyaknya negara yang mendorong produknya di pasar Indonesia. Bahkan, saking besarnya konsumen potensial, ada sebuah brand ponsel pintar terkemuka di dunia, yang keuangan perusahaannya terselamatkan dari kebangkrutan, karena produknya laris manis di Indonesia.
Lebih lanjut, dia menjabarkan, ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Hong Kong menjadikan Indonesia target pasar utama di kawasan ASEAN. Antara lain, Indonesia memiliki populasi kelas menegah terbesar di antara negara-negara di kawasan.
Data HKTDC menunjukkan bahwa ada sekitar 61 juta masyarakat kelas menegah di Indonesia, dan diperkirakan daya beli masyarakatnya terus meningkat di masa depan.
Selain itu, dengan bermodalkan pasar yang besar, pertumbuhan ekonomi Indonesia memiliki peluang yang besar untuk terus meningkat, tahun ini diperkirakan akan mencapai 5,5 persen.
"Kami ingin bekerja sama dengan Indonesia, meskipun perekonomian sedang melemah, kami percaya dengan Presiden Jokowi. Kami akan berikan yang terbaik," tegasnya. (asp)