'Genderang Perang Ditabuh' Tersangka Pembunuh Engeline
- ANTARA/Nyoman Budhiana
VIVA.co.id - Senin, 13 Juli 2015, sidang perdana gugatan praperadilan ibu angkat Engeline, Margriet Christina Megawe, digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali.
Sidang mengagendakan pembacaan permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka pembunuhan Engeline itu.
Sejak pagi, ribuan pria berbadan kekar sudah memadati halaman pengadilan. Ada tiga organisasi masyarakat besar di Bali ikut dalam aksi ini. Di antaranya Baladika Bali, Laskar Bali dan Pemuda Bali Bersatu (PBB).
Pantauan di lapangan, sekitar tiga ribu orang berbaris rapi. Mereka membawa sejumlah spanduk. Polisi pun menutup arus di Jalan Sudirman Denpasar.
Keramaian tak hanya di luar pagar, di dalam Gedung PN Denpasar beberapa anggota ormas merangsek ke dalam ruang. Ingin menyaksikan langsung jalannya sidang.
Beberapa di antaranya mengikuti jalannya sidang yang berlangsung sekira 2,5 jam. Sidang yang dijadwalkan pukul 10.00 WITA, namun hakim tunggal Achmad Petensili baru memasuki ruang sidang sekira pukul 10.30 WITA.
Begitu memegang palu sidang, hakim terlebih dahulu meneliti berkas permohonan preperadilan, surat tugas dan keabsahan masing-masing kuasa hukum. Setelah dianggap lengkap, sidang langsung dimulai dengan membacakan materi permohonan pemohon.
Di dalam ruang sidang, orang-orang sudah berjubel. Di luar gedung tak kalah seru. Meski terik matahari menyengat, ribuan anggota ormas tetap bertahan.
Aksi mereka dikawal dua tiga kompi Dalmas Polresta Denpasar. Mereka berbaris rapi. Sesekali berteriak, melontarkan berbagai kalimat kecaman kepada Margriet dan tim kuasa hukumnya.
"Para pengacara, mending bela anak kecil daripada bela penjahat. Jangan cari sensasi dalam kasus Engeline," salah satu teriakan demonstran. [Baca ]
Ketua Harian Ormas Laskar Bali, I Ketut Rochineng, mengaku akan mengerahkan massa tiap kali sidang digelar. "Kami mendukung langkah Polda Bali. Hari ini kami kerahkan massa sebanyak 1.500 anggota," kata Rochineng kepada VIVA.co.id di lokasi.
Di dalam ruang sidang, saat kuasa hukum Margriet yang diwakili Dion Pongkor, Aldres Napitupulu, Jefri Kam dan Posko Simbolon bergantian membacakan permohonan materi praperadilan, sesekali pria berbadan kekar itu berteriak mendukung Polda Bali.
"Hidup Polda Bali," teriak seseorang yang menggunakan pakaian serba hitam itu.
Kuasa hukum Margriet tak terpengaruh. Mereka tetap membacakan kalimat demi kalimat dalam berkas permohonannya.
Sekira pukul 12.30 WITA, saat palu hakim diketut tanda sidang ditutup. Empat kuasa hukum Margriet yang tergabung dalam Firma Hukum Hotma Sitompoel dan Associates itu bergegas. Meninggalkan ruang sidang. Mereka diarahkan menuju belakang Gedung PN Denpasar. Dikawal petugas.
Keempat pengacara dari Jakarta itu juga dikawal pria berbadan kekar. Rupanya, sedari tadi, tim kuasa hukum Margriet telah mendapat pengawalan ketat pria yang juga berbadan tinggi kekar.
Korban opini publik
Dalam penyampaian permohonan praperadilan yang dibacakan di hadapan hakim, tim kuasa hukum Margriet mengatakan tersangka Agus Tay Hamba May, yang merupakan pembantu Margriet, sebagai pembohong.
Keterangan Agus yang sering berubah-ubah, menurut tim kuasa hukum Margriet, tidak bisa dijadikan dasar untuk menjadikan kliennya sebagai tersangka.
"Penetapan tersangka berdasarkan keterangan pembohong, tanpa ada bukti sah menurut hukum," ujar kuasa hukum Margriet, Posko Simbolon.
Posko Simbolon mengatakan, sebagai negara hukum, Indonesia menganut asas praduga tak bersalah. Karena itu, sebelum memiliki dua alat bukti yang cukup, maka kliennya tak patut ditetapkan sebagai tersangka.
Apalagi, kata dia, belakangan ini muncul opini yang kuat sepanjang penyidikan terhadap kliennya.
"Ada upaya pembentukan opini. Saat proses penyidikan, semuanya seperti sudah dibentuk untuk menyudutkan klien kami," kata Posko.
Tim kuasa hukum mengutip sejumlah pemberitaan di media massa. Beberapa pernyataan polisi yang dikutip berkaitan dengan penetapan tersangka terhadap kliennya atas kasus pembunuhan Engeline.
Salah satu yang dikutip adalah pernyataan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali, Komisaris Besar Polisi Hery Wiyanto, yang menyebut bahwa penolakan Margriet diperiksa sebagai tersangka justru akan memberatkannya.
"Pernyataan Kabid Humas Polda Bali itu tendensius dan mengarahkan opini," kata Dion Pongkor.
Ada pula keterangan Kepala Polda Bali, Inspektur Jenderal Polisi Ronny F Sompie, yang dimuat berbagai media. Pernyataan Kapolda ini dibawa tim kuasa hukum Margriet dalam sidang permohonan.
Kata Dion, Kapolda pernah mengatakan bahwa pernyataan Agus tak selalu bohong. Padahal, kata Dion, ada beberapa di antara pernyataan Agus yang bohong.
Sementara, kata Dion, Kapolda tidak pernah merinci keterangan Agus yang mana yang bersesuaian dengan bukti yang menjerat kliennya sebagai tersangka utama dalam kasus ini. Apalagi, kata Dion, Kapolda sudah berbicara ke publik bahwa Agus hanya turut serta.
"Pernyataan itu telah menodai penyidikan, membentuk opini, mengarahkan akan adanya tersangka selain Agus. Padahal waktu itu belum ada hasil dari Puslabfor dan Inafis," ujar Dion.
Atas dasar keterangan-keterangan itu kemudian kliennya tersudut, sudah dicap sebagai pembunuh tanpa pembuktian dan putusan pengadilan.
Dion mengatakan, pembicaraan tentang kematian Engeline awalnya sebagai bentuk keprihatinan. Tapi dalam perkembangannya menjadi pusat perhatian dan pembicaraan di tengah masyarakat.
"Sekarang, opini terbentuk dengan menjadikan pemohon sebagai pelaku utama dalam kasus kematian Engline," kata Dion.
Media massa, menurut Dion, berperan besar dalam menggiring opini publik. Akibatnya, semua pihak terpengaruh dengan pemberitaan, hingga menyudutkan kliennya sebagai pelaku pembunuhan.
"Pemberitaan dan opini yang berkembang telah menggiring masyarakat yang belum tentu kebenarannya itu, dan hanya pemberitaan media yang tidak bisa dipertanggungjawaban secara hukum," ujar Dion.
Tim kuasa hukum Margriet menilai penggiringan opini itupun akhirnya memengaruhi penyidik yang tengah menangani kasus Engeline. Akhirnya, kliennya dijadikan sebagai tersangka pembunuhan.
Padahal, faktanya, kata Dion, tersangka pembunuhan adalah Agus Tay Hamba May yang awalnya sebagai pelaku tunggal. Itu berdasarkan fakta dan bukti hukum yang cukup sebagaimana disampaikan penyidik Kepolisian Resor Kota Denpasar.
Tuntutan Margriet
Praperadilan jadi sarana Margriet untuk menggugurkan statusnya sebagai tersangka pembunuhan Engeline. Tim kuasa hukum ingin membuktikan bahwa kliennya bukan pelaku pembunuhan.
Tim kuasa hukum Margriet secara bergantian menyampaikan maksud tujuan gugatan praperadilan itu diajukan. Pada kesempatan itu, Dion Pongkor menyampaikan beberapa maksud permohonan kepada hakim tunggal, Achmad Petensili.
Pertama, Dion meminta hakim tunggal mengabulkan permohonan yang diajukan kliennya secara keseluruhan.
"Menyatakan perbuatan termohon yang menetapkan Ibu Margriet sebagai tersangka tidak sah, batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya," kata Dion.
Dion juga meminta majelis hakim membatalkan berita acara pemeriksaan kliennya. "Berita acara pemeriksaan tidak sah dan batal demi hukum," ujar Dion.
Dion Pongkor meminta kepada Polda Bali membuka surat perintah penyidikan penetapan kliennya sebagai tersangka pembunuh Engeline. Karena setahu tim kuasa hukum, di sprindik tidak ada pasal pembunuhan berencana.
Menurut dia, ketiadaan pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dalam sprindik yang menetapkan kliennya sebagai pelaku utama pembunuh Enggeline, melanggar prosedur. "Tiba-tiba diumumkan ada pasal pembunuhan berencana," kata Dion.
Polda Bali menetapkan Margriet Megawe sebagai tersangka dalam pembunuhan berencana terhadap anak angkatnya, Engeline. Margriet diduga melanggar pasal 340 KUHP.
Pasal itu berbunyi, "Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun." [Baca ]
Dion melanjutkan, pihaknya juga meminta agar turunan produk hukum yang menjerat kliennya tidak sah dan batal demi hukum beserta segala akibat hukumnya. "Agar termohon tunduk dengan keputusan ini," kata Dion.
Pengacara dari Hotma Sitompoel dan Associates itu juga meminta biaya persidangan dibebankan kepada negara.
Bantah cari popularitas
Di sela penyampaian permohonan pengajuan gugatan praperadilan, kuasa hukum Margriet mencuri waktu untuk mencurahkan isi hati (curhat) di muka sidang.
Hal ini disampaikan menanggapi banyaknya tanggapan negatif terhadap tim kuasa hukum Margriet dari masyarakat. [Baca ]
Dion Pongkor membantah mendampingi Margriet sebagai kuasa hukum untuk mencari popularitas. Apalagi jika hal itu dilakukan demi meraup pundi-pundi uang.
Sedikit sesumbar, Dion menyebut jika pengacara yang tergabung dalam Firma Hukum Hotma Sitompoel dan Associates sudah terkenal di publik nasional.
"Kami sudah dikenal masyarakat. Alangkah bodohnya membangun popularitas dari kasus yang dimusuhi masyarakat," kata Dion.
Sontak saja, pernyataan Dion itu langsung disoraki warga. Secara kompak, pengunjung sidang langsung berteriak "Huuuuuu..."
Menurut Dion, kemungkinan terkenal dengan membela kasus ini sangat terbuka lebar, meski publik mencemooh. Tapi, kata Dion, terkenal karena keburukan, tidak pernah ada dalam pikirannya.
Sejauh ini, Dion melanjutkan, firma hukum yang menaunginya sudah banyak membantu kasus hukum masyarakat miskin melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dibentuknya di beberapa daerah.
Menurutnya, pendampingan hukum yang diberikan kepada Margriet ditujukan untuk menegakkan hukum seadil-adilnya. "Semata-mata untuk menegakkan hukum dan agar tidak terjadi peradilan sesat, bebasnya yang salah dan terhukumnya orang yang benar," tegas Dion.
Meski mendapat cemooh, cacian, bahkan teror fisik, Dion mengaku, ia dan rekannya tak dendam. Dia pun tak khawatir dengan keselamatannya.
"Banyak yang menghujat kami. Seolah-olah kami penjahat yang ikut terlibat dalam pembunuhan. Mungkin ini terpengaruh pernyataan mantan Wamenkumham yang telah jadi tersangka yang mengatakan pengacara koruptor, koruptor juga," ujar Dion.
Baginya, membela kepentingan klien merupakan hak dasar yang mesti dipenuhi. Berlaku asas praduga tak bersalah. Dion dan rekan ingin keadilan berdiri seimbang, berdiri tegak, tidak condong ke manapun. Proses hukum berjalan seimbang dan persamaan hak di depan hukum.
"Ini adalah hak dasar. Kita wajib memegang teguh hak asasi tersebut. Semua orang boleh mengatakan Ibu Margriet patut dihukum seberat-beratnya. Tapi, hukum berpihak pada pembuktian," tutup Dion.
Oleh karena itulah, pihaknya berupaya untuk membuktikan kebenaran. Langkah awalnya melakukan perlawanan melalui praperadilan. [Baca Polda ]
Usai mendengarkan penyampaian permohonan Margriet lewat tim kuasa hukumnya, Hakim Achmad Petensili akhirnya memutuskan sidang dilanjutkan pada 27 Juli 2015, dengan pertimbangan libur bersama. (ase)