Runtuhnya Ekonomi Negara Para Dewa
Selasa, 30 Juni 2015 - 04:55 WIB
Sumber :
- REUTERS/Marko Djurica
VIVA.co.id
- Pekan ini mungkin menjadi hari paling menegangkan dalam sejarah Yunani. Sebab, Selasa 30 Juni 2015, merupakan tanggal jatuh tempo pembayaran utang negeri para dewa tersebut kepada krediturnya.
Setelah proposal restrukturisasi utang ditolak sebagian besar negara Uni Eropa, Perdana Mentri Yunani, Alexis Tsipras memilih untuk menyerahkan keputusan terkait penyelesaian krisis ini kepada masyarakat melalui perwakilannya di parlemen, dengan cara referendum, atau pemungutan suara.
Pilihannya, apakah menyetujui pemotongan anggaran gaji, pensiun, dan penghematan anggaran, serta kanaikan pajak yang diusulkan oleh kreditur. Pilihan kedua, seluruh rakyat Yunani menanggung segala konsekuensi dan risiko kebangkrutan dari gagal bayar utang sebesar US$1,77 miliar kepada Dana Moneter Internasional (IMF), salah satunya didepak dari zona Uni Eropa
Dilansir dari Reuters, Senin 29 Juni 2015, Tsipras telah mengumumkan referendum yang akan dilakukan pemerintah Yunani pada minggu malam secara resmi melalui media televisi setempat kepada masyarakat.
Dalam pengumuman tersebut, dia juga mengumumkan penutupan operasional perbankan, sebagai upaya kontrol modal mencegah perbankan di negara tersebut dari kebangkrutan.
Presiden Prancis, Francois Hollande mengimbau Tsipras untuk sesegera mungkin kembali ke meja perundingan dengan konselir Jerman, Angela Merkel untuk mencari solusi yang terbaik. Mengingat, Jerman juga merupakan salah satu kreditur terbesar Yunani saat ini.
Saham bank Eropa turun tajam pada perdagangan Senin. Saham perbankan dari Spanyol, Perancis, dan Jerman memimpin penurunan dengan lebih dari enam persen.
Perbankan di kawasan Yunani, akan ditutup setidaknya sampai 5 Juli yang merupakan tanggal referendum akan dilakukan. Penarikan dari mesin teller otomatis juga akan dibatasi sampai 60 euro per hari, bursa di negara tersebut otomatis ikut ditutup.
Kebangkrutan negara para dewa tersebut tidak hanya akan mengakibatkan gejolak di pasar keuangan kawasan Eropa. Tetapi, juga akan berpengaruh secara global, negara-negara berkembang seperti Indonesia secara otomatis akan terdampak.
Krisis Yunani hantui mata uang global
Kepala Ekonomi Bank Central Asia David Sumual dalam sebuah diskusi di tvOne berpendapat, krisis Yunani saat ini tidak berdampak besar terhadap pasar keuangan global. Apalagi, ukuran ekonomi negara itu hanya 1,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Uni Eropa.
Meskipun, sentimen ini sudah mulai membuat dana panas yang berada di negara Uni Eropa yang terkena krisis seperti Yunani, sudah berterbangan ke negara Eropa lainnya yang memiliki ekonominya lebih kuat.
Para investor di pasar modal, menurutnya, juga sudah sudah mempunyai ekspektasi tersendiri mengenai hal ini. Sehingga, meskipun menimbulkan gejolak, diyakini akan terjadi dalam jangka pendek.
Yang perlu dikhawatirkan adalah hal ini memicu penguatan dolar dan akhirnya dapat melemahkan mata uang negara-negara berkembang, khususnya Indonesia. Pelemahan rupiah dapat memicu keluarnya arus modal asing.
"Kita khawatir bukan ke pasar modal, tetapi ke rupiah yang mengancam terjadinya outflow (keluarnya arus modal asing)," ujarnya.
Terlepas dari hal tersebut, menurutnya, krisis yang terjadi di Yunani itu bukan sepenuhnya kesalahan negara tersebut. Tetapi, menunjukkan prematurnya integerasi di kawasan Uni Eropa, sehingga tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di salah satu negara bagian dari kawasan tersebut.
"Utangnya Yunani kan banyak ke lembaga multilateral dan negara-negara Eropa. Ini pelajaran bagai Eropa, selama ini kan hanya integerasi mata uang, tetapi tidak fiskal," tegasnya.
Lebih lanjut, menurutny,a terkait dampaknya kepada rupiah, pemerintah dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter sudah mengantisipasi dengan bauran kebijakan guna meredam pengaruh global. Sehingga, pelemahan yang terjadi masih bisa dikendalikan.
Hal serupa di ungkapkan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, saat berbincang dengan VIVA.co.id. Kecilnya pengaruh ekonomi, baik dari sisi pemerintahan, perusahaan dan perbankan di negara tersebut tidak berpengaruh kepada ekonomi global saat ini.
Setidaknya, menurut Mirza, dampaknya tidak sebesar krisis ekonomi pertama kali yang di alami Yunani pada periode 2010-2011.
"Waktu itu, dampaknya besar. Portugal, Irlandia juga kena krisis. Dulu masih banyak eksposure Eropa, sekarang mereka sudah keluar dari Yunani," kata Mirza di Banjarmasin.
Baca Juga :
Meskipun demikian, Deputi Gubernur Bank Indonesia Ronald Waas, mengatakan pihaknya sudah mengambil langkah-langkah antisipasi mengenai hal ini, agar dampaknya tidak dapat secara cepat diantisipasi.
"Ke rupiah, kami sudah ambil langkah-langkah pengamanan, karena BI kan selalu menjaga nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya," kata dia dalam kesempatan berbeda.
Jadi pertimbangan Federal Reserve
Sementara itu, gejolak ekonomi yang terjadi di Yunani ini, dinilai tidak hanya bisa memberikan pengaruh negatif terhadap ekonomi global, ada hal positif yang kemungkinan akan terjadi.
Krisis Yunani yang menyebabkan penguatan dolar AS diperkirakan menjadi salah satu pertimbangan Bank Sentral AS, The Fed urung menaikkan suku bunga acuannya pada tahun ini.
"Karena, ada kondisi terbaru ini bisa menjadi pertimbangan The Fed," ujar David Sumual.
Masuknya arus modal asing secara besar-besaran, karena dolar menguat dan kenaikan suku bunga di negara paman sam tersebut, justru bisa berdampak negatif. Ekonomi AS bisa kepanasan (overheat).
"Kalau ini berlanjut bisa memperkuat dolar dan menunda rencana The Fed (menaikkan suku bunganya)," tegasnya.
Berbeda dengan David, Mirza berpendapat, sentimen Yunani justru tidak kuat untuk menggoyang The Fed mundur dari jadwalnya menaikkan suku bunga. Sebab, turunnya ekonomi China, raksasa dunia lainnya, merupakan momentum terbaik untuk merealisasikan kebijakan yang tertunda hampir tiga tahun tersebut.
Hal tersebut, yang menjadi perhatian otoritas moneter Indonesia saat ini. "Kalau ditanya khawatir, iya. Lihat pasar China dalam tiga minggu terakhir sudah jatuh 25 persen. Ini yang kita waspadai," tegasnya.
Pemerintah santai
Presiden AS, Barack Obama menelepon Kanselir Jerman, Angela Merkel, Minggu 28 Juni 2015, untuk mendesak Eropa dan Dana Moneter Internasional (IMF) menemukan sebuah rencana baru untuk mempertahankan Yunani di zona euro.
Dilansir dari Reuters, Gedung Putih menyatakan Obama dan Merkel sepakat bahwa sangat penting untuk membuat setiap upaya agar kembali pada jalur yang memungkinkan Yunani untuk melanjutkan pertumbuhan dan reformasi di zona Eropa.
"Para pemimpin menegaskan bahwa tim ekonomi mereka memonitor dengan hati-hati situasi (Yunani) dan akan terus berhubungan dekat," demikian pernyataan Gedung Putih.
Di Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil, saat ditemui di kantornya menyakini Uni Eropa tidak akan membiarkan krisis Yunani terus berlanjut. Karena, menurutnya, banyak kepentingan negara-negara Uni Eropa yang dipertaruhkan akibat dari krisis tersebut.
"Karena, berbagai analisis juga mengatakan terlalu mahal buat Yunani keluar dari Uni Eropa dan terlalu mahal juga untuk Uni Eropa jika Yunani keluar. Jadi, akal sehat akan berupaya bagaimana bisa menyelamatkan supaya Yunani tetap di Uni Eropa," jelasnya.
Namun, dia berharap, para pelaku pasar di Tanah Air bisa segera mengantisipasinya dengan cepat. Sehingga, tidak terjadi gejolak keuangan di Indonesia.
"Mudah-mudahan sudah ditekan oleh pasar, karena diskusi soal Yunani ini bukan terjadi hari ini, tetapi sudah terjadi tiga hingga empat bulan yang lalu," tambahnya. (asp)