Menghidupkan Kembali Skuadron Pemburu Kapal Selam
- Pusat Penerangan TNI
VIVA.co.id - TNI Angkatan Laut akan menghidupkan kembali skuadron 100 yang dikenal memiliki helikopter pemburu kapal selam lawan yang cukup canggih di era 1960-an. Skuadron itu nantinya akan dilengkapi ahelikopter anti kapal selam (anti-marine warfare/ASW) jenis AS-565 Mbe Panther sebanyak 11 unit.
11 Unit helikopter tempur itu sedang dalam proses produksi di Eurocopter Group Aeorospatiale di Prancis. AS-565 Mbe merupakan helikopter multipurpose karena berbasis maritime patrol and surveillance platform, sehingga sangat mumpuni baik untuk kegiatan militer maupun non militer.
Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana TNI Ade Supandi membenarkan pengadaan 11 unit helikopter anti kapal selam ini merupakan langkah awal 'menghidupkan' kembali Skuadron 100 yang sempat dimiliki TNI AL di era 1960-an. Bahkan, pembentukan skuadron ini secara organisasi sudah dikaji oleh TNI AL dan termasuk dalam renstra TNI.
"Karena itu kan tinggal kita hidupkan lagi (Skuadron 100)," kata Laksamana TNI Ade Supandi di Mabes TNI AL Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu 24 Juni 2015.
Skuadron 100 yang akan diaktifkan kembali ini bakal menjadi tulang punggung kekuatan TNI AL dalam operasi di laut. Sebelumnya, Skuadron 100 memiliki armada helikopter anti kapal selam jenis Lynx buatan Inggris, namun akhirnya dinonaktifkan tahun 1980-an karena tidak ada alutsista yang secara khusus memiliki kemampuan untuk misi atau operasi semacam itu.
Skuadron 100 akhirnya dilebur dengan skuadron lain karena tidak lagi memiliki pesawat. Tapi kini, skuadron kebanggaan TNI AL itu akan kembali dihidupkan dengan diperkuat 11 unit helikopter jenis AS-565 Mbe Sea Panther buatan Prancis.
Sayangnya, mantan Kepala Staf Umum TNI ini mengaku tidak tahu persis kapan 11 heli tempur itu akan tiba di Tanah Air.
"Tergantung kemampuan dari manufaktur. Normalnya dia ya mungkin setahun tiga (unit)," ujar Supandi. Dia menyebut, helikopter anti kapal selam ini berfungsi sebagai perpanjangan kapal perang.
Kemampuan helikopter anti kapal selam itu nantinya akan dipadukan dengan peluru kendali kaliber 60 mm dan 80 mm yang dimiliki kapal perang TNI AL. Peluru-peluru kendali itu membutuhkan target reporting unit, karena radar yang ada di kapal perang hanya terbatas dengan cakrawala.
"Nah itu bisa dilaksanakan oleh helikopter yang memiliki kemampuan radar OTH (Over the Horizon) agar peluru rudal kita yang jauh-jauh ini punya alat bantu untuk deteksi, tempatnya di kapal kita yang ada heli deck yang sudah pada datang," terang KSAL.
Meski TNI AL dan TNI Angkatan Udara sama-sama memiliki helikopter. Tapi doktrin dan misi operasi kedua matra ini berbeda. Helikopter TNI AL, salah satunya harus mampu bermanuver pendaratan dan lepas landas dari geladak pendaratan (helipad) di kapal perang yang bergerak alias berlayar di laut pada berbagai skenario cuaca, misi, dan persenjataan.
Hal itu merupakah salah satu kemahiran utama yang harus dimiliki bagi penerbang-penerbang helikopter TNI AL, yang tidak diperlukan penerbang helikopter di skuadron udara TNI AU.
Supandi menambahkan, pengadaan helikopter anti kapal selam untuk Skuadron 100 sekaligus melengkapi kebutuhan kapal perang RI yang memiliki heli deck. Hanya saja, dalam proses pengadaannya, baik kapal perang maupun helikopter dilakukan secara bertahap.
"Sekarang kapal-kapal udah pada datang, seperti empat buah Sigma dan 3 KRI MLF. Untuk dia on board selalu diatas kapal. Dengan kita lengkapi 11 (helikopter) mudah-mudahan kapal itu lengkap dan fungsi realisasinya sesuai desain dari kapal itu," imbuhnya.
Dunia Cemas
Rencana TNI AL membeli 11 helikopter tempur dicemaskan dunia dan mulai disorot media internasional. Kecemasan itu disebabkan helikopter itu akan dipakai untuk mengaktifkan lagi Skuadron Udara 100 pemburu kapal selam yang disegani di era 1960-an.
Menurut media asing, Alat utama sistem persenjataan TNI AL yang akan dibeli itu dapat meningkatkan secara signifikan kemampuan militer Indonesia dari ancaman bawah laut.
"Skuadron penerbangan, bernama Skuadron Udara 100, akan dibangun untuk memberi dukungan operasional terhadap armada baru 11 heli antikapal selam berupa AS-565 MBe Panther," demikian ditulis The Diplomat pada Minggu, 21 Juni 2015.
Tak disebutkan waktu pasti Skuadron Udara 100 resmi dioperasikan. The Diplomat menyebut satu sumber di TNI AL dan dikutip IHS Jane Defense Weekly bahwa skuadron akan dioperasikan saat heli pertama Panther diterima.
"Panther ini telah menjadi satu dari platform anti kapal selam ringan/menengah terbaik di dunia, di mana terdapat sistem ASW terkini serta kemampuannya untuk dioperasikan dari kapal korvet maupun fregat kecil," kata Kepala Regional Asia Tenggara dan Pasifik, Philippe Monteux di Airbus.
Helikopter canggih itu diperkirakan diterima secara keseluruhan pada akhir 2017. Skuadron yang ditugasi untuk mengoperasikannya akan ditempatkan di Pangkalan Udara Juanda Surabaya, Jawa Timur. Helikopter itu akan dioperasikan untuk kapal SIGMA 10514 dan MRLF kelas Bung Tomo.
Kepala Sub Dinas Penerangan TNI AL, Kolonel (Laut) Suradi Agung Slamet menegaskan dunia internasional tak perlu khawatir dengan pengadaan 11 helikopter anti kapal selam TNI AL. Sebab, 11 unit helikopter tempur itu berfungsi untuk memperkuat Skuadron 100, sesuai dengan kebutuhan TNI AL dalam menjaga kedaulatan NKRI berdasarkan letak geografisnya.
Selain itu, dalam konteks pembelian alutsista, apabila telah disepakati pembelian senjata, maka otomatis produsen dan negara pembeli sudah memiliki izin, dan persetujuan negara-negara di PBB atau negara-negara regional lainnya.
"Jada nggak perlu worry lah soal itu. Saya rasa itu (Kekhawatiran dunia internasional) nggak perlu ditanggapi," kata Kol Suradi kepada VIVA.co.id
Sementara itu, terkait berapa anggaran yang dibutuhkan TNI AL untuk mengadakan 11 helikopter pabrikan Prancis itu, Suradi mengaku TNI AL tidak berhak membeberkannya. "Untuk harganya kita nggak bisa buka, itu kewenangan Kementerian Pertahanan. Kita cuma user," tegasnya.
Dukungan DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendukung rencana TNI ALmembeli 11 unit helikopter. Alat utama sistem pertahanan (alutsista) itu akan digunakan untuk mengaktifkan kembali Skuadron Udara 100 pemburu kapal selam yang sempat berjaya di era 1960-an.
Anggota Komisi I DPR TB Hasanudin mengatakan, pada prinsipnya DPR setuju dengan rencana itu. Apalagi, pembentukan skuadron buru sub marine memang masuk dalam program. Namun, DPR belum memastikan menyetujui jenis helikopter yang akan dibeli.
Pasalnya, spesifikasi utama yang dibutuhkan adalah helikopter itu dapat lepas landas atau mendarat di kapal tertentu di laut. Menurut dia, TNI sedang mengkaji jenis dan spesifikasi helikopter serta menghitung anggaran untuk memenuhi pembelian yang dibutuhkan.
"Modelnya belum kita tahu, versi dari buatan anak bangsa atau Amerika. Sampai sekarang (TNI) masih menghitung," kata Hasanudin di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 25 Juni 2015.
Politikus PDIP ini menjelaskan, pembelian helikopter untuk skuadron baru menjadi bagian dari penguatan alutsista dan pertahanan negara. Pengadaannya disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan negara.
"Itu merupakan sistem senjata AL. Itu bagian sistem armada tempur AL. Ada kapal selam, kapal tempur. Jenisnya macam-macam, bisa menyapu ranjau, bisa juga kapal yang dilengkapi alat, salah satunya skuadron heli, " paparnya.
Sebagai informasi, sebagai naval operation, helikopter Panther ini nyaris sempurna. Karena bisa terbang senyap, biaya perawatan murah dan multifungsi. Helikopter tempur ini tidak hanya berfungsi untuk helikopter anti kapal selam, tapi juga untuk anti kapal permukaan dan untuk versi intai taktis.
Ketahanan terbang helikopter ini mencapai 4 jam dengan kecepatan medium 140 km/jam atau terbang dengan mode over the horizon targeting. Helikopter ini memiliki kecepatan maksimum 300 km/jam dengan daya jelajak 792 km dengan tangki standar.
Helikopter Panther ini mampu mengangkut 6 personel, 2 orang pilot dan satu kru. 11 helikopter ini nantinya akan ditempatkan di kapal perang kelas Sigma, seperti korvet KRI Diponegoro-365 untuk memperkuat kapal tempur tersebut.
Namun khusus untuk 11 helikopter pesanan TNI AL ini, akan dipasangi perlengkapan torpedo ASW Raytheon Mk 46 atau Whitehead A.244/S lightweight, dan termasuk sonar DS-100 helicopter long-range active sonar (HELRAS).
DS-100 merupakan jenis sonar versi 1.38 kHz dari AQS-18A yang lebih populer. Alat itu mampu mendeteksi benda hingga kedalaman 500 meter untuk pemantauan dan pencarian bawah laut. Dengan resolusi proses dopler dan denyut yang panjang, bisa mendeteksi kapal selam meski melaju dengan kecepatan sangat rendah.
Bersama L-3, DS-100 bisa dipakai untuk mendeteksi, menetapkan target dan meluncurkan senjata terhadap target kapal selam di kedalaman atau perairan dangkal.