Kebiri Penjahat Seks, Cara Selamatkan Anak Indonesia?

Sumber :
  • VIVAnews/Joseph Angkasa

VIVA.co.id - Anak Indonesia masih terancam. Kejahatan seks terhadap anak masih tinggi, bahkan cenderung meningkat. Harus ada efek jera bagi pelaku untuk menyelamatkan masa depan generasi bangsa.

Hukuman bagi para pelaku, saat ini dinilai kurang memberikan efek jera. Sehingga, masih saja banyak aksi kejahatan seks terhadap anak. Selain itu, penegakan hukum juga belum berpihak bagi korban.

"Karena penegak hukum, kalau mau menindaklanjuti harus ada alat bukti, visum. Lalu, alat kedua yaitu, saksi. Itu pun, saksinya harus ada dua orang. Bagaimana kejahatan seks mau ada saksi," ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, saat berbincang dengan VIVA.co.id, Rabu 3 Juni 2015.

Atas dasar itu, Komnas Perlindungan Anak mengusulkan revisi Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ke Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satu poin yang diajukan, yakni pemberian hukuman kastrasi, atau kebiri kelamin bagi pelaku kejahatan seksual.

Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002, di Pasal 81 menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan, atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya, atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.

Pasal 82 menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan, atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan, atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.

Hukuman itu, kata Arist, dirasa kurang memberikan efek jera. Untuk memutus mata rantai, perlu ada revisi pada undang-undang itu, khususnya pasal 81 dan 82. Hukuman harus diperberat bagi para pelaku kejahatan seks terhadap anak.

"Karena itu, kami usulkan perubahan, maksimal 15 tahun menjadi seumur hidup. Hukuman lima tahun jadi 20 tahun. Selain pidana, ditambah pemberatan hukuman yakni, kastrasi, atau kebiri," ujar Arist.

Hukuman kebiri, diyakini Arist, dapat memberikan efek jera bagi penjahat seks terhadap anak. Hukuman kebiri juga diterapkan oleh sejumlah negara di antaranya, Korea Selatan, Polandia, Republik Ceko, Amerika Serikat, dan Jerman.

Ada dua macam hukuman kebiri yang diberlakukan untuk menghukum penjahat seks terhadap anak. Pertama, kebiri fisik. Kebiri ini dilakukan dengan cara mengamputasi alat kelamin pelaku. Kedua, kebiri kimia.

Kebiri ini dilakukan dengan cara memasukkan zat antiandrogin melalui pil, atau suntikan, yang dapat menekan hormon testoteron, sehingga akan mengurangi, atau menghilangkan hasrat seksual pelaku.

Kata Arist, hukuman kebiri yang diusulkan tidak dalam kerangka mematikan fungsi reproduksi organ vital pelaku, atau dengan cara mengamputasi alat kelamin. Melainkan, kebiri dengan cara disuntik menggunakan cairan kimia.

"Jadi, dia dimatikan sementara saja. Nanti, bisa berfungsi lagi, setelah masa hukumannya habis. Jadi, bedakan antara mematikan sementara, dengan tidak memungsikannya selamanya. Saya kira, tidak melanggar Hak Asasi Manusia," ujar Arist.

Seperti apa teknisnya, Arist menyerahkan kepada tim dokter. Jika putusan tetap sudah ditetapkan pengadilan, tim dokter yang memiliki kewenangan mengeksekusi dengan menyuntikkan cairan kimia untuk mematikan hasrat seks pelaku.

"Revisi dan usulan hukuman kebiri ini mendapat dukungan yang sangat luas dari berbagai pihak. Ini juga sebagai respons dari masyarakat yang menilai kejahatan seks terhadap anak makin meningkat, sementara hukuman bagi pelaku masih sangat rendah," kata Arist.



Legislator dukung kebiri

Anggota Komisi VIII (membidangi Sosial, Agama, dan Pemberdayaan Perempuan) dari Fraksi Gerindra, Sodik Mudjahid, mendukung hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seks terhadap anak. Bahkan, dia berharap penjahat seks terhadap anak diberikan hukuman mati.

"Saya lebih setuju hukuman mati. Tetapi, kebiri lebih baik dari hukuman penjara," kata Sodik.

Menurutnya, kejahatan seks bukan hanya merusak manusia, tetapi juga menghancurkan dan merusak bangsa. Selain itu, berakibat akan merusak keturunan dan meninggalkan trauma yang sangat berat dan mendalam.

Sodik mengatakan, Indonesia saat ini sudah memasuki darurat pornografi. Kejahatan seks dan perilaku seks menyimpang mulai merebak. "Paedofil itu susah disembuhkan. Penyakit sodomi bisa menular," kata Sodik.

Karena itu, Sodik menyamakan kejahatan seksual terhadap anak-anak sebagai kejahatan luar biasa, atau extraordinary crime. Artinya, kejahatan ini sama seperti kejahatan serius lainnya seperti, korupsi, narkoba, dan terorisme.

"Jadi, harus ada hukuman yang efektif memberi efek jera. Saya lebih setuju kejahatan seks, seperti narkoba dan korupsi untuk masa darurat ini, diberi hukuman mati," ujar Sodik.

Apalagi, hukuman ini juga berkaitan dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam. "Sebagai perbandingan hukuman bagi pelaku zina dalam hukum Islam adalah dibunuh dengan cara dirajam. Di Eropa, para penjahat seks dikebiri," tuturnya.

Untuk itu, Sodik siap mendukung usulan revisi Undang-undang Perlindungan Anak yang diusulkan Komnas Perlindungan Anak, khususnya terkait hukuman bagi para pelaku.

Hal senada disampaikan anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Arzeti Bilbina. Dia mendukung usulan hukuman kebiri bagi para pelaku kejahatan seks terhadap anak. Cara ini penting untuk memberikan efek jera.

Selain itu, menurut Arzeti, agar memberikan efek jera, para pelaku kejahatan seks terhadap anak, wajahnya harus diekspose. Begitu juga dengan biodata para pelaku, dibuka di depan umum. Hal ini penting, sebagai hukuman sosial bagi para pelaku.

"Kalau bisa, ya dihukum mati saja sekalian. Karena anak-anak ini kan aset bangsa. Kalau sudah diperlakukan seperti itu, mereka jadi tidak berambisi lagi. Akhirnya, bakat yang mereka miliki jadi terpendam," ujar Arzeti. saat berbincang dengan VIVA.co.id, Rabu 3 Juni 2015.

Mantan model itu menilai, kejahatan seks terhadap anak saat ini sudah sangat memperihatinkan. Sehingga, perlu aturan tegas untuk segera menghentikannya. Jika tidak, kata Arzeti, masa depan anak Indonesia terancam.

"Kalau tidak diberi hukuman berat, mereka jadi seenak jidatnya. Mereka melampiaskan imajinasi ke anak-anak seenaknya. Jadi, harus semakin diberatkan (hukuman), supaya ada efek jera," kata Arzeti.

Untuk itu, tidak ada kata lain selain memberikan efek jera bagi para pelaku. Salah satu langkah yang bisa dilakukan Komisi VIII, saat ini, yaitu dengan merevisi Undang-undang Perlindungan Anak. Saat ini, draf revisi sudah di tangan komisi VIII.

"Saya kebetulan di Panja Perlindungan Anak. Kami bikin panja perlindungan anak yang baru di masa ini. Revisi sudah masuk, masih digodok. Tinggal ketok palu. Insya Allah tahun ini sudah selesai," kata Arzeti.

Arzeti juga meminta pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap masalah ini. Salah satunya, dengan membuat banyak lahan terbuka hijau dan rumah ramah anak.

"Karena mereka tidak ada lahan (bermain), akhirnya terjadi pelecehan di rumah tangga. Kita harap, pemerintah menyiapkan ruang untuk mereka bersosialisasi, berinteraksi, untuk mengurangi kemungkinan dilecehkan," ujar Arzeti.

Hukum mati

Majelis Ulama Indonesia menegaskan bahwa penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbian, sodomi, dan pencabulan terhadap anak adalah perbuatan haram dan pantas dihukum seberat-beratnya. Bahkan, bisa dijerat hukuman mati.

"Penyimpangan seksual seperti gay, lesbian, sodomi, dan pencabulan merupakan haram. Bentuk kejahatan keji dan mendatangkan dosa besar dan bisa dihukum mati," Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin AF, Selasa 3 Maret 2015.

Hasanuddin meminta, kepada pemerintah untuk memperhatikan dengan serius kejahatan penyimpangan seksual ini. Selain dapat merusak moral bangsa, perilaku seks menyimpang juga sebuah tindakan kejahatan.

Selain mengharamkan tindakan penyimpangan seksual, MUI juga mengharamkan siapa pun yang melegalkan aktivitas penyimpangan seksual. "Pelaku dan pihak yang melegalkan penyimpangan seksual adalah haram," tegasnya.

Hasanuddin meminta, pemerintah ikut aktif dalam memerangi dan memberantas perilaku penyimpangan seksual, dengan tidak melegalkan, serta memberi hukuman berat, agar menimbulkan efek jera.

"Pemerintah wajib mencegah meluasnya penyimpangan seksual di masyarakat dan memberi layanan rehabilitasi bagi pelaku, serta diberi hukuman yang keras dan tegas," ujar Hasanuddin.

Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Asrorun Ni'am Sholeh, mengatakan penyimpangan seksual seperti sodomi dan pencabulan terhadap anak kecil merupakan kejahatan besar.

"Sodomi dan pencabulan terhadap anak-anak merupakan kejahatan yang sangat besar dan tidak bisa dimaafkan, karena kejahatan tersebut bisa berefek panjang bagi psikologi anak," ujar Asrorun, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Komisi Fatwa MUI. (asp)